Have you, as a fiction author, ever been asked by people pretended to know everything about work of writing and publishing? Were you boxed into a corner by those questions? I was. I have ever faced few “judges” like that. But I never give a damn, ha-ha. I have a list of what did my friends negatively say about work of fiction. Unfortunately, I didn’t have time to translate those into English. But I bet you already knew things like: all fiction writers are liar, a words waster, ones who live in imagination without seeing the real world, blah. Insignificant accusations that can be easily countered.
* * *
Teman-teman saya secara terpisah pernah menanyai kenapa saya menulis fiksi? Sebenarnya saya juga menulis nonfiksi. Tulisan-tulisan saya lebih sering nonfiksi, bahkan. Namun tetap saya jelaskan kenapa saya menulis fiksi.
Lalu mereka pun menanggapi. Beberapa positif, beberapa negatif. Dan beberapa dari yang negatif itu bereaksi lebay dengan memvonis-vonis betapa tidak bergunanya membuat karya fiksi. Jadi ingin tertawa melihat “hakim-hakim” itu. Maka otak saya tiba-tiba membayangkan suasana pengadilan dengan saya sebagai terdakwanya.
Saudara Terdakwa, Anda dituduh melakukan penipuan yang terstruktur melalui karya fiksi. Apa pembelaan Saudara?
Saya mengakuinya, Yang Mulia. Tapi itu adalah penipuan yang disepakati. Bukankah orang membeli karya-karya fiksi mestinya sudah tahu dirinya bakal ditipu lewat cerita? Dibikin ketawa padahal itu bukan kejadian sebenarnya, dibikin menangis padahal itu cuma rekaan pengarang. Nah, kalau kedua pihak sama-sama sepakat, seharusnya kan tidak ada delik di sini.
Tapi Saudara tahu kan bahwa fiksi itu hanyalah obat bius yang membuat orang lupa akan permasalahan sosial di dunia riil? Bahkan pada beberapa kasus, pecandu cerita fiksi menganggap dunia nyatanya sama seperti kisah fiktif yang mereka baca.
Yang Mulia, semua hobi tentu berpeluang membuat kita terlena. Membaca fiksi termasuk di dalamnya. Begitu juga fotografi, shopping, berenang, bermain gitar. Saya pikir, akar persoalan bukan terletak pada hobinya, melainkan orangnya yang tidak bijak memanagemen.
Masalahnya, saya memegang data, bahwa sebagian besar cerita fiksi penuh dengan kepalsuan dan iming-iming indah yang melenakan.
Sama, Yang Mulia, saya juga memegang data tentang karya-karya nonfiksi yang penuh kepalsuan dan iming-iming indah. Saya selalu curiga bahwa buku nonfiksi tertentu takkan menjawab kebutuhan saya, atau setidaknya gagal menepati janji-janjinya sendiri di kovernya. Jadi, begitu ada buku-buku incaran yang segelnya terbuka di toko, langsung saya cek. Kadang dugaan saya terbukti benar, kadang salah. Namanya juga produk, Yang Mulia, tentu ada yang berlian, ada yang sampah.
Soal penggunaan bahasa, Saudara dituduh menciptakan polusi kata. Memang indah kata-kata Saudara, puitis, namun membacanya sungguh memboroskan waktu. Buku tebal, tapi intinya cuma seuprit, ilmu yang akan diperoleh pembaca hanya seupil! Dalam mendidik pembaca, sebaiknya Anda menulis dengan gaya bahasa to the point dan penggunaan kata-kata umum yang mudah dicerna.
