Jika pernah mengkaji Law of Attraction, Anda pasti tahu betapa berbahayanya perasaan negatif yang Anda punyai. Contohnya sinisme, pesimisme, sedih, marah, dsb. Mengapa bahaya? Perasaan atau pikiran negatif tersebut akan menarik peristiwa-peristiwa negatif lainnya untuk menghampiri kita. Begitulah karakteristik semesta menurut Hukum Ketertarikan ini. Uang menarik uang (yang lebih banyak). Teman menarik teman (yang lebih banyak). Ide cerdas menarik ide cerdas (lainnya).
Begitu pula sebaliknya, hal negatif akan menarik hal negatif lainnya. Karena itu, tokoh-tokoh Hukum Ketertarikan semacam Rhonda Byrne, Michael J. Losier, Bob Proctor, dkk. menyarankan kita untuk sebisa mungkin tidak pernah memelihara perasaan negatif. Andaipun kita memiliki perasaan-perasaan semacam itu, cepatlah sadar, dan segera ubah menjadi positif.
Konsepnya semudah itu. Namun karena banyak hal di dunia ini yang bisa membuat kita menjadi negatif, perkara ubah-mengubah ini tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Beberapa tokoh Law Attraction menyebutkan bahwa salah satu metode untuk membalikkan perasaan negatif menjadi positif adalah dengan menonton film.
Anda pasti pernah menonton film atas dasar mood. Misalnya Anda pilih Kung Fu Panda karena ingin terbahak-bahak. Atau lantaran sedang ingin melampiaskan rasa sedih, Anda menonton Il Mare. Bisa juga di saat loyo dan pesimis, Anda memilih menonton Laskar Pelangi. Barangkali itu tindakan spontanitas saja, tapi seperti itulah pondasi terapi sinema yang sedang kita bicarakan ini.
Menurut Gary Solomon, Ph.D, terapi sinema merupakan metode penggunaan film untuk memberi efek positif pada pasien. Profesor psikologi di Community College of Southern Nevada ini menambahkan, masalah yang bisa diterapi adalah motivasi, hubungan, depresi, dsb. Tapi tidak termasuk gangguan kejiwaan yang akut.
Bagaimana nalar terapi ini?
Ketika menonton film, kita merasa mengalami sendiri apa yang dirasakan tokoh-tokoh dalam cerita. Melalui simbol-simbol yang biasanya bertebaran di sana, alam bawah sadar lalu mencoba berkomunikasi dengan alam sadar. Jembatannya adalah imajinasi.
Setelah film selesai diputar, solusi-solusi dalam film (yang disampaikan melalui tokoh) pun terasa mengurangi depresi pasien. Sebab, inspirasi positif timbul seiring dengan terkoneknya materi bawah sadar dan alam sadarnya.
Meskipun film yang digunakan untuk media terapi sebenarnya tidak memecahkan masalah kita secara langsung, paling tidak sebuah film membantu kita memahami masalah yang sebelumnya tidak kita sadari. Film dari sisi yang tak terduga mampu memecahkan masalah yang kelihatannya sudah mentok, yang mungkin selama ini memengaruhi cara pandang dan hidup kita.
Terapi sinema yang sesungguhnya tidak bisa dilakukan sendiri, perlu psikiatris. Film yang ditonton tidak cuma satu. Durasi terapi pun bisa sampai enam minggu.
Namun kita sebenarnya bisa menerapi diri sendiri, dalam konteks yang lebih sederhana, untuk melenyapkan negativitas yang berlarut-larut. Ingat, negativitas hanya akan menarik negativitas yang lain, dan pada gilirannya membuat kita berkubang dalam lingkaran negatif. Lekas keluarlah dari kubangan itu!
Pilih film yang sesuai mood saat ini. Caranya mudah, tanya saja pada teman yang sudah menonton film bagus, baca resensi di media, atau setidaknya baca sinopsisnya. Kalau tokoh utama di dalam film tersebut mengalami kejadian seperti yang Anda alami, itulah film yang Anda cari!
Supaya terapi berjalan efektif, temukan tempat sepi. Rekomendasi saya, sewalah DVD dan tontonlah di kamar yang tertutup. Pergi ke bioskop? Bolehlah. Tapi jangan lupa, di bioskop kita tidak bisa mengulang-ulang adegan favorit kita. Dan biasanya di bangku teater kita hanya bebas tergelak-gelak.
Untuk ikut mewek sewaktu mendalami nasib tokohnya? Tidak bisa sembarangan. Terutama bila Anda laki-laki konvensional yang pantang cucurkan air mata (seperti saya, hehehe). Namun jika air mata kadung tak terbendung (beberapa film memang kuat sekali dramanya), ya tidak papa juga.
Toh mengeluarkan emosi adalah bagian dari terapi ini. Hitung-hitung juga membersihkan mata dari debu. Cuma, pastikan jejak air mata itu sudah kering sewaktu lampu teater yang semburat kuning itu dinyalakan kembali.
Kemudian, pastikan apa yang disarankan Birgit Woltz, Ph.D ini juga bisa dijalankan, seandainya Anda memilih bioskop sebagai tempat terapi:
- Cari posisi nyaman dan perhatikan tubuh serta napas Anda. Lepaskan seluruh beban.
- Setelah pernapasan teratur, bayangkan situasi yang Anda hadapi tanpa berpikir apa-apa. Tugas Anda hanya membayangkannya.
- Rileks. Lalu mulailah menonton. Perhatikan secara santai kedua cerita (cerita di film dan cerita Anda).
