Menonton Orang-orang Korea, Kenapa Tidak?

Jarum jam sudah menunjuk angka 9, tapi sepasang muda-mudi masih asyik memilah VCD-VCD yang hendak mereka sewa. Di tangan wanita itu telah terselip banyak kotak VCD dari film-film Mandarin dan Hollywood. Oh, ternyata masih kurang. Sebuah kotak berhiaskan aksara hangeul pun dipungut. Hanya dalam hitungan detik sang pria di sebelahnya merespon, “Jangan! Film Korea itu gitu-gitu aja.” Dan si wanita segera mengembalikan kotak tadi, tanpa sedikit pun berusaha mendebat.

Wow! Siapa sangka stereotip (sebuah keyakinan yang terlalu digeneralisasi tentang suatu kategori atau kelompok tertentu) dapat menimpa produk hiburan bernama film? Dan, apa boleh buat, itupun terjadi pada film Korea. Padahal Korea merupakan salah satu negeri sinema di planet ini. Betapa tidak, film-film serta para sineasnya adalah pelanggan pelbagai festival film tingkat internasional.

Di lain sisi, adalah juga hal yang biasa ketika film Korea menjadi boxoffice di negaranya, memecundangi produk Hollywood. Pun, film-film semacam Friend, Joint Security Area, Musa serta Shiri sedikit banyak berhasil menyangkal stereotip bahwa film Korea selalu beralur lambat, meniru-niru style Hongkong, kisahnya datar, serta memajang aktor-aktris mulus persis taktik yang cenderung diagung-agungkan para sinetronis.

Barangkali itulah yang kemudian membuat beberapa stasiun TV kita, hari ini, tak ragu lagi menayangkan karya-karya sineas dari negeri gingseng. Sebut saja Indosiar, Metro TV, bahkan TV lokal macam JTV. Dua yang saya sebut terakhir bahkan menayangkannya tanpa dubbing, alias dalam bahasa aslinya! Semangat mereka melawan selera mainstream patut diacungi jempol.

Pasalnya, film Korea selama ini sangat jarang ditayangkan secara komersial di bioskop. My Sassy Girl saja konon merupakan film Korea pertama yang diputar di bioskop 21 Indonesia. Sayangnya, itu nyaris bersamaan dengan peredaran VCD original dari romantic comedy yang dibintangi Cha Tae-hyun dan Jeon Ji-hyun tersebut. Namun yang mengejutkan, sebuah bioskop di luar grup 21 atas inisiatifnya sendiri ternyata pernah memutar Happy End. Saya melihatnya sendiri, karya Jung Ji-woo itu ditayangkan secara komersial sekitar Juni tahun 2002.

Biasanya sih, film-film yang dipilih bioskop tersebut cenderung film-film “gituan”. Makanya saya heran, kenapa Happy End mereka pilih? Apakah ada pergeseran selera? Repositioning? Resegmenting? Atau jangan-jangan masalahnya sederhana saja: Mereka salah ambil film? Hehehe ….

Happy End boleh saja dibintangi Choi Min-sik, Jeon Do-yeon dan Joo Jin-mo yang di negaranya lumayan banyak mengoleksi penghargaan. Dan Happy End silakan saja dipilih sebagai Critic’s Week di Festival Cannes 53, pada tahun 2000. Tapi di Indonesia, atau di mana pun, pembeli tetaplah raja. Kalau sang raja kurang berkenan, mau bagaimana lagi?

Saya sempat menyurvei 88 moviegoers di kisaran tahun-tahun itu. Kita memasuki pertanyaan menyangkut film bermutu dan menarik ketika seorang responden menulis judul film dari berbagai negara. Dia menyisipkan Musa, Chunhyang serta Il Mare di sela-sela 20-an film yang dianggapnya menarik dan bermutu, sementara responden lain tak menyebut satu pun judul Korea. Satu banding 88, apakah berarti film Korea kurang digemari?

Padahal dari segi cerita maupun unsur sinematografi lainnya, film-film mereka sangat kreatif. Lupakan sejenak Repechage yang mirip-mirip Addicted to Love (Matthew Broderick, Meg Ryan), Ditto dan Il Mare yang seide dengan Frequency (Dennis Quaid, Jim Caviezel), Record yang bergaya stabbing ala I Know What You Did Last Summer (Jennifer Love Hewitt, Ryan Phillippe), atau White Room dan Phone yang mengingatkan kita pada Ringu (Miki Nakatani, Nanako Matsushima).

