Penulis-Pembaca: Pasang-Surut Dua Sahabat Penjaga Api Literasi

Penulis-Pembaca: Pasang-Surut Dua Sahabat Penjaga Api Literasi

Ibarat dua sahabat yang saling memengaruhi, hubungan antara penulis dan pembaca juga mengalami pasang-surut. Tidak selalu mulus. Terkadang, mereka saling menghargai, bahu membahu menjaga api literasi agar tetap menyala. Namun, ada kalanya mereka saling mengkhianati.

Ketika penulis tidak melakukan tugasnya, atau setidaknya tidak berkarya sebagaimana standarnya, ketika itulah pembaca merasa dikhianati.

Sebaliknya, saat penulis sudah mengerahkan apa yang ia mampu, tetapi sambutan pembaca ternyata begitu dingin, saat itulah penulis membanting punggungnya ke sandaran kursinya sembari menghela napas panjang.

Itu hanya contoh kecil. Hubungan mereka yang sebenarnya tentu jauh lebih kompleks. Apalagi zaman terus berubah, sehingga mengharuskan mereka turut tumbuh dan berkembang, menghadapi apapun tantangan zaman.

Nasihat Yang Meredupkan Gairah Literasi

Nasihat Yang Meredupkan Gairah Literasi

Masyarakat kita telah lama dituding berminat baca rendah. Di negeri tercinta ini, membaca bukan kebutuhan. Anggapan-anggapan semacam ini sedikit-banyak menyurutkan semangat penulis untuk terus berkarya.

Wajarlah bila penulis kemudian berpikir, “Buat apa susah-susah menulis kalau pembacanya nanti hanya segelintir?”

Beberapa penulis senior yang sudah paham pasar pembaca di Indonesia pun sering memberi petuah realistis, “Jangan jadi penulis full time. Menulis itu sampingan aja. Pastikan kamu punya profesi lain yang lebih bisa diandalkan hasilnya.”

Ini ironi. Jika tidak ada atau ada sedikit saja penulis purnawaktu, alias yang mau total menulis, bagaimana literasi di Indonesia dapat berlari cepat? Barangkali karena nasihat-nasihat itulah, tidak pernah ada tradisi baca-tulis yang kuat di negara kita.

Di lain sisi, pembaca juga sedang galau lantaran terpapar petuah-petuah semacam, “Jangan jadi kutu buku. Gaul, dong!” Atau, “Jangan berguru kepada buku, tapi kepada guru langsung!”

Pembaca pun termenung. Ia baper. Bagaimana mungkin, orang yang mengandalkan buku sebagai sumber ilmu terlihat salah, atau setidaknya belum dianggap manusia seutuhnya, di mata masyarakat? Berarti, yang selama ini ia lakukan keliru?

Sejak itu, pembaca mulai menjaga jarak dengan sahabatnya, penulis.

Sebenarnya, Minat Baca Kita Baik-baik Saja

Sebenarnya, Minat Baca Kita Baik-baik Saja
Menurut laporan Tingkat Kegemaran Membaca (TGM) masyarakat Indonesia, minat baca masyarakat Indonesia secara nasional pelan-pelan mengalami peningkatan. Pada akhir 2023, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas RI) merilis laporan tersebut.

Survei dilakukan terhadap 11.638 responden berusia 10 tahun ke atas, di 104 kota atau kabupaten dan 36 provinsi. Hasilnya, TGM Indonesia berada di skor 66,77. TGM 2023 meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya:

  • 2022: 63,90
  • 2021: 59,52
  • 2020: 55,74

Sekadar informasi, skor TGM di atas 50 tergolong Sedang. Jadi, sebenarnya salah bila ada yang mengatakan minat baca Indonesia termasuk Rendah. Namun, entah kapan kita bisa naik kelas ke kategori minat baca Tinggi (skor minimal 75,1), apalagi Sangat Tinggi (skor minimal 90,1), seperti di negara-negara maju.

