Mengulik Sendi-sendi Seksualitas dalam BH Emha Ainun Najib

By: Mochammad Asrori

Sebagian masyarakat Indonesia menganggap seksualitas sebagai sesuatu yang alami, kodrati, sehingga tak perlu dikomunikasikan, apalagi diajarkan. Namun seks akhirnya menjadi bagian dari perkembangan budaya. Secara pelak, sebuah cerita pendek sebagai cermin realitas sosial pun banjir akan tema-tema seksualitas. Bahkan seorang Emha Ainun Najib turut mengulik tema tersebut dalam cerita-cerita di BH-nya.

Sastrawan dan budayawan Emha lahir 27 Mei 1953 di Jombang, Jawa Timur. Pertama-tama dikenal sebagai penyair, namun kreativitasnya terus tumbuh. Dia juga menulis cerita pendek, naskah drama dan novel. Pernah belajar di Ponpes Gontor dan sekolah menengah di Jogjakarta. Lalu mencicipi Fakultas Ekonomi UGM. Kemudian bergabung dengan PSK (Persada Studi Klub) di bawah asuhan penyair Umbu Landu Paranggi. Kelompok itu ikut mewarnai upaya pengembangan kreativitas para penulis Jogja pada jamannya.

Dalam dunia seni panggung, Emha termasuk salah satu pendiri Teater Dinasti, grup yang pernah sangat berpengaruh di Jogja. Dia juga rajin menulis kolom di sejumlah penerbitan. Esai-esainya mengalir deras tak cuma soal sastra, tapi mencakup berbagai dimensi kehidupan.

BH (2005) adalah kumpulan cerpen pertama Emha. Cerpen-cerpen dalam buku ini dibuat di periode 1980-an. Dari 23 cerpen di sana bisa kita temukan cara Emha berbicara sendi-sendi persoalan seksualitas.

Seksualitas berasal dari kata “seks” yang berarti ciri anatomi biologis yang membedakan antara laki-laki dan perempuan. Namun tidak sesederhana itu, seksualitas juga suatu konsep konstruksi sosial terhadap nilai, orientasi, dan perilaku yang berkaitan dengan seks. Seksualitas adalah hasrat yang tumpang tindih dengan aspek kehidupan lain. Seksualitas berbicara tentang siapa dan keinginan seseorang untuk membentuk identitasnya.

Ini fenomena yang variatif dan kompleks. Dikatakan variatif karena banyak bentuk perilaku seksual masyarakat yang berhubungan dengan keadaan masyarakat. Sebuah perilaku seksual dapat diterima satu masyarakat, namun dalam masyarakat lain belum tentu, misalnya, karena dianggap tabu dan bertentangan dengan norma-norma yang ada.

Dalam cerpen Lelaki ke-1000 di Ranjangku, pengarang mengangkat dunia pelacuran. Menurut Simanjuntak (1980: 272), pelacuran merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat yang harus dihentikan persebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencegahan dan perbaikannya. Inti masalahnya adalah perzinaan dengan motif ekonomi antar pelakunya.

Dalam cerpen ini, tokoh utama adalah seorang wanita yang telah larut dalam dunia hitam. Pelacur tersebut terdampar di lembah prostitusi lantaran ulah suaminya. Pengalaman hidup yang pahit akhirnya menjadikannya begitu apatis terhadap laki-laki.

Lelaki yang pertama meniduriku adalah suamiku sendiri dan lelaki yang mencampakkanku ke lelaki kedua adalah suamiku sendiri dan untuk perempuan yang begini busuk dan hampir tak mampu lagi melihat hal-hal yang baik dalam hidup ini, maka lelaki kedua hanyalah saluran menuju lelaki ketiga, keempat, kesepuluh, keempat puluh, keseratus, ketujuh ratus… (Halaman 2)

Bagi tokoh utama, tiap laki-laki adalah sama. Mereka hanya datang untuk menuntaskan birahinya. Bukan tanpa alasan dia mengatakan hal tersebut, dia sudah mengujinya pada tiap laki-laki yang menidurinya, pada ratusan laki-laki yang dia hitung dalam perjalanan karirnya sebagai pelacur.

Awalnya, sang tokoh adalah wanita biasa. Dia jatuh hati pada laki-laki muda, manis, seorang pengusaha yang sukses. Hubungan tersebut ditentang oleh orangtuanya karena perbedaan agama dan alasan lain yang tidak masuk akal baginya. Perempuan tersebut nekat. Baginya jaman sudah berubah. Maka pasangan yang dilanda asmara itu kawin lari.

