By: Brahmanto Anindito
Bulan ini, Indonesia merayakan kemerdekaannya yang ke-62. Umur perfilman Indonesia sendiri sudah 80 tahun lebih. Tapi di usia segitu, ternyata kita belum merdeka dari adegan-adegan tertentu yang klise. Saya hanya bisa menduga-duga, mungkin maksud keklisean tersebut untuk memberi penekanan kuat pada adegan. Yang Horor biar tambah menyeramkan, yang Suspens biar tambah menegangkan, yang Komedi biar tambah mengocok perut, yang Drama biar tambah tragis, yang Laga biar tambah gagah. Intinya, supaya lebih mengesankan lah. Tapi … saya kok malah tidak terkesan ya?
Baiklah, mari kita mulai dari pertanyaan sederhana: Kenapa. Kenapa seorang tokoh masih saja bilang, “Halo? Halo?!” kepada orang di seberang yang jelas-jelas sudah menutup teleponnya?
Kenapa seorang tokoh tidak langsung menoleh ke apa yang ditunjuk temannya sewaktu sang teman tergagap, “Ss…. s…. s…” (yang beberapa lama kemudian baru bisa melanjutkan, “S…. SETAAAAN!!”) Tokoh itu selalu menertawakan terlebih dahulu ekspresi temannya, “Kesedak apa loe, hah? Huaahaha!!!” Padahal temannya tadi terus menuding ke arah si setan dengan bahasa tubuh yang jelas-jelas ketakutan.
Kenapa seorang tokoh kadang-kadang mengoceh sendiri tanpa lawan main? Mengocehnya pun dengan kalimat-kalimat yang lengkap dan jelas. Menyuarakan isi hati dan pikirannya dengan ujaran-ujaran yang gamblang, persis seperti sedang bicara pada seseorang. Padahal itu film realis, si tokoh tidak mungkin tiba-tiba berencana bermonolog seperti karakter-karakter teater. Dan yang pasti tokoh itu, dalam ceritanya, adalah orang waras, bahkan cerdas.
Kenapa seorang tokoh yang mendapat uang dadakan harus melakukan selebrasi dengan melempar-lemparkan uang (kertas) itu sampai berserakan? Kenapa uang itu tidak dihitung biasa dan disimpan rapi agar nanti tidak perlu repot-repot menatanya?
Kenapa tokoh psikopat sesudah menangkap korbannya selalu bertindak ceroboh seperti tertawa terbahak-bahak padahal belum ada kepastian dia yang mengendalikan situasi? Atau kenapa tokoh berdarah dingin itu terlihat santai tatkala memburu korban yang berusaha lari darinya? Meremehkan kemampuan korbannya untuk melarikan diri? Oke. Maka akhirnya pun gampang ketebak: Sang korban (biasanya tokoh protagonis utama) benar-benar melarikan diri.
Kenapa tokoh antagonis ketawanya selalu menggelegar tidak alami, terdengar dibuat-buat? Dan apa perlunya harus sebentar-sebentar tertawa?
Kenapa tokoh-tokoh dalam film silat kolosal kebanyakan berujar mirip praja IPDN? Ekspresi mereka beku. Gestur kaku. Sok tegas. Memangnya dunia pendekar senantiasa dipenuhi dengan orang-orang semacam itu? Lha terus, film-film kolosal Barat dan Asia kok tidak begitu ya? Lihatlah 300 yang sangar namun dialog-dialog antar tokohnya mengalir selancar percakapan sehari-hari. Lihatlah Hero yang ceritanya superserius tapi tampang tokoh-tokohnya wajar-wajar saja. Rileks, namun tetap berwibawa sebagai warrior (pendekar).
