Is it all right to we write the trademarks or brand names in our purely art, work of fiction? Won’t the reader think that it is suspiciously a kind of promotion? Because what I am talking about is the real brand, like Coca Cola, Sanex, Calvin Klein, Oxford, Sony, etc.
Usually such mention has a purpose, whether it is for metonymy language style, or for developing the hero’s characterization. According to Orson Scott Card, human has a taste, so does a fictional hero. People who love Mac are different from they who prefer Microsoft.
In other hand, it is almost impossible nowadays to avoid mentioning brand names in our real life. Meanwhile, a fiction always depicts or imitates that real life.
So, I think it is fine to put the brand names in your work. Just:
- Don’t overdo it. Put a brand name every three paragraphs is overdo. Put only a commercial brand name in 500 pages novel is also overdo, if it is there without context or reason.
- Make sure the brand is mentioned (whether in dialogue, description or narration) only in passing. Don’t be too detail, don’t hard sell. Your job is to write a story convincingly, not to sell something.
- Avoid creating negative context of the brand, because that could lead you and your publisher to the court.
If you are puzzled by this and not sure, the rule is simple: go back, and use fictional brands.
* * *
Saya yakin Anda pernah memergoki sebuah karya, entah itu film atau novel, yang dengan enteng memajang nama-nama brand komersial di dalamnya. Membaca atau menonton karya-karya semacam ini, kening kita segera mengernyit, “Hm, ada pesan sponsor nih, kayaknya.” Sebuah kecurigaan yang wajar.
Tapi, apakah menurut Anda Andrea Hirata sedang mengiklankan PN Timah dan SD Muhammadiyah ketika menulis Laskar Pelangi? Apakah Jamal disponsori Citroen Xantia dan Café Modesta saat menulis Epigram? Juga, apakah Stephen King dibayar oleh Hotel Brown dan American Airlines waktu menulis Carrie?
Penyebutan brand dalam karya sastra, atau karya seni secara umum, masih menjadi perdebatan. Pihak yang pro memandang penyisipan seperti ini akan menguatkan setting budaya dan realisme cerita.
Dalam kehidupan sehari-hari saja, seberapa sering kita mendengar teman bilang, “Belikan Aqua galon dong” atau “Duh, Nokia seri apa sih ini”?
Apa teman-teman kita itu sedang mempromosikan Aqua atau Nokia? Pastinya tidak. Mereka cuma sulit menghindar dari penyebutan brand-brand populer yang merupakan bagian dari keseharian. Sastra yang selalu berusaha memotret atau setidaknya membuat imitasi kehidupan riil pun menjadi sulit lolos dari penyebutan brand-brand komersial tersebut.
Dalam produksi film, keniscayaan ini lebih jelas lagi. Jika syuting di ruang publik, kita akan kesulitan menghindari orang yang, misalnya, telepon dengan ponsel Samsung, berkaos Dagadu, naik sepeda motor Tiger, atau membaca Jawa Pos. Lalu, bagaimana kita syuting di jalanan kota besar tanpa kamera kita menangkap logo Pizza Hut, KFC, atau billboard-billboard produk tertentu?
Masalahnya, benarkah menulis brand-brand dalam karya sastra diperbolehkan dan tidak mengundang implikasi? Keberatan utama dari pihak yang kontra adalah, penyebutan-penyebutan semacam ini rawan didomplengi kepentingan komersial, sehingga kenetralan buku sebagai sebuah karya seni dan intelektual akan diragukan.
Pola pikir ini masih bersemi barangkali karena di Indonesia telah banyak fenomena serupa yang memang beraroma sponsorship. Saya masih ingat, di beberapa film Warkop DKI dulu kita jumpai produk multivitamin yang menyatu dengan dialog-dialog Dono, Kasino dan Indro.
Tren yang mengganggu kenyamanan menonton semacam ini terus berlanjut hingga hari ini. Lihat saja film-film layar lebar yang dibiayai produk kosmetik, sabun atau shampo. Pihak sponsor rupanya tidak mau rugi sehingga “memaksa” sineas memunculkan produknya di dalam adegan, meski dengan hard selling.