Kasus kawin lari banyak kita jumpai dalam pemberitaan-pemberitaan. Beberapa menunjukkan perbedaan cara pandang pada struktur usia masyarakat urban. Pada generasi tua, perkawinan bukanlah absolut pilihan antara laki-laki dan perempuan, tapi wewenang mutlak pihak orangtua yang terkadang memiliki kriteria berbeda dengan si anak. Di cerpen ini, pandangan orangtua yang telah kenyang asam-garam menemui kebenaran, dan pilihan si anak adalah jalan menuju jurang kehidupannya.

Cerpenis mencoba memberikan pemikirannya mengenai beberapa hal. Pertama, satu di antara ratusan cara terjerumus ke dalam dunia prostitusi yaitu disharmonisasi keluarga dan masalah ekonomi. Perempuan baik-baik seperti tokoh utama yang dikhianati suami adalah salah satunya.

Kedua, rasa putus asa dan tidak percaya yang membuat pelacur enggan mencoba bangkit dari dunianya. Mereka bukan orang-orang bodoh yang tidak sadar bahwa dunia yang mereka tekuni terlalu kelam. Sebagai pribadi, mereka sadar akan privasi tubuh mereka. Mereka sangat sadar sebagai sesama manusia, profesi mereka menjadi langkah menjamurnya pengkhianatan dalam rumah tangga. Mereka juga sangat sadar profesi mereka adalah jalan yang dilaknat dan penuh dosa.

Kututup pintu kamarku keras-keras, kukunci dan–pergi kau lelaki! Cuci mulut dan tubuhmu baik-baik sebab istrimu di rumah cukup dungu untuk kau kelabui. (Halaman 2)

Dadaku selalu sesak. Sahabatku dinding, atap, almari, kalender porno, handuk-handuk—sebenarnya ini semua kehidupan macam apa? Seorang perempuan dari hari ke hari, dari jam ke jam harus mengangkang… (Halaman 3)

Ketiga, pemupukan rasa dendam psikologis perempuan menjadi rasa percaya diri ingin menaklukkan laki-laki. Sebagai kelompok marginal mereka tidak peduli pada kondisi masa depan pribadinya, mereka hanya fokus melampiaskan dendam psikologinya.

Ayo, berapa lelaki merangkak di ranjangku dalam sehari? Sepuluh? Dua belas? Lima belas? Atau lima sekaligus mau jadi babi mabuk di seputar tubuhku? Semoga aku mati sebelum hancur sama sekali. Semoga ada yang menulari herpe ke tubuhku supaya ke seluruh lelaki yang datang dan meluas ke seantero kota dan seluruh negeri. Aku toh bisa menikamkan pisau ke perutku sewaktu-waktu…(Halaman 9)

Situasi di atas, yang menggambarkan perkembangan kepribadian wanita karena pengalaman traumatik, tidak dapat disangkal, menurut Kartono (1989: 22) merupakan akibat faktor lingkungan dan kultural. Wanita yang memilih kawin lari otomatis tidak diterima lagi di keluarganya, dia menjadi menggantungkan hidup sepenuhnya pada suaminya. Ketika suaminya pun kemudian mencampakkannya, dia tidak memiliki siapa-siapa lagi. Mental yang labil membuatnya mudah terperosok ke dalam dunia gelap.

Sama halnya dengan cerpen Kepada Kelahiranku Yang Tercinta yang mengisahkan seorang tokoh perempuan, Lia, yang mengalami gangguan perkembangan kepribadian karena pengalaman traumatik yang diakibatkan faktor lingkungan dan kultural. Masa lampau mengharuskannya dilahirkan di keluarga tak “normal”.

Tokoh dibesarkan oleh seorang ibu dan dua bapak. Poliandri. Sebenarnya kedua bapaknya bersaudara, namun suami ibunya adalah lelaki yang lemah jiwa maupun hartanya. Dia punya adik yang berlawanan kondisi: Lebih gagah, punya jabatan, kekayaan, kuat segala sesuatunya. Akhirnya mereka memutuskan untuk hidup seperti itu.

Akibat perbuatan ketiga orangtuanya, Lia cenderung mengucilkan diri dari masyarakat, pun dari sanak familinya. Mereka malu dan minder.