Kenapa pada adegan perkosaan, selalu si cowok brengsek yang membuka bajunya sendiri dulu? Bukannya baju sang korban? Menciptakan karakter bajingan kan harus berpikir layaknya bajingan. Menciptakan adegan pemerkosaan yang realistis bukan berarti penulis skenarionya berpengalaman memerkosa. Tidak dosa mencoba berpikir layaknya pemerkosa sungguhan, asal tidak untuk dipraktikkan di dunia riil lho. Pikirkan, apa untungnya si pemerkosa telanjang duluan? Bahkan pikirkan kemungkinan andai dia merasa membuka bajunya sendiri adalah tidak praktis, jadi dia akhirnya hanya membuka resleting celananya, sehingga kalau ada yang memergoki bisa langsung lari tanpa berpotensi meninggalkan pakaiannya sebagai jejak kriminal. Entah sang pemerkosa benar-benar berpikir paranoid begitu atau tidak, yang jelas pakaian korbanlah (cewek) yang perlu dibuka terlebih dahulu. Wuah, film porno dong?! Kalau adegannya diteruskan, memang iya. Tapi adegan kan bisa dipotong saat tangan si tokoh laknat mulai beraksi dan penonton diperkirakan sudah dapat gambaran apa yang akan terjadi berikutnya. Tidak vulgar. Tapi tetap logis.
Kenapa ketika seorang tokoh terpergok berselingkuh, dia sibuk mengatakan, “Gue bisa jelasin” namun tak juga menjelaskan duduk persoalannya sampai sang kekasih pergi dengan kecewa? Meskipun dalam dialog yang memanas itu ada jeda, alih-alih memanfaatkan waktu sempit tersebut untuk menerangkan situasinya secara singkat, dia malah mengulang kata-kata, “Dengerin dulu, gue bisa jelasin.”
Kenapa? Kenapa kita belum bisa merdeka dari adegan-adegan semacam itu
ku pnya pnglman yg bikin aku skit hti bgt coz
wktu itu ku mau dibokep sm org g ku knl seblumy.
aku marah bgt ma dia coz dia maksa ak bgt gitu buat s’olah jdian ma ku
awlnya ku prgi ma ibu, akn nrton wayang kulit di kec. Wktu itu ku mlai ngobrol ma org itu katkn aj nmanya Mario,ni bru knl ma ku.
trus ku pinta plng Mario syp ngntrin ku plng smpe rmh tpi anehya Mario mnta lewt sungai,aku jdy mulai curiga ma dia.
Ternyata terbukti dy ngjk aku lwt sngai krena mo nglakuin bok3p sm ku.Ku marh bgt ma dy.Knp Mario spe nglkuin ini ma ku.Ap dy cuma mo bls dendam ma cewkn??????????
knp bukan pacrny aj yg dprlkin kyk gitu.
selamanya ku ga mau jdyn ma Mario.
Nambahin, ya Mas… Close up, kenapa film Indonesia sukanya syut close up? Apa buat mamerin tampang artisnya yang mulus-mulus? Mainin zoom in-zoom out, jadi deh, kayak film india ato telenovela 🙂
Dear Djiyot, bingung nih hrs ngomong apa. Aku sih berbaik sangka bhw komentarmu bukan spam. Aku jg berempati andai ceritamu itu bnr2 terjadi, bukan fiktif. Tp nggak cocok lho kalo curhat di sini, salah2 ceritamu dijadikan cerpen ama kita2. Curhat di ruang publik semacam ini? Aneh, menurutku. Tp ya udahlah, aku berdoa buat kebaikanmu. Apapun itu ~_^.
Nambah juga. Sering banget para karakter di film Indonesia kalau ngomong tidak berhadapan satu sama lain malah yang sedang ngomong biasanya akan menghadap ke jendela atau yang lainnya. Kesannya sih supaya dramatis, tapi malah nggak realistis lagi.
Kalau lagi ngomong di telepon, yang menerima telepon kesannya ingin menjelaskan ke para penonton tentang apa yang sedang dibicarakannya di telpon walaupun kesannya jadi ane, karena dalam dunia nyata nggak seperti itu.
Misalnya : “Dimana kita akan bertemu? Di Mall Taman Anggrek? Jam Tujuh Malam? Kamu akan menggunakan baju merah?
Trus, kalau aktor/aktris Indonesia udah berusia di atas 30, peran yang dimainkan kini hanya jadi bapak-bapak atau Ibu-ibu anak remaja. Jarang jadi pemeran utama lagi.
Hehehe, ngomong-ngomong saya suka banget artikelnya. Salam!
