Saat usulan bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi ASEAN berjalan alot sejak 2010, angin segar berembus dari United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). Organisasi pendidikan, sains, dan kebudayaan PBB itu per 20 November 2023 mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kesepuluhnya.
Artinya, bahasa kita mulai ikut digunakan dalam Sidang Umum UNESCO. Tentu, ini tonggak pencapaian baru dalam proyek internasionalisasi bahasa Indonesia.
Bisakah Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Internasional?
Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, tepatnya di pasal 44, memberi amanat pemerintah Indonesia untuk meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan.
Pemerintah sendiri sedang melakukan berbagai upaya untuk mewujudkannya. Antara lain dengan membuat program Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) di 54 negara, pengembangan Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI), distribusi produk-produk seni Indonesia (film, novel), dan sebagainya.
Namun, tentu akan terasa pincang bila hanya pemerintah yang mengemban amanat ini, sementara warganya tidak bergerak ke arah yang sama. Apakah sebagai warga, kita memandang bahasa Indonesia sebagai hal yang perlu terus dipelajari?
Sayangnya, tidak. Harus diakui, ada kecenderungan warga kita yang merasa bahasa Indonesia sudah dari sononya mereka kuasai atau taken for granted. Sehingga, tidak perlu ada usaha untuk mengasahnya lebih lanjut.
Padahal, di sisi lain, sering juga kita membaca tulisan-tulisan berbahasa Indonesia yang amburadul, misalnya, di media-media sosial (medsos).
Harusnya, pengakuan UNESCO ini kita jadikan momentum untuk meningkatkan kualitas bahasa Indonesia kita, baik secara lisan maupun tulisan. Sekalipun jika kita bukan orang yang bergiat di bidang bahasa, seperti jurnalis, novelis, penyiar, atau pembicara.
Hanya dengan cara itu, bahasa yang dituturkan oleh sekitar 280 juta manusia ini dapat naik kelas menjadi bahasa internasional.
Kerugian Menggunakan Bahasa Indonesia Asal-asalan
Bahasa Indonesia adalah alat untuk menyampaikan maksud kita. Siapapun dan apapun profesi kita, penggunaan bahasa Indonesia yang baik sangat mempengaruhi efektivitas pencapaian tujuan tersebut. Sebaliknya. Jika pesan kita disampaikan melalui bahasa Indonesia yang acak-acakan, salah makna, atau ambigu, kita sendiri yang akan rugi.
1. Kecerdasan literasi kita tidak berkembang
Mari kita tengok fenomena yang sedang terjadi. Di setiap musim kampanye pemilu seperti sekarang, para pendukung paslon pilpres kerap baku hantam dengan kata-kata di dunia maya.
Palagan tersebut terjadi hampir di setiap kolom komentar medsos-medsos populer. Sayangnya, perang kata itu banyak yang tidak disampaikan dengan bahasa Indonesia yang jelas. Ada yang saltik (typo), keliru memahami makna kata, salah meletakkan spasi dan tanda baca, atau menyingkat-nyingkat kata.
Menyingkat kata ini kebiasaan yang cukup ajaib. Terutama karena kibor ponsel zaman sekarang sudah demikian nyaman. Tidak seperti era ponsel candy bar yang untuk mengeluarkan huruf C saja kita perlu menekan satu tombol tiga kali. Tidak pula seperti zaman kejayaan SMS yang jumlah huruf dibatasi dengan tarif yang lumayan.
Hari ini, kita begitu nyaman dan murah mengirim pesan. Apa perlunya menyingkat kata-kata?
Seolah kebiasaan itu belum cukup aneh, ada pula yang memakai huruf kapital seenaknya. Menyingkat kata “lagi” menjadi “lg” barangkali sudah umum, tetapi “LG”? Apa tidak takut pembaca memaknainya sebagai nama merek? “Bapak” biasa disingkat menjadi “bpk”, tetapi mereka mengetiknya “BPK”. Apa tidak takut pembaca memahaminya sebagai lembaga negara?