Saat kita berbicara soal film Korea, kita sedang membicarakan pula peluang bisnis yang sebetulnya masih besar. Kesempatan ini potensial untuk dimanfaatkan oleh siapapun: Pengelola bioskop, stasiun TV, distributor VCD/DVD, majalah film, pengiklan, perusahaan subtitle, dsb.

Namun bukan dubber, tolong. Karena dubbing hanyalah penyeragaman budaya yang pada dasarnya lebih indah untuk tidak seragam. Anda tentu boleh berbeda opini dengan saya, namun tengoklah, eksotisme dialek Korea (atau bahasa asing lainnya) langsung lenyap tak berbekas begitu melewati proses dubbing.

Chungmuro bukan Bollywood, film Korea pun tidak punya ciri sekhas India. Satu-satunya penanda bahwa inilah film Korea—bukan Jepang, Taiwan, Hongkong, atau lainnya—adalah bahasa serta logat para tokoh di dalamnya. Jadi, yang kita butuhkan bukanlah dubbing, melainkan pemahaman bahwa di luar sana terdapat budaya lain yang mungkin sama sekali berbeda dengan budaya kita. Sehingga, pada gilirannya kita dapat mengapresiasi film Korea secara apa adanya.

Versi lengkap dari tulisan ini dimuat di Majalah Cinemags edisi 51.

.

BAGIKAN HALAMAN INI DI

11 thoughts on “Menonton Orang-orang Korea, Kenapa Tidak?”

  1. U’ve got my vote, dude! Film korea yang baik adalah film korea tanpa dubing. Kalo didubing juga, apa bedanya film korea-telenovela?

    Reply
  2. Film Korea atau film manapun, menurutku lbh seksi kalau dibiarkan dlm bahasa aslinya. Segmen telenovela biasanya ibu-ibu yg konon nonton sambil garap2 apa gitu, jd nggak fokus ke TV, shg takkan efektif kalau film disubtitel (makanya didubbing). Lah segmen film-film korea yg bernongolan di TV kita?

    Reply
  3. Memang bener,kelemahan dubbing adalah penjiwaan yang kadang nggak nyambung sama jalan ceritanya.yang kedua males kan kalau beda cerita,beda tokoh tapi suaranya sama…bikin ngrusak suasana

    Reply
  4. Thx, Mas Aji. Iya, ya. Jangan2 itu krn jumlah dubber kita terbatas, sehingga yg muncul suara2 yg itu2 saja. Saranku sih, udahlah, biarkan film itu dlm bentuk aslinya. Shg kita bisa menilai film secara langsung. Kalau di-dubbing kan nggak jelas: Seorang aktor yg penjiwaannya terlihat kaku, jangan2 krn dubber-nya yg kaku. Atau sebaliknya, akting kaku, tp dubbernya berimprovisasi dg bagus, akan kita nilai aktingnya bagus. Rancu semua kan.

    Reply
  5. perkenalan saya dgn film Korea lewat Welcome To Dongmakgol. beli DVD nya asal comot. ternyata, bagus banget. lalu menyusul film2 Korea lainnya.

    Reply
  6. Pengalaman yg sama, Mas. Kalau aku Musa. Daripd nganggur, aku nonton VCD Musa waktu itu. Eh, ternyata keren. Ya udah, sejak itu film2 Korea masuk list-ku.

    Reply
  7. Jumlah dubber kita sebenarnya banyak. Cuma saat ini banyak stasiun tv swasta yang mempunyai studio dubbing sendiri, sehingga dubbernya itu-itu aja. Contohnya indosiar.

    Saya senang-senang saja kalau film-film asing seperti film korea, Hong Kong, Taiwan dan lain-lainnya ditayangkan dalam bahasa aslinya. Tapi saya tidak setuju kalau sulih suara atau dubbing dihilangkan, karena akan menghilangkan pekerjaan banyak orang.
    Kalau menurut saya, stasiun TV yang sudah biasa menayangkan film dubbingan, teruskan saja . Dan Tingkatkan kualitas dubbingnya! Dan Bagi Stasiun TV yang tetap menayangkan film asing dalam bahasa aslinya, silahkan.

    Reply

Leave a Comment

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Don't do that, please!