Seksualitas menyangkut faktor eksternal (sosial, budaya, politik, ekonomi). Mengingat seksualitas merupakan konsep tentang nilai, orientasi dan perilaku seksual seseorang, dia berkaitan erat dengan struktur sosial masyarakat. Seksualitas dan periaku seksual, sebagai konstruksi sosial, yang dilakukan dengan siapa, menentukan diterima atau ditolaknya individu secara sosial.

Lantaran pengucilan diri, tokoh Lia menjadi sosok yang beku. Di masa depannya dia ingin segala sangkut paut dengan masa silam dan sumber hidupnya terkubur sedalam-dalamnya. Dia menjadi tegar dan tegas sebagai perempuan. Lia tidak ingin menunjukkan ketakutan dan kelemahannya, dia membenci sifat-sifat yang memperlihatkan kodratnya sebagai wanita.

Dalam kehidupannya yang sepi, Lia memunyai teman sekaligus kekasih, Rul, sebagai tempat untuk mencurahkan segala sesuatunya. Hanya Rul yang selama ini dapat mencairkan hatinya. Rul adalah sosok yang mampu menyadarkannya kembali sebagai perempuan. Keangkuhan yang dipupuk Lia pun luntur. Rul mengembalikan perasaan wanitanya yang selama ini telah menghilang karena penderitaan yang lama.

Aku tidak tahan lagi. Aku memeluknya erat dan merebahkan wajahku ke kepalanya. Rul membelai-belai kepalaku. Aku telah menjadi perempuan sepenuhnya di pelukannya. Aku merasa memasuki sebuah dunia yang nyata dan aku sendiri begitu nyata. (Halaman 18)

Rul menyadarkannya untuk tidak menyesali masa lalu. Rul bahkan mendorongnya menghadapi dengan tegas masa lalunya itu, bukan menguburnya.

Senada dengan persoalan di atas, cerpen Yang Terhormat Nama Saya mengisahkan penunjukan kejantanan seorang tokoh akibat pengalaman masa silam. Bawong berwajah tampan, berkulit kuning langsat, hidung cenderung mancung, dan paha bagaikan paha wanita. Fisiknya yang bak wanita menjadikannya sasaran pelecehan seksual teman asrama.

Dia merasa harga dirinya sebagai seorang lelaki tulen yang jantan telah jatuh terpanggang. Bawong dihimpit penyakit untuk selalu membuktikan kelelakiannya.

Dengan bangga saya hitung berapa perempuan yang telah saya gauli: 8, 9, 10, 11, … 33, 34, 35, … dan ketika saya menginjak tahun kedua di universitas, jumlah itu sudah mencapai tiga kali lipat dari usia saya. (Halaman 63)

Begitulah, Bawong terjebak dalam penyimpangan. Perilaku seks yang diakibatkan pengalaman traumanya. Walgito dalam Sukada (1987: 138) menyatakan bahwa tingkah laku serta aktivitas seseorang merupakan manifestasi hidup kejiwaan. Psikologis Bawong sebagai tokoh yang dilecehkan harga dirinya membuatnya ingin menunjukkan bahwa dia mampu menjadi laki-laki. Sayangnya jalan pembuktiannya dangkal.

Bawong akhirnya jatuh cinta pada seorang janda yang kemudian membuatnya berpikir kembali akan nasibnya, anak yang lahir dari hasil zina, bukan buah ketulusan dua manusia yang mengikat janji sehidup semati dan dilindungi oleh hukum yang sah.

Ia tahu persis siapa saya. Ialah bayi yang dilahirkan tidak oleh ketulusan hubungan manusia dan oleh hukum sah yang mengikatnya. Melainkan oleh main zinah. Ya, inilah Bawong si anak jadah! Jadi, ibu saya dulu adalah pezina dan bapak saya itu bukanlah bapak saya. Jadi jelas sekarang mengapa Bapak bersikap seperti iu kepada saya sejak dulu. (Halaman 63)

Dari sini tokoh utama mendapat pencerahan pemikiran. Dia kemudian rela berubah demi mendapatkan cinta murninya. Bawong menjadi lebih memerhatikan rohaninya, tidak mengedepankan pembuktian diri sebagai lelaki jantan. Kendati akhirnya dia kecewa karena orangtua si janda tidak menginginkan menantu dengan latar belakang sepertinya.