Buat Mbak Olla (Dewi IKJ), thx udah nambahin. Kalo kulihat2 memang sineas kita (terutama sinetronisnya) suka banget ama CU, atau minimal MCU lah. Biar ekspresinya kena mungkin. Tp itu emang metode klise, rasanya.
Buat Mbak Maj, thx udah meramaikan artikel ini. Aku setuju semuanya, Mbak. Yg pertama (ngomong tak saling pandang) soal dramatisasi. Yg kedua (adegan telepon) soal logika. Yg ketiga, aku nggak tahu sebabnya. Padahal di luar negeri, film2 yg keren itu bintangnya kebanyakan justru yg di atas usia 30 (termasuk film action), mungkin karena kematangannya. Sedangkan film2 dg bintang utama remaja di sana biasanya film2 popcorn yg sulit boxoffice. Di sini?
Kalau soal Heroes aku setuju sekali,jadi pahlawan nggak perlu berlebihan,yang penting adalah jalannya cerita yang bagus dan kuat
Benar sekali Mas Brahm,filem kita itu masih jauh belum berkembang,masih sama aja dengan tahun 80’an,benar tuh akting para aktor kita banyak yang kaku ya,suka ngomong sendiri terutama dalam sinetron,biasanya kalau saya baru nonton sinetron sedikit saya suka minggat krn suka ngeritik gitu…paling maksudnya kalau ngomong sendiri supaya yg nonton ngerti ceritannya,ini dikarenakan menurut saya : yang membuat filem ini gak mau capek dan idenya mungkin gak banyak dan wawasannya kurang luas untuk membuat penonton mengerti jalan ceritanya,tidak seperti filem barat,gak usahlah filem barat contoh filem asia,korea,taiwan sepertinya jarang bangat yg ngomong sendiri kecuali kalau diaktingkan jd org aneh/gila kali.Terus akting misal securty,polisi atau yg lain biasanya keliatan kakunya seperti ditegap-tegapin,biasa aja kenapa.Saya rasa mungkin dari penyeleksian orang yang memilih pemain tidak sekeras dan sedisiplin org negara lain,mungkin kalau wajah cantik,ganteng latihan sedikit ya jadi kali gitu.Ceritanya juga biasanya yg sdh bisa ditebak,pasti arahnya begini,pasti ngomongnya begini.Tapi kita patut bersyukur kalau orang kita masih bisa buat filem.Adios
Terima kasih, Mas Aji, atas komennya. Kita kan masih menganggap kalau seorang pahlawan nggak tampil gagah itu kurang keren filmnya. Anggapan ini bnr jg sih. Tp kan gagahnya nggak perlu dibuat2 gt ^_^
Mas JJ, sebelumnya thx udah mau membaca dan berkomentar. Tp ada jg lho sinetron yg penjiwaan para pemainnya wajar dan keren (aku yakin ini faktor sutradara). Mungkin Mas JJ msh ingat, Dunia Tanpa Koma (DTK). Suatu hari, episode-nya selesai diputar, RCTI langsung menayangkan film layar lebar. Aku nggak mau sebut judulnya, yg jls film itu jg bercerita ttg dunia jurnalistik. Abis nonton sinetron DTK yg dialog2nya cerdas dan bernas, tiba2 nonton film tahun 2000-an yg dialognya kyk film 80-an. Weleh2, mentalku langsung drop. Padahal mestinya kan kualitas film layar lebar lebih baik dari sinetron. Ini kebalik, men!
Setuju sama tulisannya. Mungkin film yang nggak mau Brahm sebut itu Issue yang tokoh utamanya diperankan Tamara? :p 🙂
Btw DTK dialognya memang cerdas, tapi menurutku justru para pemerannya yang berakting dengan klise.
Untuk sinetron aku paling suka Bukan Perempuan Biasa, sinetron ini betul2 luar biasa dengan cerita dan cast yang top seperti Christine Hakim, (early) Desy Ratnasari, (early) Marini Zumarnis, El Maniek, dan Remy Silado. Kalau nggak salah yang sutradaranya Jajang C. Noer. Ironisnya yang memproduksi sinetron ini adalah… Multivision Plus! Proyek idealis kali ya..