Motivasi menyingkat kata biasanya demi kepraktisan dan penulisan cepat. Namun, mengapa malah bersusah payah memencet capslock dahulu? Tindakan nirfaedah ini ditengarai berangkat dari rendahnya penguasaan bahasa Indonesia.
Sedikit-banyak, kemampuan berbahasa Indonesia (maupun bahasa-bahasa lain) dipengaruhi oleh kecerdasan intelektual (IQ) penuturnya. Celakanya, menurut World Population Review, IQ rata-rata penduduk Indonesia hanya 78,49. Angka serendah ini memang perlu dipertanyakan metodologi pengukurannya, tetapi untuk sementara, kita terima saja.
Ditambah lagi, skor PISA kita sejak 2009 cenderung menurun. Pada 2022, kita bertengger peringkat 67 dari total 79 negara yang diukur. Artinya, pelajar-pelajar 15 tahun Indonesia, tergolong papan bawah soal memahami, menggunakan, mengevaluasi, merefleksikan, dan terlibat dengan teks. Laporan lengkap PISA Indonesia dapat diunduh di sini.
Kalau tidak melalukan sesuatu, level literasi kita akan terus begini-begini saja.
2. Orang lain tidak memahami pesan kita
Semua orang mestinya sadar, bahwa setiap kesalahpahaman yang muncul di benak pembaca hanya akan merugikan dirinya sendiri selaku komunikator. Dalam masa kampanye pemilu seperti sekarang, contohnya, akibatnya bisa lebih runyam.
Pendukung Paslon X dapat dianggap sebagai pendukung Paslon Y. Ia akan mendapat hujatan yang tidak perlu dari sesama kubu Paslon X. Ia juga akan mendapat pujian yang sia-sia dari pendukung Paslon Y (lawannya).
Akibat lainnya, pesannya dapat ditanggapi sebelah mata, “Lo ngomong apa, sih? Enggak jelas banget!” Lalu, dilewati begitu saja.
Dalam bukunya, Attention Span (2023), psikolog Gloria Mark menjelaskan bahwa rentang perhatian manusia terus mengalami penurunan. Pada 2004, rata-rata warganet mengalihkan perhatian dari satu situs web ke situs web lain setiap 2,5 menit. Pada 2021, angka attention span ini menyusut drastis menjadi 47 detik.
Karena itu, buatlah pesan seefektif mungkin, supaya pembaca bisa lekas menangkap poinnya. Itu tidak terlalu sulit bila sejak awal kita menguasai bahasa Indonesia di tingkat dasar.
Bagaimana bila tidak? Belajar lagi! Tidak perlu kita membuka-buka ulang pelajaran SD-SMA tentang struktur kalimat, aturan tanda baca, dan kosakata. Jika kita terbiasa membaca media-media cetak arus utama, otak kita pasti tahu sendiri bagaimana cara menyusun kalimat-kalimat yang efektif.
3. Robot atau mesin tidak memahami pesan kita
Kurang cermat menulis bahasa Indonesia bukan hanya berakibat pada salah paham di kalangan manusia. Robot, mesin, atau kecerdasan buatan (AI) pun bisa terkecoh.
Coba saja salin sepenggal komentar yang ditulis dengan bahasa Indonesia berkualitas rendah, lalu masukkan ke sebuah machine translation (MT), seperti Google Translate.
Kemungkinan besar, MT itu akan gagal menerjemahkannya. Bisa jadi ada kata-kata yang dibiarkan utuh (tidak diterjemahkan), atau diterjemahkan tetapi secara tidak tepat.
Padahal, di zaman AI ini, orang di belahan dunia manapun harusnya tetap mampu memahami bahasa Indonesia dengan bantuan MT.
Ada contoh menarik soal ini, yakni fenomena Julid fi Sabilillah. Warganet Indonesia kompak membanjiri akun-akun medsos tentara-tentara zionis dan Israel Defense Forces (IDF) dengan komentar-komentar seperti “Free Palestine”, “Stop membunuh anak-anak!”, atau “Kalianlah teroris yang sesungguhnya!”
