- Judul: The Old Man and The Sea
- Genre: Novela
- Pengarang: Ernest Hemingway
- Penerbit pertama: Charles Scribner’s Sons, New York
- Terbit pertama: 1952
- Penghargaan: Pulitzer Prize kategori Fiksi (1953), Nobel Sastra (1954)
The Old Man and The Sea adalah mahakarya Ernest Hemingway. Terjemahan Indonesia dari novela ini berjudul Lelaki Tua dan Laut, diterbitkan pertama oleh Penerbit Pustaka Jaya, tahun 1973, dengan Sapardi Djoko Damono sebagai penerjemahnya.
Seperti apa jalan cerita novela The Old Man and The Sea? Berikut ini kami mencoba menceritakannya kembali untuk Anda, dengan ringkas dan bahasa kami sendiri.
I. Nasib Buruk Santiago: The Old Man and The Sea
Sungguh apes Santiago. Selama 84 hari, nelayan Kuba itu tak kunjung berhasil menangkap ikan seekor pun. Nelayan lain turut prihatin dengan nasib buruknya, tetapi mereka menjaga jarak dengannya.
Hanya Manolin yang masih setia menemani Santiago. Mungkin karena dahulu, ketika usia lima tahun, Santiago membawa pemuda itu ke laut. Sampai sekarang, ia dekat dengan Santiago. Bahkan mengaguminya sebagai nelayan panutan.
Setiap malam, Manolin datang ke gubuknya dan membantu Santiago mengurusi tetek bengek perahu, seperti tiang kapalnya, layarnya, talinya, juga harpunnya. Walaupun belakangan, orang tua Manolin melarangnya, karena Santiago dan perahunya mereka anggap membawa sial.
Tidak berusaha menyangkal, Santiago sependapat dengan orang tua Manolin. Ia lebih menyarankan Manolin pergi bersama nelayan-nelayan lain yang perahu-perahunya lebih baik dan hasil tangkapannya lebih menjanjikan.
II. Kesetiaan Manolin: The Old Man and The Sea
Hari itu, Manolin menawari Santiago bir di restoran pantai Terrace. Di sana, mereka bercakap-cakap mengenai masa lalu. Sambil bersantap malam, mereka juga membahas Liga Bisbol Amerika.
Lelaki tua itu mengagumi Joe DiMaggio, salah satu pemain bisbol terkenal sepanjang masa. Santiago mendengar bahwa DiMaggio adalah putra seorang nelayan. Ia merasakan kedekatan emosional dengan pemain tersebut.
Berbicara soal rasa kagum, Manolin kemudian mengatakan bahwa baginya Santiago adalah yang terhebat di antara semua nelayan. Walaupun selama 84 hari, laut seperti tidak bersahabat dengannya. Hari ke-85 niscaya lebih baik!
Makanya, ia bersikeras agar Santiago mau menerima umpan segar pemberiannya sebelum melaut besok. Bagaimanapun, angka 85 mengandung keberuntungan. Lagi pula, arus di Bulan September secara teori ideal untuk menangkap ikan besar.
Setelah percakapan itu, mereka membawa pulang peralatan memancing Santiago. Pemuda itu mengambil ikan sarden dan umpan segar yang dijanjikan.
Manolin ingin memastikan bahwa mentor sekaligus teman tuanya itu mendapat makan malam yang hangat, yang ia ambil dari Resto Terrace. Pemiliknya sudah berbaik hati memberi dua botol bir dan makanan. Manolin mengucapkan terima kasih atas nama Santiago.
Untuk musim dingin yang akan datang, pemuda itu berencana membelikan Santiago kemeja, selimut, sepatu, sabun, dan handuk. Semua itu akan berguna, daripada Santiago terus-terusan mengenakan baju itu-itu saja yang sudah ditambalnya berkali-kali.
Malam makin larut, Manolin pamit. Mereka berpisah.
Di gubuknya, Santiago memimpikan masa mudanya. Tentang perjalanan pertamanya sebagai nelayan yang membawanya ke pantai Afrika. Masih segar dalam bayangan itu, pantai yang indah, singa yang datang dan bermain di sana ketika senja, lincah layaknya seekor anak kucing.
III. Hari ke-85: The Old Man and The Sea
Dini hari berikutnya, Santiago dan Manolin menyiapkan perahu lalu minum kopi bersama.
Begitu mahahari hampir terbit, lelaki tua itu mendayung perahunya keluar dari pelabuhan. Kesibukan para nelayan lain terdengar, tetapi tidak terlihat lantaran hari masih gelap. Mereka melengkapi dirinya dengan perahu motor dan jaring pukat.
Hari ini, Santiago memutuskan untuk melaut lebih jauh dari biasanya. Ia berencana ke Teluk Meksiko. Maka ia terus mendayung, sampai garis pantai tidak lagi terlihat, hanya tampak puncak bukit yang bersinar seperti salju di kejauhan.