Masih menurut survei yang sama, rata-rata orang Indonesia membaca selama 1 jam 47 menit per hari. Sedangkan untuk mengakses internet, mereka melakukannya 1 jam 57 menit setiap hari.

Membaca dalam bentuk apa saja?

  1. 44,1%: Bahan digital (e-book, e-majalah, e-koran, e-artikel, e-jurnal, dll.)
  2. 36,5%: Bahan kertas (buku, majalah, koran, dll.)
  3. 19,4%: Bahan audio/visual (rekaman suara, video, film, dll.)

Walau berada di urutan buncit tahun ini, tidak terlepas kemungkinan, format bacaan audiovisual akan berbalik menjadi sumber bacaan favorit mayoritas masyarakat Indonesia ke depannya.

Tanda-tandanya sudah tampak. Berdasarkan laporan SimilarWeb yang dihimpun sejak Desember 2022 hingga November 2023, YouTube (aplikasi video) tercatat sebagai situs web yang paling sering diakses warganet Indonesia.

Aplikasi video itu dikunjungi oleh 814 juta pengunjung per bulannya. Rata-rata, tiap kunjungannya terjadi selama 19 menit 29 detik. Penggunaan YouTube di Indonesia hanya dapat dikalahkan oleh orang tuanya sendiri: Google.com.

Memang, Ada Pergeseran Jenis Media

Memang, Ada Pergeseran Jenis Media

Media-media cetak konvensional (termasuk buku) makin terimpit oleh fleksibilitas media audio (yang bisa dikonsumsi sambil berkegiatan lain) dan daya tarik media audiovisual (yang melibatkan lebih banyak indra audiensnya).

Bahkan sejak awal era dotcom, media-media ini sudah agak sempoyongan. Portal berita menggoyang keajekan media cetak, Wikipedia mendisrupsi ensiklopedia, dan sekarang platform penulisan daring siap menggerus penerbit buku.

Serbuan para “kompetitor” itu cukup berdampak. Buktinya, kita makin jarang melihat loper koran di lampu merah atau kios majalah di pinggir jalan. Toko-toko buku fisik (brick and mortar) pun satu per satu tutup.

Begitu pula institusi-institusi media cetak. Banyak yang bangkrut, atau setidaknya sekarang hanya fokus di lingkup daring. Contohnya, Koran Sindo, Harian Republika, Indopos, Koran Tempo, Majalah HAI, KawanKu, CHIP, Intisari, Gatra, Tabloid Bola, Oto Plus, Sinyal, Nova, dan lain-lain.

Hanya pemain-pemain kuat yang masih berdiri di bisnis ini. Segelintir penyintas itu pun hampir dipastikan telah menyiapkan sekoci digitalnya. Lihatlah Tempo yang berinvestasi di Tempo Digital Premium, Kompas di Kompas.id, dan seterusnya.

Sementara itu, jumlah pembaca yang hanya nyaman membaca tinta di atas kertas juga mulai menyusut. Berganti pembaca dengan mata yang lebih kuat memandangi layar gawai. Generasi milenial serta Gen Z umumnya tidak ada masalah dengan menulis, membaca, maupun membeli tulisan di platform digital.

Penulis-penulis kekinian lalu dengan kreatif mengubah karya fiksi mereka menjadi lebih ringan dan menghibur, sehingga sesuai dengan pasar pembaca platform-platform penulisan seperti Kwikku, Kelas Bisa Menulis (KBM), Gramedia Writing Project (GWP), dan sebagainya.

Bahkan, mereka mengadaptasinya menjadi tontonan TikTok ber-part-part, animasi YouTube, atau drama siniar (podcast). Di sinilah, penulis bermetamorfosis menjadi kreator konten yang harus memikirkan aspek audio dan visual untuk tulisan-tulisannya.