Selain donasi kepada rakyat Palestina dan boikot terhadap produk-produk yang mendukung Israel, aksi julid digital ini dianggap sebagai bentuk dukungan yang paling masuk akal dilakukan oleh rakyat Indonesia kepada masyarakat Palestina.
Masalahnya, pasukan julid tersebut sedikit yang menggunakan bahasa Inggris atau Ibrani, dua bahasa yang dimengerti oleh orang-orang Israel. Kebanyakan mereka menggunakan bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, dan sebagainya. Itu pun, seperti biasa, dengan penulisan yang apa adanya.
Kebiasaan buruk dalam negeri dibawa ke kancah global: menulis disingkat-singkat, pemakaian kosakata yang seingat penulisnya (tidak peduli maknanya tepat atau tidak), tanda baca yang berantakan, dan seterusnya.
Kalau sudah begini, kemungkinan orang Israel hanya akan merasa terganggu karena kuantitas (jumlah komentar), bukan kualitas (isi komentar), karena mereka takkan paham maksudnya. Pesan-pesan itu bagaikan buih di pantai yang terus berdatangan, tetapi segera hilang dengan sendirinya. Bukankah itu pekerjaan yang sia-sia?
Padahal, kita ingin pesan kemanusiaan itu sampai. Kita ingin pihak Israel memahami mengapa kita mengutuknya. Namun, mereka tidak kita beri kesempatan untuk memahami isi pesan, karena kita menulis dalam bahasa Indonesia yang semau gue. Bahkan fitur MT di TikTok, Instagram, Twitter, dan Facebook pun angkat tangan.
Lebih Serius Memakai Bahasa Indonesia
Harold Dwight Lasswell, seorang teoretikus Komunikasi Amerika, menyampaikan model komunikasi klasiknya: “Siapa (who) mengatakan apa (what), melalui saluran apa (which channel), kepada siapa (to whom), dengan efek apa (with what effect).”
Elemen terakhir, yakni dengan efek apa, menekankan pada hasil dari proses komunikasi tersebut. Jika efek tersebut tidak sesuai dengan yang diharapkan, komunikatorlah yang rugi.
Tidak tercapainya tujuan komunikasi itu dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti latar belakang komunikator yang kurang kredibel (who) atau penggunaan bahasa Indonesia yang kurang cermat (which channel).
Akan ada kerugian-kerugian bila kita tidak menggunakan bahasa Indonesia sesuai standar. Selain kerugian-kerugian yang kita rasakan diri sendiri yang baru saja dibahas, bahasa Indonesianya sendiri juga mengalami kerugian, karena akan kurang berkembang.
Maka momentum pengakuan oleh UNESCO, musim kampanye pemilu, dan agresi militer Israel (yang kebetulan terjadi saat tulisan ini dibuat) harusnya bisa kita manfaatkan untuk lebih serius mengasah kemampuan bahasa Indonesia. Hal termudah untuk melakukan itu adalah dengan:
- Sering-sering membaca media cetak yang terkemuka, seperti Kompas, Tempo, Jawa Pos, Republika, atau Media Indonesia.
- Mengunduh aplikasi gratis Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk mengetahui makna sebenarnya dari istilah-istilah yang tidak kita ketahui.
- Membiasakan diri membaca ulang tulisan kita dan memperbaikinya sebelum menekan tombol “kirim” di medsos.
Ya, sesederhana itu cara menghargai serta mendukung bahasa Indonesia.
Entah kapan bahasa Indonesia dapat menjadi bahasa internasional. Bisa tahun depan, sepuluh tahun lagi, dua puluh lima tahun lagi, dan seterusnya. Kapan pun itu, tidak ada salahnya untuk mulai menjunjung tinggi bahasa ini sejak saat ini juga. Karena kalau bukan kita, warga Indonesia, siapa lagi?