Bahkan reality show atau infotainment yang seharusnya obyektif pun disisipi produk-produk komersial yang disampaikan secara “aneh”. Tanpa ada konteks yang meyakinkan, tiba-tiba meluncur testimoni dari artis-artis di depan kamera tentang produk tertentu.
Kecurigaan tentang karya seni yang didomplengi pesan sponsor ini sudah waktunya dikikis, terutama untuk sastra. Sebab, dalam khasanah sastra kita sudah lama mengenal metonimia. Majas metonimia menyebut sesuatu menggunakan kata atau frase yang berupa merek, macam, atau lainnya yang mempunyai hubungan sangat dekat dengan obyek yang dimaksud.
Contohnya, “Penganiayaan TKW yang tak kunjung reda benar-benar membuat Jakarta marah.” Yang disebut “Jakarta” tentu bukan Kota Jakarta, melainkan pusat dari kebijakan Indonesia. Berarti, Jakarta di sini mewakili seluruh Indonesia.
Atau contoh lain, “Malam itu, Kijang dengan kecepatan tinggi menabrak warungku.” Yang dimaksud dengan “kijang” bukanlah hewan, tapi salah satu merek mobil.
Menurut Orson Scott Card, penyebutan brand dalam karya ternyata juga memperkuat karakterisasi tokoh. Manusia memiliki kesukaan, begitu juga tokoh fiksi. Tokoh yang suka menggunakan Mac tentu berbeda dengan tokoh yang lebih suka Microsoft, beda lagi dengan tokoh yang Linux-minded.
“Selera bukan hanya membantu pembaca merasa mengenal tokoh itu lebih baik, selera juga membuka berbagai kemungkinan pengembangan cerita,” tandas guru penulisan yang sekaligus pemenang Penghargaan Hugo dan Penghargaan Nebula untuk novel fiksi ilmiah terbaik ini.
Maka kesimpulannya, silakan menyebut nama brand dalam karya sastra Anda, asalkan tidak berlebihan. Tiap tiga paragraf kita menyebut brand komersial itu tergolong berlebihan. Ingat, segala sesuatu yang berlebihan adalah buruk. Termasuk berlebihan adalah ketika tidak ada konteks dan alasan yang kuat, kita tetap menyebut nama brand.
Dialog, deskripsi atau narasi yang menyebutkan brand itu juga harus diucapkan sambil lalu. Tidak dengan hard selling (mengunggul-unggulkan produk tersebut), tidak soft selling, bahkan tidak selling sama sekali.
Jangan pula menciptakan konteks yang negatif atas brand itu, sebab ini bisa berujung pada meja hijau. Meskipun, saya belum pernah tahu ada penulis yang dituntut gara-gara menyebut brand atau merek tertentu. Bahkan setahu saya Morgan Spurlock yang menciptakan kampanye negatif bagi McDonalds di film dokumenter Supersize Me aman-aman saja.
Namun jika Anda ragu-ragu atau memperkirakan akan ada implikasi dari penyebutan brand tertentu dalam cerita, sebaiknya jangan menyebut nama brand riil sama sekali. Gunakan brand fiktif. Dengan risiko seperti ini:
- Jika “Harian Kompas” diganti “Harian Kompak”, kesannya jadi plesetan. Apakah karya Anda memang bergenre komedi?
- Kalau “Restoran Bumbu Desa” diganti “Restoran BD”, siap-siap saja diabaikan pembaca. Singkatan atau inisial selalu sulit dihapal, kesannya sok berteka-teki.
- Bila “Universitas Kristen Petra” diganti “salah satu universitas swasta di Surabaya”, kesannya jadi hambar, memboroskan ruang, tidak to the point, sehingga sulit dibayangkan langsung oleh pembaca.
Coba baca koran terdekat Anda saat ini. Penyebutan-penyebutan brand sedikit banyak pasti Anda temukan. Berita mana yang lebih gampang dibayangkan, “Nasrudin ditembak pria misterius yang mengendarai Yamaha V-ixion” atau “Nasrudin ditembak pria misterius yang mengendarai sepeda motor”? Kalau surat kabar saja mau menulis nama merek, kenapa sastra tidak?
Namun itu sekadar sharing dari saya. Mungkin Anda punya pendapat lain?