Menurut hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Tahun 2024, tingkat penetrasi internet di Indonesia sudah mencapai 79,5%. Artinya, dari total populasi 278,6 juta jiwa, terdapat 221.563.479 jiwa penduduk yang telah terkoneksi secara daring.

Melihat sahabatnya, pembaca, berganti tempat nongkrong, penulis pun ikut pindah. Toh, menurut survei TGM Perpusnas 2023, “Masyarakat Indonesia rata-rata main internet lebih lama dibanding membaca, bukan?”

Pihak Ketiga di Antara Penulis-Pembaca

Pihak Ketiga di Antara Penulis-Pembaca

Tempat nongkrong yang sama pun sebenarnya tidak menjamin hubungan antara penulis dan pembaca tetap akur. Terutama, dengan hadirnya pihak ketiga. Siapa saja itu? Ini sekadar menyebut tiga di antaranya:

1. Jasa peringkas

Kehidupan yang serba terburu-buru menuntut sebagian pembaca mengambil jalan pintas. Mereka menggunakan jasa peringkas buku, jurnal, artikel, video, dan siniar.

Alasannya bisa bermacam-macam. Sebagian ingin lekas-lekas membuat reviu, melengkapi seminar atau presentasinya dengan cuplikan wawasan dari buku-buku terbaru, atau sekadar ingin terlihat intelek di lingkaran pergaulannya.

Tanpa jasa peringkas, mendapatkan ringkasan sendiri saat ini bukan perkara sulit. Pembaca selalu bisa meminta bantuan teknologi kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI), semisal ChatGPT milik OpenAI, Copilot milik Microsoft, atau Gemini milik Google.

2. Mesin penelusuran

Sebelumnya, setiap mencari sesuatu di Google, pencari informasi akan disodori tautan-tautan yang mengarah ke blog, situs web, atau portal yang relevan dengan kata kuncinya.

Namun, perubahan telah terjadi sejak sekira lima tahun lalu. Google mulai memunculkan fitur snippet. Misalnya, jika kita mencari tahu tentang Kylian Mbappé, maka akan muncul snippet di bagian atas atau kolom kanan halaman hasil pencarian.

Fitur ini melahirkan fenomena tanpa klik (zero click). Para pencari informasi, atau dapat juga kita sebut pembaca, tidak lagi merasa perlu mengeklik Wikipedia.org atau TransferMarkt.com, sumber informasi snippet tersebut. Sebab, jawaban yang ingin diketahuinya sudah terpampang di hasil pencarian.

Pun, bila pembaca mau tahu berapa kurs 180 juta euro (nilai transfer Mbappé ke Real Madrid) kalau dirupiahkan, Google akan langsung menjawabnya melalui snippet. Pembaca tidak perlu lagi mengklik tautan-tautan yang mengarah ke situs-situs web valuta asing atau bank.

Bukan hanya itu, jika pembaca mau tahu hasil pertandingan sepak bola yang melibatkan Kylian Mbappé. Tinggal ketik, maka muncullah snippet alias potongan informasi yang tersusun rapi, ringkas, dan lengkap.

Lantas, bagaimana nasib situs web dan para penulisnya bila pengunjungnya berkurang drastis akibat fitur snippet? Google mana peduli, paling-paling mereka menjawab, “Kami hanya berusaha menyajikan informasi yang lebih cepat dan akurat untuk pembaca, konsumen mesin pencarian kami!”

3. Teknologi AI

Mesin penelusuran Bing tak kalah “sadis”. Sejak 2023, mereka memiliki fitur perangkum sebuah halaman situs web atau dokumen .doc dan .pdf. Dengan teknologi ini, pembaca akan tahu inti dari naskah panjang di sana, tanpa perlu membacanya dari paragraf awal sampai akhir.