Kalau Yang Mulia menilai tulisan saya puitis, berarti Yang Mulia ketahuan belum pernah membaca novel-novel saya. Tapi apapun, puitis atau tak puitis, itu kan hanya masalah selera. Kenapa standar penulisan nonfiksi dan jurnalistik harus disamakan dengan fiksi? Sejak kapan ada aturan itu? Dan, keindahan berbahasa atau berpuitis ria itu bukan monopoli karya fiksi lho, Yang Mulia. Genre puisi saja, dalam kajian sastra, apakah tergolong fiksi? Di lain sisi, sudah banyak karya fiksi yang bahasanya lugas, salah satu contohnya seperti karya-karya Dan Brown. Yang bikin ketawa, banyak juga tulisan nonfiksi yang kalimatnya berbunga-bunga atau sulit dicerna.
Masih ngotot?! Saya melihat banyak sekali karya fiksi yang isinya bertele-tele. Diulur-ulur biar tebal, biar bukunya mahal dan untung penjualannya banyak. Dibungkus dengan bahasa puitis yang berlimpah ruah, disesaki dengan alur yang hanya jalan di tempat. Dan tokohnya bodoh-bodoh! Karena kalau tokoh utama dalam cerita itu cerdas, mestinya masalah sesepele itu bisa langsung diselesaikannya. Membaca tokoh-tokoh yang bodoh jelas menurunkan IQ dan kecakapan bersosial para pembacanya.
Waduh! Benar juga. Tapi, saya yakin tidak semua karya fiksi seperti itu, Yang Mulia.
Saya bilang SEBAGIAN BESAR!
Eh, oke. Tapi, bisakah Yang Mulia menyebut judul-judulnya secara gamblang?
Kurang ajar! Berani-beraninya seorang terdakwa menanyai seorang hakim! Begini, Saudara mungkin belum tahu, karya adalah informasi. Menulis adalah berbagi. Saya tanya sekarang, apa yang bisa Saudara bagikan kepada pembaca? Bagaimana Saudara bisa membuka wawasan melalui karya-karya yang hanya imajinatif begitu?
Sebentar, fiksi itu kan bukan hanya digarap dari imajinasi, Yang Mulia. Penulis yang baik selalu melakukan riset…
Jangan berbelit-belit! Saudara tidak menjawab pertanyaan utama saya: apa yang bisa para penulis fiksi tawarkan untuk para pembacanya?
Baik, baik. Jawaban sederhananya barangkali hiburan, Yang Mulia.
Hiburan? Hm, saya sendiri tidak terhibur tuh kalau membaca fiksi. Tapi, oke, selain itu? Selain hiburan? Apakah Saudara bisa membuka wawasan pembaca? Memberi pengetahuan yang penting? Faktual? Atau lebih jauh lagi: mencegah peperangan?
Mencegah peperangan? Wuakakakakak… ups! Maaf, Yang Mulia. Kalau mencegah peperangan sih, berat! Tapi bukan mustahil lho. Fiksi itu kan luwes, Yang Mulia. Dan potensinya juga tak terbatas. Catatan perjalanan bisa saya jadikan novel. Buku memasak bisa saya sulap jadi fiksi ala Pixar. Saya bisa memfiksikan apa saja sambil membagikan informasi-pengetahuan penting apa pun, Yang Mulia.
Maka rasanya saya tak perlu menjawab pertanyaan apakah fiksi bisa memberi informasi faktual, analitik dan akurat? Juga, apakah fiksi bisa memotivasi dan menggelorakan semangat di dada pembacanya? Mengubah kesesatan idealisme pembacanya melalui cara yang halus? Itu semua mudah sekali kalau penulisnya mau! Berbagai genre dan gaya penulisan fiksi sudah banyak berevolusi, Yang Mulia. Sementara Kitab Undang-undang Hukum Anda masih itu-itu saja. Jadi, ya pantas, tuduhan Anda juga begitu-begitu saja. Tuduhan-tuduhan fiktif!
Saudara Terdakwa, tolong hormati hukum! Atau Saudara bisa dijerat pasal penghinaan terhadap Pengadilan!
Maaf, Yang Mulia.
Kalau memang karya fiksi bisa sehebat itu, mengapa buku nonfiksi tetap lebih laku?