Dalam cerpen Terjerembab di Bumi, diceritakan kisah perselingkuhan Karman dan Kadaryati. Sepasang kekasih lama yang telah memunyai jalan hidup berbeda, bertemu kembali untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Karman, 41 tahun, adalah guru Bahasa Indonesia SMA Jogjakarta. Sedangkan Kadaryati adalah istri orang lain yang berdomisili di Surabaya.

Pertemuan telah mereka rencanakan 10 hari sebelum Karman menghadiri penataran di Surabaya. Mereka saling kirim surat dengan alamat tertentu yang sekiranya tidak diketahui oleh suami dan istri masing-masing. Pertemuan tersebut meluapkan jiwa muda Karman, dia sibuk menghias diri dan rela membolos penataran hanya untuk bersua pujaan hati lawasnya.

Karman bukannya tidak menyadari perbuatan itu melanggar norma-norma. Namun, dia merasakan dorongan yang besar dari dalam dirinya. Mengalahkan kata hatinya yang mengingatkan tentang anak-istrinya di rumah.

Menurut Hudayana (2004: 4) seksualitas adalah maksud dan motif dalam diri manusia. Seksualitas adalah hasrat dan keinginan yang tumpang tindih dengan aspek kehidupan lain. Seksualitas berbicara tentang siapa dan keinginan dalam diri seseorang yang akan membentuk identitasnya. Seksualitas berbicara tentang hak-hak manusia untuk menentukan pilihan keputusan atas orientasi seksual seperti tokoh Karman.

Mulanya Karman hanya ingin bernostalgia dengan kisah klasik masa lalunya. Dia tidak mau menodai pertemuannya ini dengan melakukan tindakan-tindakan yang tidak semestinya. Sebagai guru ia memiliki konsep yang jelas dalam menjaga kemurnian cinta, seperti yang dikatakannya pada sesama guru yang ikut seminar yang agak seniman-senimanan saat dia memberitahu rencananya untuk bertemu kekasih lamanya.

“Nostalgia kalian ini sebuah puisi. Tapi puisi harus dijaga. Jangan sampai ia vulgar. Letak puisi kalian hanya dalam jiwa, jadi tidak di badan. Kalian tidak mungkin melaksanakannya secara kebudayaan. Maka peliharalah kecintaan yang alamiah dan batiniah saja.” (Halaman 76)

Tapi Karman inkonsiten. Dia berubah haluan. Sebab rangsangan yang dirasakannya begitu berlipat-lipat. Pertentangan muncul di benaknya, tapi hasrat dari dalam dirinya mengalahkan rasionya.

Akhirnya Karman jatuh dalam perilaku seksual yang menyimpang: Sebuah perselingkuhan. Dia melupakan anak dan istrinya menghadapi cinta pertama yang telah lama terpisah. Karman tak mampu lagi membendung perasaan cinta dan rindunya. Dia juga telah melanggar garis kemurnian cinta yang dia ikrarkan sebelumnya sebagai puisi. Dan sejak peristiwa itu, puisi Karman telah mati.

Cerpen BH menceritakan perjuangan seorang waria, Niken Lestari. Tingkah laku yang abnormal dari norma-norma sosial yang ada tidak bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya. Pandangan negatif masyarakat ini tidak hanya berlaku bagi Niken, namun juga orang-orang yang dekat dengannya, seperti halnya tokoh aku. Semakin sering tokoh aku main ke rumah Niken, semakin banyak pandangan dan perkataan miring yang santer di masyarakat.

Adalah umum, bahwa pria yang bergaul akrab dengan waria kemungkinan besar adalah kekasihnya. Masyarakat memang melihat dari yang tampak saja, dari kebiasaan yang sering dilakukan oleh waria pada umumnya. Padahal tidak semua dan selamanya kaum waria bergaul akrab dengan pria hanya untuk seks. Mereka juga membutuhkan teman untuk pergaulan.

Sebenarnya dulu Niken adalah seorang hakim, dia terpaksa berhenti lantaran bertentangan dengan jiwanya. Dia kemudian di rumah saja, meneruskan usaha dagang orangtuanya. Niken telah semaksimal mungkin bersikap dan berpikir rasional. Ini agak mengurangi penderitaannya, di tengah lingkungan yang selalu mengejeknya, jijik dan meludahinya, serta tidak memberinya eksistensi sebagai manusia yang punya kondisi tersendiri. Hal ini terlihat dalam petikan berikut.

