Mari kita bicara sesuatu yang agak mendasar kali ini. Tentang fiksi dipandang dari kacamata Islam. Tentang apa hukum menulis atau menikmati karya fiksi menurut Islam?
Fiksi adalah cerita rekaan yang berdasarkan imajinasi. Karena bukan merupakan laporan kejadian sebenarnya, sebagian orang menyamakannya dengan aksi penyebaran kebohongan. Jelas, menyebar kebohongan itu haram dalam Islam.
Apakah itu berarti kita tidak boleh menulis atau membaca/menonton karya fiksi?
Hukum Cerita Fiksi
Tim Warung Fiksi melakukan penelusuran kecil-kecilan melalui internet untuk menjawab rasa penasaran itu. Tampaknya, para ulama sepakat bahwa kita dilarang membuat fiksi yang berisi ilustrasi (atau deskripsi berupa kata-kata) yang mengajak berbuat dosa dan kefasikan.
Namun, bukankah variasi fiksi itu banyak jenisnya? Bagaimana degan karya fiksi yang tidak mengajak berbuat dosa dan kefasikan?
Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan fiksi adalah makruh (tidak berdosa, tetapi dibenci Allah). Sebagian lagi (inilah pendapat yang kuat) mengatakan mubah (boleh) selama untuk tujuan yang baik. Misalnya, untuk mengajarkan agama, pendidikan, ilmu pengetahuan, patriotisme, dan sebagainya.
Bahkan, di dalam Al-Qur’an, Allah banyak memberikan perumpamaan dalam bentuk cerita. Contohnya, kisah dua pemilik kebun dalam QS Al-Kahfi: 32. Menurut para ulama, cerita itu tidak nyata. Sifatnya hanya ilustrasi.
Dalam beberapa ayat, Allah memperjelas bahwa perumpamaan itu memang sengaja dibuat. Salah satunya ayat ini:
“Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al-Qur’an ini setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran.”
(QS Az-Zumar: 27).
Maka kemudian banyak para ulama pendidik yang meniru dengan membuat kisah-kisah perumpamaan juga. Kisah ini tidak harus nyata terjadi. Ia bisa saja kejadian fiktif, asalkan isinya mengandung unsur pendidikan, atau sekurang-kurangnya tidak menjauhkan audiensnya dari nilai-nilai Islam.
Jejak-jejak Karya Fiksi dalam Peradaban Islam
Para penyair di zaman Rasulullah juga sering membuka syairnya dengan kisah-kisah imajiner. Salah satunya Qasidah Banat Su’ad. Rasulullah beserta para sahabat tidak mempermasalahkannya.
Ibnul Muqaffa juga membuat cerita berjudul Kalilah wa Dimnah yang berupa fabel (cerita binatang). Ternyata, ia pun diterima dengan baik di kalangan para ulama.
Nabi Muhammad bersabda, “Sampaikanlah cerita-cerita yang berasal dari Bani Israil dan itu tidaklah mengapa.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan beberapa lainnya).
Dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah ada tambahan, “Karena sesungguhnya dalam cerita-cerita Bani Israil terkandung cerita-cerita yang menarik.”
Para ulama mengatakan bahwa hadis ini menunjukkan bolehnya mendengarkan cerita-cerita Bani Israil yang menarik, sekadar untuk hiburan dan menghilangkan kegundahan hati. Bukan untuk berdalil dan mendasari amalan dengan cerita itu. Dalam hal ini, kefiktivan cerita tersebut harus sudah diketahui bersama, supaya tidak dianggap nyata.
Demikian yang kami tahu. Silakan bila ada yang mau menambahkan atau menyanggah. Allahu’alam (only God knows).
Baru ini saya mendengar bahwa itu “diperbolehkan”, sebelumnya saya menganggap bahwa itu adalah hal yang tidak ada dipermasalahkan.
Bahasamu Google Translate benget seeeeh… -_-
Ada yang mempermasalahkan, Ham. Bukan mempermasalahkan sih, tapi memandang “tidak benar”. Jadi, daripada nggak tenang untuk meneruskan, sekalian kucari tahu hukumnya.
Cara yang sama ketika aku memutuskan berhenti main forex dulu.
Ow ow ow..
Kini ku tahu…
syukron ya
hue ….
baru tau klo menulis cerita fiksi itu ada hukumnya :), ijin share ya
nice info gan, kunjungi balik ya (#minta digaplok hakhakhak)
tapi beneran nice info kok. fiksi sangat membantu untuk cerita moral dan nilai2 lain ke anak. karena daya tangkapnya yang masih belum sempurna, jadi kalau kita ngajak mereka ngayal malah seneng.
sering untuk ngajak mereka tidur, sy disuruh cerita tentang truk dan pesawat tempur yang parkir. hihihi.
umielaine´s last blog post ..Celoteh Anak
Aku punya ponakan, sama lakinya, seperti Salman & Sufyan. Tapi berantem terus. Seolah nggak ada sayang-sayangnya sama saudara kandungnya. Pengin kubuatkan karya yang “menyedihkan banget” dengan tokoh yang dimiripkan mereka. Biar besok-besok, minimal mereka mikir dulu kalau hendak saling menyakiti. Sayangnya, masih harus nunggu mereka lancar membaca dulu, baru karya itu tepat sasaran, hehehe.