Wah..ini aku juga setuju. Sinetron yang logis menurutku. Yaaa..mungkin karena itulah Christine Hakim mau main, ya kan? Betewe saat nonton Bukan Perempuan Biasa, aku masih kelas 1 SMP kalo ga salah. :v
Paling inget pas adegan si Desy bilang, “Bunuh saja saya, Bu… Bunuh saja sayaa..”
Wah jadi panjang komennya. 😀
Baca tulisan mas Brah, bikin aku jadi ketawa2 sendiri, emang bener yg namanya sinetron/ film Indonesia bikin saya males untuk nontonnya. Saya masih jauh lebih senang liat film / drama2 Jepang atau Korea (ga usah jauh2 ke Amrik or Eropa dulu deh) cerita beragam, akting bagus, ga bertele2 dan bermakna. Semoga saja di masa yg akan datang banyak bibit2 baru dalam perfilman yg bisa bikin film/drama yg berbobot. Keren kan kalo sampe ada Indonesian wave di seantero dunia..(jgn cuma Japan or Korea aja yg bisa bikin wave2an) hehehehe..
Memang gak semua sinetron/filem,ada juga yang bagus,tapi ini rata-rata menurut saya,selain itu banyak nangisnya itu lho…sampai kadang2 saya mikir ini sinetron yang membuat apa gak mikir kalau ditonton org asing lainnya bisa mereka berpandangan rata-rata org kita cengeng kali ya krn banyak sinetron bernuansa sedikit-dikit nangis,kalau gak nangis teriak-teriak marah,kalau gak itu ketawa yang dibuat-buat alias dipaksa,trus seperti kata Olla diatas banyak close up dan itu loh musik pengiringnya yang selalu diulang-ulang spy kita menjadi tegang/penasaran seperti nonton Indonesian Idol coba…kalau mau mengumumkan pemenang musik pengiringnya diulang-ulang sampai saya sbg penontonnya bosan,kalau American Idol kita bisa puas bangeet gitu loh,mereka gak mau penontonnya dibuat lama-lama sampai bosan untuk mengumumkan pemenangnya..sori kembali ke pembicaraan kita,apakah orang kita yang membuat cerita filem/sinetron tidak mau membaca selera penonton,atau biayanya terlalu mahal utk.membuat filem yang bagus tapi apa yang bagus juga bisa dari yang kecil-kecil dulu 😉
Saya rasa untuk bikin film yang bagus nggak perlu biaya yang terlalu mahal, kecuali kalau mau bikin film yang banyak menggunakan special effect. Yang paling penting ceritanya harus kreatif dan smart. Buanyak banget peristiswa sehari-hari yang bisa dijadikan inspirasi sebenarnya. Kalau mau liat contoh film-film luar yang sederhana tapi memikat dan kayaknya nggak perlu modal yang banyak, coba deh tonton In America, Girl Interrupted, Million Dollar Baby atau Boys Don’t Cry. Yang membuat film-film tersebut bagus ya karena faktor ceritanya. Nggak usalah dulu ngebayangin yang terlalu wah macam Lord of The Rings atau Harry Potter. Salam!
Thx buat Andika, Endah, JJ dan Majdy, udah membaca tulisan ini, mengomentari, bahkan saling mentransfer wawasan di sini.
ANDIKA. Belum, aku belum nonton Bukan Perempuan Biasa. Mungkin emang luarbiasa. Hm, aku sih bukannya muji2 sutradara DTK atau pemain2nya yg bertabur bintang itu lho. Mrk orang2 hebat di mataku, tp IMHO, mrk nggak menyutradarai atau membintangi senatural di DTK utk sinetron/film mrk yg lain. Nggak tahu ya, DTK ini spt proyek harus-bagus yg disepakati SinemArt dan RCTI. Akting klise? Klise yg kumaksud itu eksekusi yg trs diulang2 di film/sinetron yg lain. Apakah dialog cerdas-bernas di DTK udah berulang2 dipraktikkan di sinetron kita? Waduh, kalo gitu aku pasti ketinggalan perkembangan dunia sinetron jauh nih. Atau yg dimaksud Mas Andika adalah bhw justru gara2 dialog semacam itulah kebanyakan tokoh2 DTK jd speak-in-one-language? Nggak mencerminkan keberagaman masyarakat kita? Mk begitu semua tokoh dibuat articulate, di situlah letak kekliseannya. Begitukah maksudnya, Mas Andika?