Udah sembuh, Brahm? Makanya jgn gangguin orang terus. Jadi muntah2 gitu deh!
Dlm tulisan, sebaiknya merek atau produk ditampilkan sambil lewat, nggak pake deskripsi apa2 ttg merek tsb. Dalam film/ sinetron juga sama. Merek atau produk jgn disorot jelas. Biar kesannya natural.
Rie´s last blog post ..Balon Patrick
Bener juga. Pernah baca novel yang semua isinya nama – nama singkatan & plesetan.Tapi aku tetep tau maksud pulau B itu pulau Bali, kota J itu kota Jakarta, ITEBA yang disitu katanya perguruan tinggi negeri di Bandung itu pasti ITB. Ga to the point aja, sich. ‘Kan bikin bacanya tersendat.
Eits, siapa jg yg muntah2, Rie? Cuma mual2 kok. Aku jg nggak pernah gangguin orang kok. Ya, ya, ya, ngapain jg dijelaskan deskripsi merek itu. Kata Stephen King, “Aku tdk dibayar utk menjelaskan detail restoran tempat ceritaku berlangsung. Aku dibayar cuma utk bercerita secara meyakinkan.”
Itulah, Leen. Aku heran, kenapa ada penulis (dan penerbit) yg cenderung menyembunyikan sesuatu yg seharusnya tidak masalah kalau ditampilkan (yg akibatnya cerita jd kelihatan aneh gitu). Tp memang, ada beberapa kasus merek/brand seharusnya difiktifkan atau tidak perlu disebutkan. Rasanya udah kujelaskan di atas.
Soalnya td malem aku juga mual dan muntah2 setelah diSMS terus sama org yg, katanya, lagi sakit. Masa’ ya ada org sakit kuat SMSan, cari perhatian, ngegodain terus. Kyknya itu org pembual sejati deh. Hrs dijauhin!
Oia, waktu proofreading, nggak ada komentar yg menyinggung soal merek atau tempat. Terus, kenapa pas sampai ke tangan penerbit jd disinggung2 ya?
Rie´s last blog post ..Balon Patrick
Daripada ngolok2 orang sakit, hayo? Masa’ orang sakit nggak boleh SMS-an? Disuruh diem aja di kasur?
Wajarlah, kan penerbit yg bakal tanggung jwb kalau ada apa2. Jd mrk lbh berhati2. Tp, perasaan nggak ada apa2 yg perlu dikhawatirkan deh di naskah itu.
Kenapa, ya, kalo nyebutin merk – merk terkenal seperti Aqua atau Nokia kesannya lebih natural, tapi kalo nyebutin merk yang lebih kecil seperti Mito atau Cheers kesannya promo.
Oiya, ga ada tuntutan, ya, terhadap Supersize Me yang dulu itu? Sama sekali?
Iya, ya. Menurutku sih, merek yg lbh besar sepertinya sudah benar2 menyatu dg masyarakat, sehingga wajar bila disebut. Merek2 kecil belum seberuntung itu 🙂
Setahuku McDonalds nggak pernah memperkarakan Morgan Spurlock. Koreksi aku kalau salah.
Ya, ya, ya. Itu sponsor semua, Inde. Tiap nama kusebut aku minta Rp 500.000. Berarti bisa kamu hitung kekayaanku hanya dari satu tulisan ini. Hehehe …. *gampang banget ya cari uang kalau bisa begitu*
di beberapa daerah di Indonesia… aqua, honda, nokia, kijang, sanyo kayaknya udah jadi sebutan umum untuk menggambarkan air mineral, sepeda motor, hand phone, mobil keluarga dan pompa air. Justru kalau tidak disebutkan dalam karya tulis fiksi daerah tersebut, kesannya jadi tidak natural.
misalnya :
“Der, bisa kupinjam hondamu sebentar?” atau Ibu menyuruhku menyalakan sanyo.
Yang jago Bahasa Indonesia pasti pernah belajar tentang ini. Majas apa namanya? Atau masuk perluasan makna? dari kata khusus menjadi kata umum.
Majas metonimia. Tp orang sini masih curiga bahwa yg begitu itu dianggap sponsor terselubung. Payah.