Ia sibuk menggunakan pakaian khususnya. Long dress, BH ukuran 34, sanggut, eye shadow, dan beberapa cat muka. Niken membelinya khusus. Kami berkencan, untuk ulang tahunnya kami selenggarakan acara khusus. Aku akan merekam suaraku dalam pengajian Al-Quran, di kamarnya, sementara ia menemani dengan pakaian khusus itu. (Halaman 185)

Air mata Niken mengalir, make up di sekitar matanya tersapu lepas dari sosoknya ia tampak berbahagia dengan pakaian putrinya itu. Semoga Allah memberi kekuatan pada Subodro, yakni Niken Lestari itu. (Halaman 191)

Seksualitas yang berasal dari kata “seks” yang berarti ciri anatomi biologis yang membedakan antara laki-laki dan perempuan (misalnya memunyai buah zakar maka dia dapat digolongkan dalam jenis laki-laki), seolah ingin dia terjang. Batasan tersebut baginya terlalu fisik, tidak meliputi segi-segi jiwa.

Cerpen Luber, menceritakan perbuatan zina, dampak dari pergaulan yang mengadopsi gaya hidup Barat. Cerpenis memberikan suatu pandangan akan dampak psikologis yang dialami seseorang yang melakukan perbuatan zina. Perbuatan keji yang merupakan bisikan dari dorongan iblis.

Pengarang mencoba menghadirkan analogi bahwa hubungan seks bebas hanya akan menghadirkan kegelisahan dan ketidaknyamanan. Seperti tokoh lelaki yang telah merenggut kegadisan seorang wanita. Dia mencoba menutupi rasa bersalahnya dengan mencari pembenar atas tindakannya sendiri. Dia berdalih hubungan itu dilakukan suka sama suka.

Toh tokoh aku tetap diliputi rasa bersalah, malah dia ada niatan untuk membunuh sang gadis yang didakwanya telah menjerumuskannya ke dalam kesesatan. Tapi di tengah rencananya itu dia jadi terdiam, rasa bersalahnya yang begitu besar membuat sosok kekasih yang tidur di sebelahnya berubah menjadi ibunya.

Sesaat lamanya aku jadi terdiam kaku, ngeri, sebab dia tiba-tiba saja mulutnya, kemudian hidungnya, kemudian pipinya, kemudian kerut keningnya, kemudian alisnya, kemudian matanya, dan akhirnya seluruh kepalanya, termasuk rambutnya berubah menjadi kepala ibuku. (Halaman 230)

Perubahan sosok si gadis menunjukkan pengarang yang melontarkan pandangan pada laki-laki untuk menghormati perempuan sebagaimana ibunya.

Dari keseluruhan aspek protoplasma yang dibahas dalam analisis ini, dapat ditarik benang merah. Emha menjelaskan seksualitas sebagai empat dimensi yang saling berkait untuk mengkaji perilaku seksual. Pemaknaan ini berdasarkan aspek gender. Yaitu kapasitas fisik, berkaitan dengan rangsangan seksual, kesenangan atau kenikmatan, pemberian makna secara individual dan sosial, dan pembentukan gender serta identitas.

Empat dimensi itulah yang menjadi takaran sebab terjadinya masalah-masalah perilaku seksual seperti yang dialami tokoh Bawong dalam cerpen Yang Terhormat Nama Saya, tokoh Lia dalam Kepada Kelahiranku yang Tercinta, tokoh Karman dalam Terjerembab ke Bumi, tokoh Nia dalam Lelaki ke-1000 di Ranjangku, tokoh aku dalam Luber dan tokoh Niken dalam BH.

BAGIKAN HALAMAN INI DI

10 thoughts on “Mengulik Sendi-sendi Seksualitas dalam BH Emha Ainun Najib”

  1. Terima kasih buat apresiasi pada tulisan saya, yah memang masih BH, tapi sebuah karya toh sampai kapanpun akan tetap menarik untuk diulas, karena apa? Tiap masyarakat pada suatu zaman punya pandangan dunianya sendiri, ya gak?

    Reply
  2. Wah, trims buat Gladis sampai harus berkomentar menaklukkan trauma. Tapi cerpen-cerpennya bukan melulu masalah trauma lho, bisa jadi segala sesuatu berawal dari trauma yang kemudian bertranformasi karena perlakuan lingkungan. Hidup terus mengalir bukan? Tapi mengalir kemana, itu yang harus kita pastikan.

    Reply

Leave a Reply to bumisegoro Cancel reply

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Don't do that, please!