“Chika mau makan, nih,” kata Chika. Menyebut nama sendiri ketika berdialog atau ileisme. Pernahkah Anda menemukan gaya bicara ala Tarzan semacam ini?
Saya sering di cerpen, novel, film, apalagi sinetron. Kebiasaan menyebut nama sendiri ini lazim di negeri rumpun Melayu. Baru-baru ini, saya membaca di koran tentang Siti Nurhaliza. Penyanyi dari Malaysia itu berkata, “Saat Siti berumur 10 tahun, Siti keliling kampung dan pasar dengan membawa bakul.” Seperti itulah ileisme.
Praktik Ileisme di Kehidupan Nyata
Kenalan saya, seorang sastrawan Malaysia, juga begitu. Pertama, saya pikir dia berbahasa seperti itu hanya di dialog karya-karyanya. Namun ternyata, saat bercakap-cakap pun dia menyebut namanya sendiri, alih-alih menggunakan kata ganti orang pertama seperti “saya” atau “aku”.
Rasanya, gaya bicara semacam ini tidak ada di akar budaya lain. Anak kecil Prancis dengan tegas mengatakan, “Merci, Maman, je l’adore vraiment” (Terima kasih, Mama, aku benar-benar menyukainya). Bocah balita Amerika bernama Inggrid tegas bicara, “No, that’s mine!” bukannya, “No, that’s belong to Inggrid!”
Setiap bahasa pasti memiliki aturan mengenai kata ganti orang pertama (aku/kami), kedua (kamu/kalian) dan ketiga (dia/mereka). Ketika saya mengatakan, “Anindito mau makan”, timbul pertanyaan, yang berbicara itu orang pertama atau orang ketiga (seseorang yang tidak hadir dalam pembicaraan)?
Keanehan Ileisme Tak Terbaca di Bahasa Indonesia
Bagaimanapun, keanehan ini di tatabahasa Indonesia tak seberapa kentara. Namun, di bahasa lain yang lebih disiplin dalam merujuk subjek? Akan lebih membingungkan.
Dalam bahasa Inggris, umpamanya. “She goes” beda penulisannya dengan “I go”. Perhatikan tambahan “es” di kata kerjanya, meskipun artinya sama-sama “pergi”.
Dalam bahasa Prancis, satu kata kerja malah berubah-ubah disesuaikan kata gantinya. Je vais (saya pergi), il va (dia pergi), tu vas (kamu pergi), vous allez (kalian/Anda pergi), nous allons (kami pergi), ils/elles vont (mereka pergi).
Windy Ariestanty, penulis Shit Happens dan Pimred GagasMedia, menyuarakan pendapatnya kepada Warung Fiksi, “Ileisme hanya masalah cara berbicara sehari-hari. Tentunya dipengaruhi faktor pergaulan dan lingkungan mereka. Bahasa, kan, luwes. Tak ada yang salah dan tak ada persoalan yang muncul karena kebiasaan ini, kan?”
Memang tidak ada masalah. Lagi pula, “Aku bener-bener pernah ketemu orang-orang yang memang kebiasaannya manggil nama sendiri kayak gitu. Menurutku, kalau memang dimasukkan ke karya, justru bagus buat karakterisasi,” Farida Susanty, peraih Khatulistiwa Award 2007 kategori Penulis Muda Berbakat, urun opini.
Apa yang Membuat Orang Jadi Ileis?
Tidak ada salahnya kita mengurai, orang-orang seperti apa yang mempunyai gaya bicara semacam itu. Orang-orang yang menyebut namanya sendiri, dalam kehidupan nyata, biasanya:
1. Bahasa dan orientasinya belum sempurna
Contohnya, anak kecil. Rani merengek sejadinya, “Rani takut, Pa, Rani takuuut….” Meskipun demikian, perkembangan bahasa dan orientasi diri yang tidak sempurna bukan monopoli anak kecil. Orang yang jauh dari peradaban juga, seperti Tarzan.
2. Khawatir tidak terkenal
Ini dialami orang-orang yang karakter dan personal brand-nya tidak kuat. “Mereka takut orang lupa sama nama mereka, kalau nama itu tidak disebutkan bolak-balik,” Nang Eddri Sumitra (E.S. Ito), penulis novel Rahasia Meede dan Negara Kelima turut berdiskusi.
Masuk akal juga, Uda. Seberapa kerap di TV, kita mendengar Betty (nama generik) berkata demikian, “Jangan lupa dukung Betty, ya, di malam grand final nanti.” Atau di radio, “Jangan kemana-mana, Pendengar! Betty akan kembali setelah pesan-pesan berikut ini.”
3. Egois dan narsis
Jules César, kaisar Romawi terbesar, sering menyebut namanya sendiri dalam percakapan. Barangkali, itu strategi komunikasi untuk memperlebar jarak dengan lawan bicaranya. Atau, mungkin juga si César itu cuma seorang narsis.