Fiksi bisa menjadi haram atau sebaliknya, tergantung bagaimana kreator fiksi menghasilkan karya fiksi. Permasalahannya, tidak semua kreator fiksi bisa menghasilkan karya fiksi yg baik, celakanya, begitu pula dengan penikmat fiksi. Setiap orang, baik kreator atau penikmat fiksi memiliki tingkat mental dan budaya yang berbeda di dalam berkarya atau ketika menikmati karya fiksi.
Fiksi yang merupakan bagian dari seni atau budaya dan media komunikasi masa, merupakan media ampuh untuk mempengaruhi manusia, baik untuk tujuan baik maupun buruk. Hendaknya, kreator fiksi dan penikmat fiksi mampu memberikan atau memetik hal-hal yang patut diteladani serta membuang jauh-jauh hal-hal yang merugikan, hingga bisa menjadi manusia yang lebih baik.
Melalui perjalanan mental dan budaya, kreator dan penikmat fiksi harus berperan secara sadar untuk menghasilkan atau memahami karya fiksi, apakah sebuah karya fiksi sebagai seni untuk seni(the art for art) atau seni untuk tujuan sesuatu(the art for the others). Aliran seni untuk seni, biasanya memahami seni adalah otonom, tidak bergantung pada yang diluar seni. Pemahaman ini mengartikan seni sebagai nilai dasar yang absolut, menyeluruh, tinggi dan nilai lain seperti kebenaran dan kebaikan berada di bawahnya, malah kadang sama sekali tidak relevan. Hal ini yg bisa mengharamkan karya fiksi, karena bisa jadi karya fiksi yg dihasilkan tidak memiliki batasan norma budaya, atau melanggar.
Berbeda dengan Sunan Kalijaga atau Sunan Bonang, keduanya memanfaatkan media seni untuk menyebarkan agama Islam. Sekarang tergantung kepada kreator dan penikmat fiksi untuk berkarya atau menikmati sebuah karya seni(fiksi) untuk tujuan apa. Salam, Goegi.
Wah, Goegi? Bagaimana kabarnya? Montase itu masih eksis, ya? Selamat, selamat.
Bener. Itu yang membuat kreator fiksi terbebani. Tapi penulis yang baik tidak akan mengabaikan beban ini, karena sesungguhnya menulis itu bukan untuk uang saja. Ada yang lebih besar dari itu.
Montase berkembang terus. Montase sudah mulai serius memproduksi film2 dengan low budget dan meraih beberapa penghargaan di beberapa festival, anggotanya semakin bertambah dan mulai bisa mendapatkan profit, meski belum banyak. Bisa dilihat di montasefilm.com, montase.org, tapi, saya ga sevisi lagi dengan Montase. Kepengurusannya sudah diisi orang-orang muda baru yang profesional. Senang apa yang digagas dapat menjadi berkembang. O iya To, masih minat dengan Sinea? Rencana saya mau buat film dengan bendera Sinea. Sinea goes to Film Festival.
Waaah, keren, keren. Tapi founding father-e kok malah minggir? Gak rugi, ta?
Tertarik ae. Tapi, kudu jelas sik. Film durasi pirang menit? Genre opo? Setting endi? Sopo penyandang danae?
Sebenernya masih di Montase, orang di balik layar Montase. Ya ga papa jadi pihak ketiga aja, kan ga sevisi. Semua ini hanya permainan aja toh. Ga benar-benar berarti dibandingkan ibadah kepada Allah. So, memang ga sevisi. Di satu sisi kita dikritik habis-habisan, di satu sisi yg memberi kritik kalau diapresiasi maunya dibilang oke. Tapi, sebenernya idealisme dan memandang sebuah karya film dengan benar sudah mulai luntur. Lihat saja, belum pernah karya2nya menjadi film terbaik/no.1 di festival, dan ditingkat festival film apa bermainnya,meski utk kategori tertentu memang mendapat penghargaan. Yg jelas, Montase sekumpulan orang2 yg bener2 memahami film di belakangnya dgn dasar/prinsip yg berbeda-beda.
Sinea, penyandang danane seko dana pribadi ae. Judul film pendek ‘Sekolahku Surgaku’, durasi 20 menitan. Setting di sekolah, di Kebumen. Film yg bercerita tentang korupsi di yayasan pendidikan dan dampaknya utk guru dan muridnya. Misi nya film ini mengkritik Indonesia, bagaimana Indonesia bisa menelurkan generasi penerus yg anti korupsi, kalau ditingkat lembaga pendidikan, agama dan sosial dipenuhi orang2 yg gemar mengkorupsi dana2 bantuan pemerintah, seperti dana BOS, BOM, dana rehabilitasi sekolah, bantuan panti asuhan atau pondok pesantren dan bantuan2 yg lain. Film ini berdasarkan fakta menengok gaya hidup pemilik2 yayasan pendidikan/ponpes yg dikelola oleh keluarga. Mereka menjadikan yayasan sebagai alat mendapatkan bantuan pemerintah untuk kepentingan pribadi(beli rumah, mobil, berlibur, dll) dan sikap petugas PNS yg kebetulan bertanggung jawab menyalurkan dana tersebut, yg sama2 bagi hasil mengkorupsi dana2 bantuan itu bersama pemilik yayasan. Tidak hanya itu permasalahannya, profesionalisme guru-guru sebagai pendidik di beberapa yayasan pendidikan swasta, patut dipertanyakan. Mungkin itu To gambaran cerita filmnya. Genre nya drama, komedi.
Ooow, ngono? Wis, lanjut ke email ae, Gi… Sik eling emailku, kan?
Brahm´s last blog post ..Terpojok di Sudut Mati