Cukup sering, pedagang daring (online seller) menolak ketika calon pembeli hendak mengunjungi tokonya. Akibat penolakan tersebut, pembeli yang tadinya hendak membuktikan apakah toko atau pedagang ini riil pun makin curiga ada unsur penipuan.
Padahal, memang ada beberapa alasan logis mengapa seorang penjual tidak mau dikunjungi pembelinya. Apa sajakah itu?
(1) Aturan Pemilik Lokapasar (Marketplace)
Sebagian besar pemilik lokapasar melarang para penjualnya (merchant) memberikan alamat atau nomor teleponnya kepada pembeli. Semua proses jual-beli, mulai dari A sampai Z, harus diselesaikan melalui sistem internal dalam situs web lokapasar tersebut.
Dengan aturan semacam ini, dan diperkuat dengan sanksi tegas apabila penjual ketahuan melanggarnya, wajarlah jika banyak pembeli yang menolak saat calon pembeli mengajak bertransaksi di luar sistem. Termasuk langsung mendatangi toko fisik atau gudang sang penjual.
Bagaimana kalau pemilihan barang dan pembayaran (check-out) melalui sistem lokapasar, tetapi paketnya akan diambil sendiri oleh pembeli di lokasi toko fisik?
Itu tidak memungkinkan. Sebab, umumnya lokapasar mewajibkan penjual mengirim menggunakan jasa kurir pihak ketiga. Akan ada pelacakan melalui nomor resi. Jika penjual tidak kunjung memasukkan nomor resi pengiriman yang valid dalam beberapa hari, maka sistem otomatis akan membatalkan transaksi. Penjual rugi, pembeli pun kecewa.
Dalam lokapasar, kredibilitas toko ditentukan oleh tingkat kelarisan, alias seberapa merchant berhasil menyelesaikan transaksi. Kalau tidak begitu banyak, apalagi reputasinya tercoreng oleh pembatalan transaksi, ratingnya akan stagnan, bahkan kian terpuruk.
Lapak-lapak dalam lokapasar selalu berlomba-lomba untuk menyelesaikan transaksi sebanyak-banyaknya dan sesuai aturan, agar rating dan review-nya kian tinggi. Pada gilirannya, makin banyak calon pembeli yang mampir ke toko daringnya, lantaran algoritma lokapasar menyukainya.
(2) Pedagang Daring itu Dropshipper
Dropship adalah sistem perdagangan yang penjualnya (dropshipper) hanya perlu memasarkan dan menjual barang milik pihak lain tanpa kulak (menyetok barang). Ia seperti makelar yang mempertemukan penjual dan pembeli. Tetapi ia menjual barang pihak lain dengan namanya sendiri.
Setelah pembeli mentransfer sejumlah uang untuk pembelian, seorang dropshipper bernama X akan buru-buru membelinya dari pemilik barang dan meminta untuk segera diproses. Untuk pengepakan dan pengiriman, biasanya X menginstruksikan pemilik barang untuk menuliskan nama dan alamat X sebagai toko pengirimnya.
Produsen atau pemilik barang diuntungkan karena dagangannya terbeli tanpa repot-repot jualan. Sang dropshipper juga diuntungkan dengan komisi atau selisih harga barang tersebut.
Dengan skema jual-beli semacam ini, lumrahlah bila seorang dropshipper tidak memiliki barang jualan di tempatnya. Mungkin ada, tetapi sedikit. Karena kalau harus kulak atau menyetok barang banyak dan lengkap, ia pasti sekalian memilih menjadi reseller yang menjanjikan keuntungan per item lebih tinggi.
Melihat sedikitnya barang yang dipajang, calon pembeli kemungkinan besar akan tidak puas saat mengunjunginya rumah atau gudang itu. Memang, toko itu tidak dirancang untuk didatangi secara luring (offline), karena tidak semeyakinkan penampakan di situs web atau media sosialnya.
Dropshipper sudah bisa meramalkan kekecewaan itu. Jadi sejak awal, biasanya ia akan melarang calon pembelinya mengunjungi tempatnya. Daripada citra megah dan mewah yang susah payah ia bangun di dunia maya hancur setelah kunjungan tersebut.
(3) Pedagang Daringnya Tidak Mau Ribet
Bayangkan bila setiap calon pembeli diperbolehkan datang ke kantor, rumah, atau gudang, tetapi hanya membeli sedikit atau bahkan tidak jadi membeli. Bukan hanya waktu, tenaga sang pedagang jelas tersita banyak. Tidak semua pedagang daring memiliki pegawai untuk melayani kunjungan fisik.
