
Mari kita bicara sesuatu yang agak mendasar kali ini. Tentang fiksi dipandang dari kacamata Islam. Tentang apa hukum menulis atau menikmati karya fiksi menurut Islam?
Words first, then whatever you can imagine
Karya-karya dengan genre teenlit sering dipandang sebelah mata oleh praktisi dunia sastra. “Teenlit itu dangkal!” Mereka mengklaim begitu salah satunya setelah mengamati betapa dominannya penggunaan bahasa gaul yang mengacaukan kaidah bahasa Indonesia. Sudah begitu, isi teenlit cenderung miskin ungkapan. Plus, kosakata yang dipakai penulisnya itu-itu saja.
Film Indonesia mulai bangkit. Musik Indonesia sudah lama jadi tuan di rumah sendiri. Begitu pula sastra Indonesia. Komik Indonesia? Boro-boro membuat komikusnya hidup makmur, sekedar menjadi sandang-pangan saja terseog-seog lantaran konsumennya cenderung memilih komik manca. Tapi di tengah-tengah kelesuan tersebut, komik digital hadir sebagai senjata baru untuk menggempur hati konsumen. Patut diapresiasi.
Film animasi. Untuk urusan satu ini rasanya kita akan selalu menoleh ke Hollywood. Terutama bila kita bicara film layar lebarnya. Karena di sanalah film-film animasi menjelma jadi ikon baru produk box office. Sekedar memberi contoh, tatap saja film Ice Age, Shrek, Surf’s Up, Ratatouille, Persepolis atau Kungfu Panda. Dan senangnya, kegairahan yang sama pun terjadi di ranah film animasi lokal. Bila saya perhatikan, hingga awal tahun ini pertumbuhan film animasi lokal telah menampakkan wajah sumringahnya.
Wuah, akhirnya! Jadi juga menonton Ayat-ayat Cinta.
Di media novel, kehebatan kisah karya Habiburrahman El Shirazy ini terfasilitasi oleh kesempatan seluas-luasnya pengarang untuk bertutur detail. Sementara di filmnya, kedahsyatan cerita ini terfasilitasi oleh efek audio serta visualisasi yang memanjakan mata. Mana yang lebih saya rekomendasikan? Tidak salah satunya. Saya merekomendasikan dua-duanya. Karena, baik novelnya maupun filmnya, sama-sama membuat saya merinding.
Don't do that, please!