
Beberapa hari lalu, seorang teman mengajak saya mengikuti talkshow bertajuk Book Writing for Executive Branding yang diadakan di Spazio Building, Surabaya. Saya tertarik karena melihat komposisi pembicaranya yang kelihatannya “seimbang”.
Talkshow ini tidak hanya mendatangkan narasumber dari sisi penulis (Edy Zaques, Adi W. Gunawan, Amelia Hirawan). Tapi juga seorang Regional Manager Toko Buku Gramedia (Felix Kunarjanta), dan dimoderatori oleh seorang pakar statistik (Kresnayana Yahya). Tanpa dua nama yang terakhir ini, saya kira acara akan jadi seperti seminar-seminar motivasi penulisan lainnya yang membawa pesertanya ke langit ketujuh dengan segenap gambaran indah tentang dunia kepenulisan. Tidak baik juga kan?
Acara dibuka dengan pengantar tentang perbukuan oleh Kresnayana Yahya, dosen ITS yang justru belum menerbitkan satu pun buku. Yang jelas, beliau pembaca buku yang lahap dan berharap semakin banyak penulis buku lahir. Beliau menceritakan bahwa ada beberapa teman dari luar negeri yang tertarik dengan keunikan Indonesia, termasuk eksistensi hewan purba komodo. Mereka sampai jauh-jauh datang ke Indonesia untuk menyusun buku tentang itu. Sementara, orang Indonesia sendiri kurang peduli dengan potensi-potensi lokal di negaranya.
Kresnayana juga prihatin dengan minimnya penulis genre anak. Padahal, anak-anak Indonesia sekarang sangat suka membaca. Setiap jalan-jalan, menurut pengalaman pengamat bisnis ini, anak-anak suka mampir ke toko buku untuk membeli buku. Buku-buku itu dibaca dalam waktu relatif cepat. “Lalu, minta beli lagi,” tuturnya.
Kalau tidak ada penulis yang bagus di genre anak seperti saat ini? “Ya jangan salahkan mereka kalau membaca dan meniru komik Shinchan, Naruto, dan sebagainya!” Karena memang kebanyakan yang ada dan menarik adalah buku-buku semacam itu.
Materi dilanjutkan oleh Adi W. Gunawan. Dosen Ubaya ini bicara soal pentingnya konsistensi dalam branding, terutama dari kegiatan menulis. “Menjadi penulis jangan asal nulis. Sedang tren A, menulis buku A. Trennya B, menulis buku B. Padahal A dan B hubungannya sangat jauh. Ini tidak baik bagi personal branding Anda. Karena orang jadi bingung, Anda ini sebenarnya siapa dan keahliannya apa?”
Pengarang lebih dari 22 buku tentang otak dan pikiran ini juga setuju bahwa menulis buku penting sekali sebagai leverage factor bagi karir atau bisnis Anda. Jadi, menulislah buku! Toh yang terpenting bukanlah kemampuan menulis. “Yang terpenting adalah Anda punya ide yang sistematis untuk menyusun sebuah buku,” terang Adi.
Pendiri Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology ini mengatakan bahwa jika Anda punya ide tapi tidak bisa menulis, selalu ada alternatif untuk menyewa jasa ghostwriter. Yang penting, sekali lagi, milikilah buku atas nama Anda, untuk menyampaikan kepada dunia cerita serta kepakaran Anda.
Namun, jangan salah. Branding bukan hanya himbauan untuk pekerja kantoran, profesional, maupun pebisnis. Ibu rumah tangga pun perlu menulis buku! Buku apa pun yang sesuai dengan minatnya. Ini yang dibahas oleh pembicara kedua, Amelia Hirawan. Pendiri Sinergia Consultant ini menekankan bahwa selain keuntungan-keuntungan materialistis dan profesional, kegiatan menulis juga mempunyai manfaat terapis bagi jiwa.
Psikolog ini berkaca pada pengalamannya sendiri yang pernah dua tahun “bertapa” di rumah merawat dan menyusui bayi. Lalu sang Suami, melihat perilakunya yang seperti kehilangan semangat, mudah bosan dan sering uring-uringan, suatu hari berkata, “Kamu stres. Coba menulislah!”
