Menjelang pergantian tahun 2021 kemarin, dua pebisnis yang berjiwa muda bertemu di Kanal YouTube Sandiuno TV. Mereka adalah Mardigu Wowiek (pemilik lebih dari 30 perusahaan) dan Sandiaga Uno (Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif) selaku tuan rumah.
Mardigu membuka obrolan dengan menyampaikan empat perubahan besar atau disrupsi yang bertubi-tubi kita alami satu hingga dua dasawarsa ini.
Sekadar catatan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V, disrupsi adalah interupsi terhadap proses atau kegiatan yang telah berlangsung secara berkesinambungan.
1. Disrupsi Muslim
Menurut pengamatan pria yang menjuluki dirinya Bossman Sontoloyo itu, ada fenomena unik di Indonesia. Makin kaya seseorang, makin spiritual dirinya, makin sering ke masjid, gereja, dan sebagainya. Unik karena di luar sana, justru berlaku kebalikannya. Makin banyak orang kaya, makin sepi rumah ibadah.
Nah, khusus penganut agama Islam, Mardigu mengamati tahap-tahap disrupsinya sebagai berikut:
Muslim 1.0: Hijrah Fesyen
Orang mulai peduli dengan penampilan syar’i. Misalnya, dari tidak berjilbab menjadi berjilbab. Dari jilbab biasa menjadi jilbab lebar, tidak ketat, tidak menerawang. Tatariasnya pun harus yang berbahan halal.
Muslim 2.0: Hijrah Makanan
Awalnya, orang makan yang penting enak dan kenyang. Sekarang, mereka lebih sensitif dengan isu halal-haram, bahkan makruh. Sertifikat halal menjadi penting. Kafe dan restoran yang ada musalanya pun lebih laku.
Muslim 3.0: Hijrah Harta
Orang mulai memperhatikan sumber pendapatannya. Antara lain soal pekerjaannya, investasinya, sampai banknya. Yang mengandung riba, bersumber dari penjualan barang haram, maksiat, mengambil hak orang lain, atau faktor-faktor lain yang membuat harta tidak berkah akan mereka hindari.
2. Disrupsi Digital
Kian canggihnya internet memicu perubahan revolusioner di bidang digital. Surat diganti email, kampanye baliho diganti iklan di dunia maya, belanja di mal diganti belanja daring, birokrasi jadi transparan melalui portal terbuka, kebutuhan akan kertas menurun drastis, dan lain-lain.
Bahkan di dunia digital sendiri terus terjadi pergeseran tren. Salah satunya, dari media sosial (medsos) yang mengutamakan followers atau pengikut menjadi media terbuka, seperti TikTok. Seseorang tidak lagi perlu memiliki banyak pengikut. Asal kontennya bagus, pasti tetap berpeluang viral.
Dengan demikian, kampanye content marketing atau pemasaran konten sebenarnya tidak membutuhkan selebgram yang memiliki jutaan pengikut.
Yang lebih efektif justru menggandeng para nano-influencer, yakni pemain medsos yang hanya memiliki 1.000-10.000 pengikut, tetapi benar-benar mencintai dan menjiwai bidang tertentu.
Bagaimanapun, “Di zaman digital ini, semua orang adalah broadcaster,” kata Mardigu.
3. Disrupsi Milenial
Milenial, warga yang kurang-lebih lahir pada 1981-1994, menurut penelitian si Bossman Sontoloyo, tidak mau melakukan hal-hal yang dilakukan oleh Generasi X atau seniornya yang kelahiran 1965-1980.
Contohnya, milenial tidak suka mobil sedan, tidak tertarik dengan permainan golf, jam kerjanya juga tidak mau jam 9.00 ke 5.00. Tanggal merah bagi kaum milenial adalah omong kosong, karena mereka terbiasa menentukan tanggal merah sendiri. Kapan mau bekerja, liburan, dan di mana lokasi kerjanya, terserah mereka.
Sandi menambahkan juga pentingnya sustainibility atau keberlanjutan dalam perilaku bisnis milenial. Mereka rupanya peduli dengan isu-isu lingkungan, sumber energi terbarukan, kiat meminimalkan sampah, air, gaya hidup sehat, olahraga, tidur cukup, vitamin, keseimbangan spiritual, dan sebagainya.