ENDAH. Kalau nggak salah, di sini ada kelompok kerja I-Sinema yang semangatnya kayak kelompok Dogma-9 di Skandinavia (dimotori Lars Von Trier). Gimana tuh kabarnya? Itu yg di Antv itu kan? Tp kok pdkt-nya mainstream ya. Nggak tau deh. Ada yg bilang, ada wave di Indonesian Movie, Jelangkung dan AADC pionirnya. Tp kalau syarat wave yg Mbak Endah maksud adalah karakter estetik perfilman yg khas, kayaknya emang blm ada. Kecuali kekhasan2 yg nggak bisa dibanggakan spt dlm artikelku di atas 😛
JJ. Tp strategi itu efektif lho. Scr alami, kita ikut sedih kalau lihat orang menangis kan. Cuma apa itu efektif utk jangka panjang? Pas pertama nonton salah satu sinetron yg gencar diputar saat ini, aku sempat terharu. Tokoh utamanya itu lho, senasib dg orang yg kukasihi (cieee …). Tp lama2 kok nangis2an terus. Ya akhirnya aku jd kebal: Mau tokoh itu ngalami nasib buruk apa, mau dia nangis kayak apa, mataku tetep kering, bahkan aku cengengesan aja sambil ganti channel. Kupikir wejangan William Noble (penulis fiksi) bnr bgt, “Kalau mau bikin pembaca menangis, jangan buat tokohmu menangis. Ketika tokohmu tampak tegar dan tidak cengeng, pembacalah yg akan menangis untuknya.” Di sisi lain planet ini, Asmuni (tokoh lawak yg baru aja almarhum) pernah mengatakan, “Kamu jgn ketawa sendiri kalau mau bikin orang ketawa.” Alamaaak, filosofi dua maestro ini dalem banget, bukan?
MAJDY. Tentu, Mbak. Tentu. Special f/x, bintang film yg udah punya nama dan perangkat syuting harganya mahal. Tp ide cerita kan murah. Dan logika? Berapa sih harga logika? Gratis! Apa justru krn gratis itu ya, logika kita anggap ubiquitous dan nggak ada nilainya, sehingga kita jarang ada yg tertarik dg logika?
kenapa jg film horor endonesa lightingnya selalu gitu: backlight dengan pendaran cahaya kebiru-biruan ditambah kepulan asap yang ga jelas…
rumahnya oke juga, Bram. bakalan sering tak kunjungi kau disini..
hehe… piye kabarmu? nangdi saiki?
sukses yo…
Anton Kusnanto! Kemane aje, Bro? Aku saiki nang majalah bisnis, sesuatu yg nggak ada hubungannya dg fiksi, hehehe … (Oke, kembali ke lapt….) Nggak tahu, Ton. Kamu yg tahu fotografi dan pencahayaan aja bingung, apalagi aku. Juga kenapa sering kali di hutan ada sumber cahaya kuat di belakang para tokoh. Kita tahu, itu lightingnya. Tp kok jadi kyk lokasi pendaratan UFO. Anehnya, para tokoh yg terpencil di hutan itu nggak terganggu samasekali, seolah cahaya terang itu nggak mrk lihat. ^_^
duh klise banget sih adegannya, eh tulisannya hihihi
Telat bgt ni komentarnya hehe… sy jg pengen nanya, kok bs di film horor yg judulnya kuntil… (tau kan? hehe) ada kost2an mahasiswa segitu seremnya, deket kuburan, punya histori yg aneh pula?? Dan kenapa msh adaaa aja yg nge-kost disitu?? klo sy sih ogah d.
paling jengkel kalau lihat film bisa ketebak happy endingnya………………..kayaknya juga pengan jadi sutradara he he he.