Amelia menuruti saran itu. Dan ternyata mujarab. Gairah hidupnya menyala kembali. Apa yang ditulisnya sampai efek psikisnya dahsyat begitu? Sederhana saja, sebenarnya. Tidak jauh-jauh dari pengalamannya sehari-hari: merawat bayi. Buku Amelia itu kemudian terbit di bawah bendera Elex Media Komputindo. Jadi, “Sekali menulis buku, saya dapat tiga keuntungan. Pertama, stres saya hilang. Kedua, royalti dari penerbitan buku. Ketiga, saya juga memulai langkah personal branding.”
Memang, branding dengan buku itu tidak hanya melalui biografi atau memoar. Bisa juga melalui buku-buku how to seperti yang dilakukan Amelia. Asal, kita terus konsisten pada satu bidang bidik.
Pembicara ketiga dalam talkshow ini adalah Edy Zaqeus, seorang penulis best seller dan writing trainer. Dia memaparkan contoh-contoh orang yang mulanya bukan siapa-siapa, lalu menjadi terkenal karena bukunya terbit. Salah satunya, “Andrie Wongso. Seorang lulusan SD. Kemudian, berkat kerja kerasnya, beliau berhasil jadi motivator sukses di Indonesia. Tarif mengundangnya sebagai pembicara pun menjadi mahal. Dan begitu bukunya terbit, tarif yang sudah mahal itu jadi 300% lebih mahal lagi!” Ini karena Andrie Wongso melakukan strategi personal branding yang tepat, yang salah satunya adalah dengan penulisan buku.
Edy juga menceritakan temannya, Andreas Harefa yang diundang di mana-mana, karena dia menulis buku-buku tentang MLM (Multi Level Marketing). Tapi di kemudian hari, Andreas merasa salah mem-branding dirinya. Dia tidak mau lagi diidentikkan dengan MLM. Akhirnya, Andreas banting setir menulis buku-buku lainnya.
Jadi, melakukan branding melalui buku pun bisa salah. Kalau sudah salah atau ditengah jalan tiba-tiba merasa kurang sreg, apa boleh buat, bongkar dan mulai lagi dari nol.
Diskusi semakin menghangat begitu pembicara terakhir bicara, Felix Kunarjanta. Dialah sang eksekutor buku. Dialah yang akan sakit kepala kalau melihat timbunan buku-buku tidak laku. Maka tak heran, gaya bicaranya di talkshow ini cenderung ceplas-ceplos. “Kalau nulis buku itu mbok ya dipikir, siapa Anda, siapa segmennya, terus bagaimana promosi-promosinya. Jangan menulis terus ditinggal begitu saja. Banyak lho penulis seperti itu.”
Felix kemudian menjelaskan panjang-lebar tentang nasib-nasib buku yang tidak laku. Beberapa pernyataannya seakan menarik audiens yang sudah terlanjur melayang-layang di angkasa untuk kembali menginjak bumi. Intinya, dia mengatakan, “Ini lho realitanya!”
Sebagaimana sudah saya duga, kehadirannya dalam diskusi ini sebagai penyeimbang. Insight “menyakitkan” inilah yang ingin saya dengar. Supaya kita penulis tidak terbuai oleh khayalan-khayalan indah melulu.
Namun sekurang-kurangnya, saya kira sebagaimana yang dikatakan Amelia, menulis itu bisa menjadi terapi. Bahkan, imbuh Felix, “Beberapa penulis membiayai sendiri bukunya untuk kepuasan diri. Laku atau tidak, dia tidak peduli. Salah satu contohnya adalah buku memoar militer karya Letjen Kiki Syahnakri, terbitan Kompas. Itu dibiayai dia sendiri secara swadaya.”
Jadi, tetaplah menulis buku. Sebaik-baiknya! Kalau penulis sudah mengupayakan apa yang terbaik, “Sisanya serahkan saja ke dia. Biar dia dan teman-temannya yang puyeng jualan,” kata Kresnayana sambil menunjuk Felix, sang Manager Toko Buku. Audiens pun tertawa ger-geran.
Kresnayana juga menampilkan banyak slides tentang statistik perkembangan toko buku, penjualan buku, dan perkembangan daya baca masyarakat. Yang pasti, “Prospek menjadi penulis masih terbuka sangat lebar. Tren di luar negeri telah membuktikannya. Belum lagi kalau kita bicara e-book.”
Sesi tanya-jawab dalam talkshow Book Writing for Executive Branding ini pun berlangsung gayeng dan menarik. Bahkan sampai jam 10 malam pun belum ada tanda-tanda selesai. Terima kasih buat penyelenggara dan para pembicara. Insya Allah, ilmunya sangat bermanfaat!
Terima kasih atas sharingnya sangat bermanfaat. thank bro…