Ketika matahari mulai muncul di cakrawala, lelaki tua itu sudah tiba di tempat yang diinginkannya. Ia pun melempar umpannya. Semuanya sempurna, tidak ada kesalahan. Yang ia butuhkan kini hanyalah sedikit keberuntungan, sesuatu yang tidak dimilikinya selama 84 hari ini.
Mata jeli Santiago mengamati burung, permukaan air, ikan terbang, plankton, dan formasi awan. Nelayan gaek itu melihat seekor burung berputar-putar di atas permukaan air, pertanda ada sekawanan ikan tuna di bawahnya. Di sanalah, Santiago berhasil menarik 4,5 kilogram pertamanya.
Lumayan. Walau itu bukan tangkapan yang ia harapkan.
Santiago mulai berbicara keras-keras dengan dirinya sendiri. Padahal, nelayan manapun tahu, tidaklah bijak berbicara yang tidak perlu saat sedang mencari ikan.
Namun, Santiago terus berbicara. Tentang apa saja. Mulai dari prajurit Portugis yang cantik tetapi toksik, sampai spesies kura-kura yang perilaku aneh serta umur panjangnya memberi mereka aura mistis.
Orang tua itu terus berbicara. Bukan gila. Ini cuma upayanya untuk menghibur diri. Para nelayan kaya sungguh nyaman, mereka bisa mendengarkan berita bisbol di radio kapal mereka. Sedangkan ia? Hanya seperti inilah caranya mengusir sepi.
IV. Ikan Marlin: The Old Man and The Sea
Santiago merasakan tarikan. Buru-buru, ia memegang tali pancing di antara ibu jari dan telunjuknya, merasakan apa yang terjadi di bawah air sana. Santiago memprediksi seekor ikan besar sedang menggerogoti kepala ikan tuna yang menjadi umpan. Tetapi ikan besar itu belum sampai menelan kailnya.
Cukup lama penantian tersebut, sebelum akhirnya ikan itu, yang ternyata seekor marlin, menelan kail di mulutnya. Kuat sekali tenaganya! Alih-alih berhasil mengangkat ikan itu, perahu Santiago malah terseret jauh.
Santiago berhati-hati dalam menarik-ulur pancingnya. Jangan sampai ikan itu melepas umpan lantaran panik.
Sementara, umpan dan kail harus masuk lebih dalam ke tenggorokannya, hingga pada akhirnya membunuhnya. Tetapi luka di mulut ikan akibat kail juga jangan sampai terlalu lebar, karena nanti ikannya bisa terlepas.
Selama berjam-jam, hingga malam tiba, ikan marlin itu menyeret perahu hingga laut lepas. Padahal, Santiago tidak membawa bekal selain botol minum kecil dan tuna yang baru ditangkapnya tadi. Sementara, ia harus terus menahan tali di punggungnya dan tetap waspada untuk setiap perubahan situasi.
Ikan marlin itu tidak ada tanda-tanda akan menyerah. Ini adalah duel yang seimbang.
Malam harinya, punggung renta itu mulai menegang. Tangan kiri mulai kram, membentuk cakar yang kaku. Santiago harus mengubah posisi duduknya dan menunggu sampai tangan itu terbuka dengan sendirinya. Bagaimanapun, ia harus siap beraksi ketika pertempuran penghabisan dengan ikan itu sewaktu-waktu terjadi.
Demi menjaga kekuatannya, Santiago terpaksa memakan tuna mentah-mentah. Ia memotong ikan itu dengan tangannya yang bebas dan mengunyahnya dengan hati-hati.
Seekor burung kecil terbang begitu jauh dari daratan, dan hinggap keletihan di tali pancing yang masih menegang di antara Santiago dan marlin itu. Awan menumpuk tebal. Namun, firasat nelayan itu mengatakan, takkan ada badai yang datang.
Selang beberapa lama, kemiringan tali pancing berubah. Ikan itu muncul ke permukaan dan melompat. Santiago melek menyadari betapa besar dan megahnya marlin tersebut.
V. Pertempuran Terakhir: The Old Man and The Sea
Pemandangan di depan Santiago silih berganti. Mulai dari pesawat yang terbang tinggi di langit, hingga plankton yang berpendar di kedalaman laut. Santiago, meskipun tidak religius, memanjatkan berdoa keberuntungan. Untuk mengisi perut dan memberinya energi, ia menangkap lumba-lumba dan memakannya.
Demi harga diri sebagai nelayan dan tekad untuk mengakhiri nasib buruknya, Santiago harus bertahan!
Nelayan senior itu teringat bagaimana ketika muda ia pernah mengalahkan seorang pria kulit hitam perkasa dalam pertandingan panco selama 24 jam. DiMaggio yang tetap bermain sempurna dengan tumit yang kesakitan sungguh menginspirasinya untuk menjadi kuat.
Santiago kemudian tertidur. Di pengujung malam, ikan marlin incarannya menjadi gelisah. Gerakannya makin liar.
Pada awal hari ketiga, ikan mulai berputar-putar. Ini merupakan tanda-tanda bahwa akhir hidupnya sudah dekat. Ia jadi berempati. Pandangannya terhadap ikan itu jadi seperti pandangan terhadap saudaranya sendiri.