Makasih komennya ya, Ree …. Oh, kalau itu menurutku gpp, Mbak. Itu kan awal cerita. Superman toh sejak awal idenya manusia bisa terbang, nggak masuk akal jg, tapi kita biarkan jg kan? Utk kasus Kuntilanak, kalau di awal2 ceritanya udah dibangun spt itu (ada mahasiswa2 aneh yg nekat ngekos), ya nggak masalah. Baru jd masalah kalau di tengah2 cerita kita temukan ketidakmasukakalan (istilahku keren ya :P) yg nggak sejalan dg bangunan cerita awal. Setuju nggak, setuju nggak?
Thx udah mau mampir, Gladis. Happy endingnya sih gpp, tp kalau ketebak itu lho yg bikin males 🙁
hallo teman aku juga tertarik tentang hal ini bisakah kita semua memperhatikan Etika yah itulah tampaknya yang kurang dipahami oleh orang indonesia tapi sebenarnya orang luarlah yang bertindak dengan tidak benar karena faham mereka yang menjunjung tinggi sesuatu etika kebarat-baratan . Oh ya link juga ke tempat homepage saya untuk saring komunikasi tapi jangan diusili ya homepage kami,ingat friend kita pernah berjumpa sayang tidak saling mengenal.
Thx, Henandri, komentarnya udah melengkapi tulisanku. Tp soal link kami bnr2 minta maaf. Wufi kan bukan situs pribadi nih, jd kl sebuah situs/blog tdk ada hubungannya dg kepenulisan fiksi atau pemiliknya bukan penulis fiksi, kami nggak bisa me-link. Ada seleksi, sori. Ini demi kepentingan bersama jg. Nggak papa ya? ^_~
kalau dari diskusi dengen teman-teman, kami sering menyimpulkan: film Indonesia dibuat untuk pangsa pasar kelas bawah yang tidak mau tontonan berbobot. Mereka lebih suka bermimpi dan maunya yang klise-klise.
Tidak ada namanya karakter abu-abu, semua orang harus hitam putih, tidak kompleks, sebuah oposisi biner: baik-jahat, cantik-jelek, de el el. Saya sendiri paling mual dengan film-film seperti itu, benar-benar pembodohan. Tapi berhubung komplain tidak menyelesaikan masalah, saya memilih tidak menonton.
Tidak menonton, tapi berkarya terus, nggak peduli masyarakat kita blm siap dg karya2 yg kompleks (tidak hitam-putih). Wong tokoh2 superhero di luar aja dewasa ini cenderung nggak dibuat hitam-putih lg kok. Yeah, kayaknya tokoh abu2 blm bisa mengundang simpati di Indonesia. Vin, kamu udah baca novel Ayat2 Cinta kan? Di situ tokoh utamanya begitu putih. Ketika diekranisasi dan tokohnya digeser jd tokoh abu2, banyak yg protes. “Itu mengurangi ‘kesaktian’ tokoh Fahri,” kata mereka.
kenapa pembuat skenarion ngga pernah bikin hal baru? ngga pernah bikin yg logis. kalo antagonis, jahatnya kaya setan. kalo yg alim, berlebihan jg…
coba saya jadi penulis skenarionya, pasti perfilman indo maju… YAKIN!
kalau di sinetron indonesia antagonis nya pinter banget bikin siasat, fitnah, adu domba, bodo2in protagonisnya. trutama kalo maslah harta n kebalikannya protagonisnya bodo n sok suci. udah tau orang jahat malah dimaafin. ” kamu memang mulia karena telah memaafkan kami, yang telah jahat sama kamu.” hah klasik
kmbali ke penontonnya sih….soalnya film ato sinetron yg dbuat pake kreatif tinggi malah ga laku….jd pelaku industri mikir2 kali ya mau buat yg ok….akhirnya jd lah yg klise2 itu dan anehnya…laris manisssss….aku juga kesel liat artis kita yg umur 30-an msh gagah n cantik, kok perannya jd orng tua bhkan akan punya cucu….weleh2….msh bnyk yg usia 40-an ke atas yg lbh cocok lho….