“Ini terkait dengan ego yang besar,” terang Pritha Khalida, penulis prolifik yang sekaligus Sarjana Psikologi, kepada Warung Fiksi. “Sedikit bocoran, nih, kalau orang melamar pekerjaan dan menyebut dirinya dengan namanya, pewawancara akan menganggapnya selfish.”
4. Berusaha sopan dan akrab
Ini terjadi, masih menurut Pritha, salah satunya pada, “Seorang anak terhadap orang tua atau orang yang umumnya masih saudara tapi lebih dewasa. Ketimbang bilang ‘Mas, aku mau pergi’, biasanya lebih sering anak itu bilang, ‘Mas, Desi mau pergi.'”
Tepat sekali. Di sisi berlawanan, saya juga menemukan orang dewasa yang canggung terhadap lawan bicaranya yang masih anak-anak, “Kalau Pipit udah laper, bilang aja, nanti saya bisa belikan.”
Itulah alasan, sekaligus tipe-tipe (kalau boleh saya menggunakan terminologi itu) praktisi ileisme.
Ini memang gaya bicara yang riil, atau dalam bahasa Farida, “Bukan reka-rekaan novelis atau cerpenis semata.” Namun, jika dimasukkan ke sebuah karya, tetap saja harus ada pertanggungjawaban penulis, kenapa tokoh A sampai bergaya bicara seperti itu.
Tokoh-tokoh Ileis dalam Fiksi
Contoh yang paling mudah, lihatlah tokoh Tarzan. Begini tipikal raja hutan itu kalau berbicara, “Tarzan sees Jane in danger,” said Tarzan to Jane. Tarzan berbicara seperti itu sebab memang dikisahkan orientasi diri dan bahasanya tidak sempurna (tipe pertama). Maklum, Tarzan dibesarkan di hutan sejak orok.
Di Harry Potter: The Chamber of Secret terdapat tokoh Dobby. Tokoh ini pernah berkata kepada Harry Potter, “Dobby has to come, Dobby has to protect Harry Potter.” Sebagaimana tokoh Tarzan, tokoh Dobby juga sesuai dengan empat tipe di atas, terutama tipe pertama dan ketiga.
Tokoh Tarzan dan Dobby merupakan satu-satunya tokoh yang menyebutkan nama sendiri di sepanjang dua karya fiksi itu. Dalam pengamatan sehari-hari, saya jarang sekali menemukan orang-orang yang menyebut namanya sendiri saat bercakap-cakap. Jadi J.K. Rowling tidak salah menciptakan hanya satu tokoh yang bergaya bicara seperti Dobby. Karena itu penggunaan bahasa yang aneh, terutama dalam bahasa Inggris.
“Saya sendiri menggunakan semua itu,” terang Ratih Kumala, juara III Sayembara Penulisan Novel DKJ. “Kadang, tokoh saya menyebut nama bagi diri sendiri, kadang ‘saya’, ‘aku’, atau ‘gue’. Tergantung kesan pribadi macam apa yang ingin ditampilkan.”
Masalahnya, saya banyak menjumpai tokoh-tokoh seperti ini dalam perfiksian Indonesia. Tidak peduli bagaimana karakter itu, seberapa dewasa dia, perlakuan terhadapnya dipukul rata: tokoh itu menyebutkan namanya sendiri.
Dalam bayangan saya, penulis itu takut tokoh ciptaannya tidak dikenali pembaca/pemirsa jika namanya tidak diulang-ulang (tipe 2). Jadi, dia mengambil jalan pintas dalam mengenalkan tokohnya, dengan menyebut namanya sendiri setiap kali berdialog.
Sebenarnya, saya tidak mempersoalkan ileisme atau kata ganti ala Tarzan ini, baik di dunia nyata maupun sebagai dialog tokoh fiksi. Namun, harus konsisten juga karakterisasinya. Jangan sampai tokoh perempuan dewasa yang cerdas dan mandiri menyebut-nyebut namanya sendiri saat berbicara. Setuju?
Wah, bahasa Prancis-nya apik yo, Bram. Pernah ke Paris?
Hm, paling BT kalo dalam diskusi seorang cewek bilang begini,”Menurut Bunga sih nggak banget kalo…..” sambil menggelendot manja, sok kecakepan.
Bram, mungkin ini pertanyaan konyol tapi penting: dimana sih alamat perpus kota dan perpus provinsi?
antok
Thanks, Antok. Prancisku pas2an kok dibilang apik. Ngenyek yo?! 😛 Hahaha, kadang2 memang memanggil nama sendiri gini terkesan sok centil.