Bukan hanya itu. Ketika pembaca mencari kata kunci tertentu di Bing, terkadang AI-lah yang menjawabnya. Bersumber dari satu atau lebih situs web, ia akan menulis sendiri sebuah artikel yang ringkas, khusus untuk menjawab pertanyaan pembaca. Bahkan, Bing juga mampu merangkum dari sumber-sumber video!

Di luar itu, sudah menjadi rahasia umum bahwa platform-platform AI secara mandiri juga mampu memberi hiburan sesuai mau pembaca mau baca. Tinggal ketik prompt (arahan), “Hibur aku dengan cerita komedi.” Atau, “Apakah kamu punya cerita horor yang mencekam?”

Dalam hitungan detik, AI akan mengetik dan jadilah cerita pesanan tersebut!

Pembaca tentu diuntungkan dengan segenap kepraktisan yang ditawarkan oleh AI ini. Penulis yang perlu waktu untuk mengukir dan meramu kata, bisa apa melawan mesin-mesin gegas trengginas seperti ini?

Bagaimana Akhir dari Hubungan Penulis-Pembaca?

Bagaimana Akhir dari Hubungan Penulis-Pembaca?

Dalam bukunya, Attention Span (2023), psikolog Gloria Mark menjelaskan bahwa rentang perhatian manusia terus mengalami penurunan. Pada 2004, rata-rata warganet mengalihkan perhatian dari satu situs web ke situs web lain setiap 2,5 menit.

Pada 2021, angka itu menyusut drastis menjadi 47 detik. Entah bagaimana tahun ini. Namun, rasanya lebih menyusut lagi.

Pembaca makin tidak ada waktu untuk mengonsumsi apa yang dihasilkan oleh penulis. Sebab, makin banyak alternatif media-media yang menarik dan makin canggih AI yang siap menggantikan peran penulis. Semua ini membuat posisi penulis di ujung tanduk.

Yang terjadi berikutnya barangkali akan seperti adegan-adegan drama yang dikarangnya sendiri. Bayangkan seorang penulis yang terbaring di pangkuan pembaca.

Sekarat dan terbata-bata, ia berusaha mengucapkan pesan terakhirnya, “Oh, pembaca sahabatku. Mungkin aku akan mati mendahuluimu. Suatu kehormatan dan kebanggaan pernah mengenalmu… dan berjuang bersamamu.”

Lalu pembaca, dengan mata berkaca-kaca dan bibir bergetar, terlihat ingin mengatakan sesuatu. Namun, ia tidak tahu apa. Lidahnya kadung kelu, otaknya terlanjur buntu. Ia hanya bisa menatap detik-detik perginya sang sahabat.

Demikianlah salah satu alternatif ending cerita dari hubungan penulis-pembaca. Terlalu pesimistis? Terlalu sad ending? Baiklah. Mari kita pikirkan alternatif akhir yang lain. Tepatnya, yang happy ending.

Alternatif pengakhiran cerita yang biasanya lebih disukai oleh pembaca itu kita susun berdasarkan premis bahwa hubungan penulis dan pembaca ini terlalu istimewa. Mustahil akhirnya akan setragis itu!

Penulis dan pembaca adalah dua sosok yang bisa dengan mudah berganti peran. Pembaca yang baik pasti mampu menulis, dan penulis yang baik pasti lahap membaca.

Dengan peran yang bisa saling bertukar ini, keduanya memiliki ikatan spesial. Mereka niscaya dapat saling berempati satu sama lain. Apapun masalahnya, mereka akan menghadapinya bersama. Lagi pula, bukankah mereka sama-sama memiliki tugas untuk menjaga nyala api literasi?

Bagaimanapun, cerita yang sebenarnya belum berakhir. Masih sama-sama kita jalani dan saksikan. Jadi, mari sama-sama kita lihat ending yang sebenarnya nanti.

BAGIKAN HALAMAN INI DI

2 thoughts on “Penulis-Pembaca: Pasang-Surut Dua Sahabat Penjaga Api Literasi”

Leave a Comment

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Don't do that, please!