Umumnya, pekerjaan mereka sudah padat. Mulai dari mengatur barang dagangan yang keluar-masuk, melayani pertanyaan-pertanyaan calon pembeli (baik lewat telepon, chat, maupun email), mengepak barang, menghubungi jasa ekspedisi, menangani komplain, menulis pembukuan, memperbarui situs web atau lapak online, dan seterusnya.
Bayangkan bila tim semacam ini kedatangan calon pembeli yang ingin memilih-milih barang di lokasi. Katakanlah aneka model batik. Maka mereka harus membongkar koleksi batiknya, menampilkannya di depan tamu itu, menunggu tamu mencobanya satu per satu, melayaninya bercakap-cakap, lalu membereskan kembali batik-batik berantakan yang tidak jadi dibeli.
Dengan bantuan pegawai saja sudah terbayang merepotkannya, apalagi kalau penjual dan pemilik toko ternyata hanya satu orang. Itu pun berjualannya disambi-sambi memasak atau momong anak.
Setiap penjual single fighter seperti ini mendapat kabar akan ada pembeli yang datang, pikirannya akan terpecah. Di tengah kesibukannya melayani pembeli online seperti biasa, ia masih harus berdandan dan beres-beres rumah hanya untuk memberi kesan profesional ke tamu yang belum tentu membeli itu.
Kita harus tahu, ada alasan khusus mengapa seorang penjual memutuskan berjualan secara daring. Selain biaya operasionalnya jauh lebih murah, biasanya alur jualannya lebih efisien dan praktis. Tinggal memajang foto-foto produk, menulis copywriting, lalu mempublikasikannya.
Berikutnya, kita tunggu notifikasi. Apakah ada yang langsung membeli atau ada yang bertanya-tanya dahulu secara daring. Pada akhirnya, kalau suka, silakan pesan. Kalau tidak, silakan cari toko daring yang lain. Tidak ada tawar-menawar, tidak ada acara menyiapkan barang dagangan untuk dicoba-coba dahulu oleh pembeli. Hemat waktu, hemat tenaga!
Nah, kalau harus kembali melayani tamu-tamu yang datang, keunggulan-keunggulan berdagang online jadi seperti tidak ada, bukan?
(4) Trauma atau Rasa Tidak Aman dari Pedagang Daring
Meskipun jarang, ada beberapa risiko yang dapat terjadi ketika seorang pembeli mendatangi lokasi fisik.
Pernah ada cerita di sebuah Forum Jual-Beli (FJB) tentang seorang pedagang kamera yang berjualan secara daring. Ia tidak punya toko, jadi ia letakkan stok barang dagangannya di rumah. Malangnya, ketika didatangi “calon pembeli” ke lokasi, ujung-ujungnya ia malah dirampok.
Ada lagi kasus mata-mata bisnis. Seseorang berpura-pura datang sebagai calon pembeli, kemudian mengamati dapurnya. Mengaku berencana memborong produk makanan ringan itu, ia pun mengamati bahan-bahan, resep, sampai cara pengolahannya. Apa yang terjadi berikutnya? Ia membuka sendiri usaha yang sama tak lama kemudian.
Memang, ada pula pengunjung yang benar-benar pembeli. Namun setelah bertanya ini-itu, termasuk tentang pemasoknya, lama-lama pembeli ini tergoda juga untuk potong kompas dengan membeli langsung dari pemasok. Ketika harga di sana terbukti lebih murah, ia pun membocorkan “jalan pintas” ini ke rekan-rekannya.
Walaupun tak satu pun kemudian membuka usaha yang sama, tetap saja pedagang awal itu gigit jari karena kehilangan para pelanggannya.
Empat alasan utama online seller tidak mau calon pembeli mendatanginya secara fisik adalah karena memang aturan dari lokapasar tempatnya berjualan melarangnya, ia menggunakan sistem dropship, demi efisiensi serta produktivitas kerja, atau hanya lantara merasa tidak aman.
Semuanya masuk akal, bukan? Jadi, jangan buru-buru mencurigai sang pedagang online. Jika Anda adalah pembeli, semoga artikel ini sedikit-banyak dapat membuka wawasan. Jika Anda adalah pihak penjualnya, silakan membagikan artikel ini ke sebanyak mungkin pembeli atau klien Anda.