Pendeknya, menurut Sandi, milenial memiliki kepedulian terhadap 3P: Planet (kelestarian alam), People (kenyamanan dan kebahagiaan orang-orang di lingkupnya), dan Profit (keuntungan finansial).
4. Disrupsi COVID
Pandemi membuat banyak usaha konvensional (brick & mortar) bangkrut. Ruang-ruang pertemuan, kantor, dan kelas tidak lagi terlalu dibutuhkan. Sebab, ada Zoom, Google Meet, Microsoft Teams, dan berbagai platform lainnya.
Jadi, sudah saatnya serius menggarap perwakilan bisnis di dunia maya melalui situs web, medsos, dan sebagainya. Termasuk di sektor pariwisata.
Apalagi, akan ada platform metaverse. Menurut Mardigu, metaverse merupakan versi ideal dari dunia nyata yang sudah sangat sulit untuk diubah. Ia memprediksi, industri-industri dunia satu per satu akan pindah ke metaverse.
Yang menarik, Mardigu juga melempar ide, “Aset-aset nyata di Indonesia pun sekarang bisa di-NFT-kan.”
Sekadar catatan, Non-Fungible Token (NFT) adalah aset digital yang dapat digunakan sebagai bukti kepemilikan barang. Misalnya, lukisan, gim, video, bahkan gedung. Sebagaimana umumnya barang di dunia nyata, jika sebuah barang sudah dibeli dan habis, barang itu tidak bisa dimiliki orang lain.
Makanya, menurut Mardigu, negara harus bergerak cepat, sebelum swasta yang berinisiatif melakukannya.
Semua ini memungkinkan dengan teknologi blockchain yang terdesentralisasi, alias tidak dikendalikan oleh suatu badan atau lembaga tertentu.
Bagaimana cara berjual-beli aset di metaverse? Dengan mata uang kripto yang juga tidak terpusat. Mardigu meyakini, kemungkinan mata uang di metaverse nantinya adalah Bitcoin.
2022 Tahun Kebangkitan Ekonomi
Dengan segenap disrupsi di atas, strategi kampanye dan content marketing harus cepat menyesuaikan. Ini supaya kita segera bangkit pada tahun 2022 ini. Hari ini, perhelatan-perhelatan pariwisata juga sudah mulai virtual. Tur-tur virtual hadir sebagai alternatif kunjungan fisik ke tempat-tempat wisata.
Orang luar pun sebenarnya dapat mengunjungi Top 5 Tujuan Wisata di Indonesia hanya melalui peranti Virtual Reality (VR). Membeli suvenir juga bisa tanpa meninggalkan rumah. Jalan-jalannya virtual, tetapi oleh-olehnya benar-benar dibeli dan dikirim ke rumahnya.
Untuk meningkatkan pariwisata Indonesia ke level dunia, tentu kita harus mengikuti tren dunia.
Mardigu menyarankan kepada sang Menteri untuk memanfaatkan pertemuan Group of Twenty (G20) di Indonesia pada akhir 2022 nanti. Ciptakan moment of greatness bagi pariwisata (ke) Indonesia, usul si Bossman.
Acara G20 di Bali nanti adalah pertemuan negara-negara dengan perekonomian terbesar dunia, yang mana Indonesia termasuk di dalamnya. “Wawancarailah tiga penerima Nobel Ekonomi yang hadir,” usul Mardigu. “Undang taipan-taipan seperti Tony Fernandes, Elon Musk, atau Richard Branson.”
Sementara di dalam negeri, gunakan nano-influencer untuk menjalankan strategi content marketing-nya. Misalnya, dengan mengadakan challenge event di TikTok. Konten dengan pemirsa tertinggi akan memperoleh hadiah dari Kementerian.
“Selain nano-influencer, juga harus disiapkan nano-destination,” imbuh Sandi. Destinasi-destinasi wisata kecil alias desa-desa wisata yang unik dan TikTokable dan Instragrammable ini juga menarik untuk mendenyutkan urat nadi pariwisata kita.
Apapun itu, rencana kebangkitan 2022 harus lekas dieksekusi. Sebab, sebentar lagi, yakni tahun 2023, musim politik akan datang kembali. Kita tahu, Indonesia belum terlalu dewasa perpolitikannya. Sehingga, segala aspek akan selalu dihubung-hubungkan dengan politik. Akan merepotkan, nanti.
Nice post. I learn something from this article on NFT, Metaverse and so on.