Bukan pertanyaan konyol kok. Perpus Provinsi: Jl. Menur Pumpungan 32 (5947830). Perpus Kota: Jl. Rungkut Asri Tengah 5-7 (8707329). Selamat berburu!
1 ini artikel yang menarik bgt. trus terang citra ga pernah kepikiran sampe sana lho,
2 so, citra minta izin buat save artikel ini.yah meskipun citra bukan penulis fiksi, buat di baca** doang. boro** nulis fiksi, nulis komen kek gini aja jarang** :>
3 mo tanya sekalian, neh. jadi dari ke 4 tipe diatas, sitinurhaliza masuk tipe** yang mana, dong??? hehehehe.. itu blom ditulis, kan mas bram?
4 tq
1. Terima kasih.
2. Silakan.
3. Dugaan terbaikku, tipe keempat (berusaha sopan).
4. Sama-sama. Eh, omong-omong, kamu sendiri termasuk tipe yang mana? 😛
Orang melayu termasuk sumatera.. didik untuk menyebutkan namanya dalam biasa sehari.. so itu budaya kami .. mungkin kedengaran so centil.. kanak2.. atw sopan.. dll
mas brahm, ttg penggunaan kata ganti, lebih2 dalam fiksi, menurut hemat saya memang seperti apa yang dikemukakan ratih kumala. pengarang bisa mengambil dari sudut pandang apa pun. yang bikin saya resah, halah, pengaruh penggunaan kita yang sudah mewabah di kalangan selebritis kita, hiks. semuanya menggunakan kata ganti “kita” untuk menggantikan kata “aku” atau “kami”. walah, orang lain yang ndak tahu apa2 kok dilibatkan jugak! repot!
Benar, Pak Sawali. Aku sendiri nggak ada masalah. Tergantung karakter si tokoh fiktif itu seperti apa. Dan terserah pengarangnya, memang. Tapi nggak lucu, dong, kalau karakter-karakter dalam karya yang bercerita kehidupan sehari-hari banyak pakai gaya bicara semacam ini. Mendengarnya jadi aneh.
Gaya ini seperti gaya bicara khas. Ada “kelompok-kelompok” tertentu yang memang menggunakannya. Nah, kalau orang-orang di luar “kelompok” itu menggunakan gaya bicara tersebut, rasanya aneh. Saya mencontohkan teman saya, Icang (tokoh nyata), yang coba-coba pakai gaya begitu. Kesannya jadi gimanaaaaa… gitu 😀
Oh, iya ya. Masalah kata ganti “kita” itu juga. Mungkin ini adaptasi dari bahasa daerah “kitorang” (kita orang?) yang dipakai untuk mengganti “aku”, kadang-kadang juga “kami”. Dalam kehidupan sehari-hati, malah aku lebih banyak ketemu orang yang suka menyamakan “kami” dan “kita”. Dengan catatan: Kata “kita” lbh sering dipakai, sekalipun yang dimaksud pembicara adalah “aku dan dia”. Mungkin kata “kita” terkesan lebih tidak kaku ketimbang “kami”. Padahal yang benar, “kita” = “aku” + “kamu”. Kalau yang dibicarakan nggak ada “kamu”-nya, ya nggak boleh pakai kata “kita”, dong.
Walah, kok jadi bahas pelajaran bahasa, nih? Omong-omong, terima kasih banget atas sumbang pendapatnya, Pak Guru Sawali. Blognya tambah keren aja, tuh ^_^
Menurut saya ya, dari sisi bisnis, menyebut nama sendiri bisa menjadi cara jitu agar namanya di ingat. Terutama dikalangan artis, atau pegawai perusahaan besar. Seperti memasarkan diri sendiri (dalam tulisan seperti penyiar TV itu).
Mungkin untuk membangun personal brand gaya bahasa seperti ini bisa membantu.
Bener, Mas Brahmastagi. Salah satu motivasinya yang saya lihat memang begitu. Thanks, ya, udah mampir.
kitorang dan korang di pake di m’sia, tp utk pembicaraan non formal dan jg di komik2, biasanya di ‘tebelin’ (bold).
Oooh, begitu, ya? Trims buat penjelasan tambahannya, Mas Karna.
dengar aja kalo orang malaysia atau melayu (daerah Kepulauan Riau),
mereka kebanyakan menggunakan nama, seperti halnya tarzan.
Terima kasih udah mampir, Aghoose. Hm, berarti gaya bicara ini juga dipengaruhi budaya, ya.
wah bagus sekali artikelnya, saya agak jarang membaca novel pop dewasa ini, jadi kurang ngeh dengan perkembangan gaya sastra terbaru.