Apalagi, keadaan Santiago juga tidak lebih baik dari ikan itu. Setiap bagian tubuhnya terasa sakit. Ia juga mulai melihat bintik-bintik hitam di depan matanya. Sementara tali pancing menyayat tangannya kian dalam dan perih.
Duel ini rasanya harus segera diakhiri. Hanya ada satu di antara keduanya yang bisa keluar sebagai pemenang.
Peluang itu kemudian muncul. Lintasan perputaran ikan makin menyempit, makin dekat di sekitar perahu. Kendati ikan tersebut terasa masih bertenaga. Dibutuhkan serangan harpun untuk membunuhnya seketika. Sayangnya, lelaki tua itu merasa terlalu lemah jika jarak tembaknya masih sejauh itu.
Namun, pada suatu waktu, sang marlin muncul secara sukarela di samping perahu. Santiago segera menyahut dan mengayun harpunnya. Tombak ikan itu pun menancap dengan sempurna.
Selesai! Marlin raksasa itu sudah tamat.
Masalahnya, hewan itu ternyata terlalu besar untuk dibawa di atas perahunya. Santiago sampai harus mengikatnya di samping perahu, sebelum berlayar pulang.
VI. Serbuan Hiu: The Old Man and The Sea
Satu jam kemudian, seekor hiu muncul. Hiu mako yang gesit itu pasti mengendus aroma darah yang menetes-netes dari ikan kepala marlin tangkapan Santiago.
Sebagai nelayan yang telah banyak makan asam-garam, Santiago tahu apa yang harus dilakukan. Saat mako itu menyerang dari belakang dengan rahang yang menganga, ia kembali menombakkan harpun tepat di antara dua matanya.
Hiu itu sempat menyobek sebagian besar ekor marlin tangkapan, sebelum menyelam kembali, membawa serta harpunnya yang menancap di dahi ke kedalaman laut. Mungkin mako itu sebentar lagi menemui ajalnya.
Laut memang kejam. Untuk sekadar bertahan hidup, semua makhluk harus melakukan pembunuhan. Demikian pula Santiago yang telah menjadi bagian dari laut selama tiga hari ini.
Meskipun tidak utuh lagi, ikan marlin tangkapannya masih berat. Santiago memperkirakan harganya masih bisa mahal di pasar ikan. Cukup untuk membuatnya bertahan di sepanjang musim dingin nanti.
Harpun hilang, Santiago memasang pisau di dayung sebagai senjata cadangan. Firasatnya mengatakan, bangkai marlin yang dibawanya akan mengundang hiu-hiu lainnya.
Prediksi tersebut akurat. Dua hiu lain muncul. Dengan sigap, Santiago menggunakan dayung berpisau untuk menghalau. Tetapi hiu-hiu itu tetap berhasil menyobek sebagian daging marlin dan membawanya ke kedalaman laut. Di saat krusial seperti itu, bilah pisaunya malah patah. Santiago terpaksa hanya memukuli hiu-hiu itu dengan dayung untuk mengusirnya.
Malam kembali tiba. Sekarang, hiu muncul bergerombol. Setengah tubuh marlin sudah hilang. Perlengkapan tempur pun makin seadanya.
Merasa senjatanya tidak lagi efektif, Santiago merasa lebih baik mendayung menjauh dari hiu-hiu itu saja.
Sikap pasif tersebut harus dibayar mahal. Kini, tidak ada yang tersisa dari ikan marlinnya. Kabar baiknya, sejak itu, tidak ada lagi hiu yang mengganggunya.
VII. Pulang: The Old Man and The Sea
Santiago mencapai pantai pada tengah malam. Semua orang mungkin masih asyik di bawah selimutnya. Jadi, ia berjuang sendiri untuk mengangkat tiang kapal dan berlayar ke pantai. Terseok-seok, orang tua itu lalu ambruk di tempat tidur gubuknya seperti orang mati.
Keesokan paginya, para nelayan lain yang tidak dapat melaut karena terhalang cuaca buruk berkerumun. Mereka mengagumi besarnya kerangka ikan marlin yang masih menempel di perahu Santiago.
Di gubuk, Manolin merawat Santiago dan memberinya kopi. Tetapi butuh beberapa saat sampai ia benar-benar terjaga. Nelayan tua itu memang perlu waktu untuk memulihkan tenaganya yang barusan terkuras di laut.
Manolon bercerita, sementara Santiago pergi, ia berhasil menangkap ikan di kapal lain. Dan berikutnya, Manolin bertekad untuk pergi melaut bersama Santiago.
Awalnya, Santiago menolak, karena ia merasa masih dirundung nasib buruk. Namun, pemuda itu tidak peduli. Ia tahu bahwa meskipun teman tuanya baru saja kalah dari sekawanan hiu, Santiago masihlah seorang nelayan juara yang perlu diteladani.
Ini salah satu bacaan favorit masa remaja dulu. Old but gold.