Melihat seri Harry Potters yang mengantarkan pengarangnya masuk dalam segelintir orang terkaya di dunia, karya-karya Stephen King yang best seller dan kerap diangkat ke layar lebar, saga Twilights yang digila-gilai remaja, kisah fiktif Robert Langdon (Da Vinci’s Code, Angels & Demons, dll), biografi Ikal yang difiksikan (Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dsb), Ayat-ayat Cinta, benarkah pernyataan Yang Mulia itu? Lihat juga darimana cikal bakal bisnis ratusan juta dollar bernama Taman Asterix? Kerajaan bisnis Disney yang menggurita? Semua berawal dari buku-buku fiksi!
Siapapun tahu, karya fiksi berpotensi menimbulkan emosi dan fanatisme. Menurut Publishers Weekly, 53% masyarakat membaca fiksi. Yang membaca nonfiksi? “Hanya” 43%. Lantas tahukah Anda, karya fiksi tidak berhenti di buku. Sewaktu-waktu ia bisa diadaptasi ke komik, film, sandiwara radio, atau game. Apakah buku IT bisa diadaptasi ke film? Tidak! Jadi kalau buku itu kurang laku dalam dua tahun masa penerbitan, yah, sampai situ saja nasibnya. Sekalipun ia cukup beruntung lantaran masih dipajang di toko buku, siapa yang mau beli? Kan lama-lama isi dalam buku itu tidak relevan lagi dengan zaman.
Usia buku nonfiksi memang cenderung lebih pendek, Yang Mulia, jadi bagaimana bisa dipastikan buku-buku tipe itu lebih laku dari buku fiksi? Lihatlah fiksi, bersetting baheula pun masih menarik. Bersetting era sebelum Masehi? Semakin menarik! Hampir tidak ada istilah basi bagi karya fiksi. Ekstrimnya: tidak laku tahun ini, masih mungkin jadi best seller 10 tahun lagi.
Baik! Karena saya sudah capek mencecar Saudara Terdakwa, saya nyatakan pengadilan ini diskors sampai batas waktu yang tidak ditentukan, atau sampai pihak penuntut memiliki bukti-bukti yang kuat di balik tuduhan-tuduhan konyolnya.
Dok! Dok! Dok!
wuehehehe, kocak !!! kisah nyata ya mas ?
Lebih tepatnya, based on true story. Hakim itu adalah gabungan dari beberapa gelintir teman yg suka mengkritik dan menasihati dg alasan yg lemah dan aneh. Hehehe….
waaaaa. mancep! bisa jadi refrensi amunisi buat perang ne kalo ada yg berani ganggu pedepokan… sy suka mas… lama gak ngintip ke warung, sekali ngintip rasanya nendang! hwehehehe
parlina wi´s last blog post ..Menaklukan Kematian Ide
“Ekstrimnya: tidak laku tahun ini, masih mungkin jadi best seller 10 tahun lagi.”
Kalo taun ini tidak laku, memang bisa jadi best seller 10 taun lagi?
@Parlina: Terus berkarya!
@Aleena: Kan aku udah bilang “ekstrimnya” 🙂 Tp sangat logis kok. Lihat saja.
Kemungkinan #1, th ini nggak laku, tp terus berkarya tiap th. Dan baru pd karya ke-10 (th ke-10) orang mulai melirik karyamu. Kalau orang sudah tertarik pd karyamu, apa tdk mungkin mrk bakal memburu karya2mu lainnya? Termasuk karyamu yg 10 th lalu tdk laku itu.
Kemungkinan #2, karyamu sekarang nggak laku. Tp 10 th ke depan kamu melakukan sesuatu yg memikat perhatian masyarakat (apapun itu). Lalu orang cari tahu profilmu, dan menemukan kamu pernah nulis buku X. Apa mrk nggak memburu tuh buku?
Toh dlm 10 th, fiksi msh blm basi.
Judge is everywhere, in every field, not only in writing. They just need the proof. So keep on writing!