Sejauh ini saya hanya menemui orang-orang yang mengucapkan nama mereka sewaktu bicara yang tampaknya jatuh ke kategori keempat, soalanya mereka memang anak rumahan sekali, jadi kalau bicara pun sangat sopan.
penggunaan tipe percakapan ini menurut saya tidak masalah, asal tidak berlebihan. Misalnya mungkin untuk memperdalam karakterisasi tokoh tertentu (yang diperlihatkan memiliki kesopanan atau kemanjaan luar biasa).
Thanks, Calvin. Persis seperti itulah yang kumaksud. Lihatlah sinetron-sinetron kita, beberapa tokoh yang mandiri, kuat dan dewasa ternyata juga mengucap namanya sendiri sewaktu bercakap-cakap. Kalau sedikit sih nggak papa, la ini banyak yang kayak gitu. Maksudnya apa, coba?
Ya, saya ingat Brahm pernah menanyakan perihal kata ganti orang pertama ini beberapa waktu lalu.
Mengutip kalimat Anda [Masalahnya, saya banyak menjumpai tokoh-tokoh seperti ini dalam perfiksian kita. Tidak peduli bagaimana karakter itu, seberapa dewasa dia, perlakuan terhadapnya dipukul rata: Tokoh itu menyebutkan namanya sendiri. Namun, apa latar belakang dan motivasi si tokoh? Kenapa dia sampai bicara seperti itu? Saya sulit menemukannya.], saya ingin kasih pendapat.
Ada dua unsur besar dalam fiksi kita yang kerap tak dikuasai penulis: 1) konflik/masalah, dan 2) penokohan. Biasanya, jika ‘konflik/masalah’ yang diangkat kuat, ‘penokohan’ karakter belum tentu. Begitu pula sebaliknya. Dengan menyesal saya harus bilang, banyak dari penulis kita yang belum punya kemampuan untuk membuat penokohan yang baik, itulah sebab semua dipukul rata.
Nah, soal kata ganti orang pertama, itu salah satu permasalahan di dalam ‘penokohan’. Itu baru hal yang sederhana, saya sering menemukan kesalahan yang lebih besar di cerpen para penulis pemula, yaitu: memasukkan pengetahuan penulis ke dalam tokoh. Padahal ‘tokoh yang diciptakan’ dan ‘penulis’ adalah orang yang berbeda. (Btw, kok ngomongnya jadi melenceng ya!? 😛 hehehe, sorry…)
Ya, begitulah kira-kira. Mungkin teman-teman punya pendapat lain.
-rk-
Trims udah mampir di warung sederhana ini, Mbak Ratih. Yap, pendapat kita sama dan sebangun (halah, apaan sih?!). Karakter Tarzan ini bisa dimanfaatkan buat memperkuat penokohan, tapi pergunakan dengan bijak, jangan berlebihan.
BTW, Mbak Ratih udah terima e-magznya, kan? Atau setidaknya udah download, kan?
wow pengamatan yang bagus
ngomentarin komen citra yang pertama…
siti nurhaliza menyebut namanya sendiri di perkataanya karena itu sudah khas nya orang melayu. selain itu juga agar terdengar sopan.
jadi kata orang ketiga, dll itu tergantung dari penataan epik bahasa nya. memang ada beberapa (tapi jarang) negara – negara yang mempunyai budaya seperti itu dalam bahasa formal. tapi tolong di check lagi takut salah ;D
Trims jawabannya, Dessy. ^_^
Nice, very nice…
Ini die tips yang gw cari, sampai2 saya beli 3 buku tips nulis – tetep saja aku tidak menemukannya!
Thanks, very thanks from the bottom of my heart 🙂
Sama-sama, Miphz 🙂
Sampai sekarang saya sering tanpa sadar menyebutkan nama sendiri dalam berbicara di antara kawan dekat atau keluarga :)) (terkadang juga pada orang yg baru kenal)
Entah karena kebiasaan, ato alasan terakhir yg mas sebutkan ato entah apa, tapi yg berbicara macam begini hanya saya dan tante saya seorang lohhh. (sering pula bapak sm ibu saya ato anggota keluarga lain saat merespon saya. Oh tapi kecuali kakak saya, dia bakal respon dengan kata ‘gw’)
Ohya, saya juga mau menambahkan. Ternyata orang jepang (biasanya juga anak2) juga mengadopsi kebiasaan ini loh biasanya…
Apakah ini jangan” ciri khas bahasa asia secara general? (.__.) hahah
Thanks, Olin. Oh ya? Jepang juga begitu, ya? Wow…
Ya liat situasi lah bray.. Klo situasi formal ya ga mungkin nyebut pake nama.
Itukan cuma digunakan pada saat2 tertentu seperti sama orang yg dihormati saudara/orang yg lbh tua.
Klo formal kaya kerja atau sekolah ya pake kata “saya”
Intinya semua ada tempatnya.
Tergantung dr kita bisa nempatin gak. Hehe
Benaaaar… 🙂