Biarkan respon-respon spontan Anda keluar selama proses menonton. Mudah kan? Nah, selamat mencoba. Selamat menjadi positif dalam hitungan jam! Tapi sekali lagi, pastikan dulu film itu memang bermutu dan nasib tokoh utamanya mirip dengan Anda. Jangan sinetron.
Bram, kalo dipikir-pikir, sebenarnya sudah lama saya menjalankan terapi ini. Misalnya di saat patah hati, bersedih, bosan, ngambek, de el el. Tapi tidak tahu sedetil ini prosesnya. Sekarang setelah baca tulisan ini saya tahu.
Saya biasanya pakai film-film komedi. Film-filmnya Jim Carey. Tapi akhir-akhir ini Jim Carey film-filmnya serius ya? Hu’uh.
Yang mau saya tanyakan, Bram, kenapa kamu bilang sinetron jangan?
Cheers
Aleena
Thx, Aleena. Aku nggak begitu mengikuti film2 Jim Carrey, jd nggak tahu :P. Tp kalau dulu memang dia full mbanyol (Ace of Ventura, Me Myself and Irene, bahkan di Batman & Robin kalau nggak salah).
Hahaha, kenapa terapi ini nggak cocok dg sinetron. Pertama, sinetron itu berseri. Kedua, isi sinetron jarang sekali yg bermutu. Kamu pasti sedang pura2 nggak tahu ya? 🙂
Saya Ryanto, pegawai BEI. Akhir-akhir ini saya baru saja membaca buku ‘Law Of Atraction’ karangan Rhonda Bryne. Saya terus terang terkejut dengan teori-teorinya yang menurut saya ‘to good to be true’, lalu saya coba cari pro-kontra nya diinternet. Lalu saya menemukan weblog ini.
Kalau boleh, saya ingin bertanya sekalian, Pak Bram Anda percaya hukum Law Of Attraction? Mengapa? Dimana logikanya? Tolong saya dijelaskan karena meskipun kadang-kadang saya juga mengalami contoh-contoh di buku itu, saya terus terang skeptis,
Sebelumnya, terima kasih. Weblognya bagus.
Terima kasih, Pak Ryanto. Sebetulnya tulisan saya di atas bukan ttg LoA (Law of Attraction), melainkan ttg Terapi Sinema :P. Tp nggak papa deh. Saya tertarik jg menyampaikan opini. Btw, kok baru baca sekarang, Pak? Buku ini kan happeningnya sudah sejak 2 th lalu. Hehehe ….
Awalnya saya jg ragu dg Hukum Ketertarikan, krn saya ini otak kiri bgt. Segalanya dinilai dari logika. Spt Anda, kayaknya. Anda mungkin lbh banyak perlu otak kiri (analisis), misalnya, utk memutuskan sell atau buy saham atau valas (hehehe, saya jg pernah main di situ, Pak). Ditambah lg, saya sendiri blm pernah mengalami kejadian besar yg mewujud dari gambaran positif di otak saya, sebagaimana disarankan buku2 LoA. Kalau kejadian2 remeh (yg mendukung hukum ini) sih sering.
Tp yg bikin saya antusias adalah: Pertama, LoA sesuai dg semangat Wufi utk menghindari buang2 waktu mengkritik karya seni orang lain. Saya nggak bilang mengkritik itu buruk. Tp bukankah ktk mengkritik karya orang lain, kita hanya akan terjebak dalam kubangan negativitas!
Beberapa minggu silam, saya menonton acara motivasinya Mario Teguh di MetroTV. Kurang-lbh Pak Mario berpesan, “Jangan menekuni profesi yg berbasiskan kritikus.” Krn hidup kita nantinya akan tercurah untuk terus mencari2 kesalahan orang lain. “Alih2 begitu, jadikan hidup kita utk membesarkan orang lain,” imbuhnya.
Entah Pak Mario pendukung LoA atau bukan, saya menangkap kata2nya sbg perpanjangan tangan dari hukum tersebut. Intinya, mari buat lingkungan kita dipenuhi dg hawa positif.
Tak ada polisi atau KPK di ranah seni. Karya buruk bukanlah kriminal (kecuali isi karya tsb memang nyata2 mengajak pembaca/penonton melakukan tindakan kriminal/asusila). Jd, apakah Anda jengkel menonton/membaca karya buruk? Santai aja, lg. Nggak usah dibahas. Nggak usah ditulis. Salah2 malah jd populer tuh karya. “Pesan2 yg negatif tdk bermanfaat bg Anda,” tegas Rhonda Byrne dlm The Secret (halaman 163).
Alasan kedua kenapa saya mendukung LoA adalah krn ajarannya sesuai dg agama. Coba baca ulang The Secret (buku yg baru Anda baca judulnya itu, bukan?). Sekarang ganti semua kata “semesta” dg “Tuhan”. Anda akan mendapati betapa LoA ternyata khutbah agama yg biasa keluar-masuk telinga kita ^_^.
Brp lama kita diingatkan kalimat ini: “Tuhan di atas prasangka manusia.” Kalau manusia berprasangka Tuhan kejam, mk Tuhan semacam itulah yg dia rasakan sehari2. Sebaliknya, bl kita berprasangka Tuhan itu baik, mk sifat Tuhan itulah yg akan kita jumpai dlm keseharian.
Dlm Islam jg ada perintah utk mensyukuri nikmat. Jika kita bersyukur, nikmat itu akan ditambah (hal positif menarik hal2 positif lainnya). Sedangkan kalau kita mengingkari nikmat itu, maka celakalah kita (bahasa Alqurannya: “Sesungguhnya azab-Ku amat pedih.”). Dg kata lain, perasaan negatif (menyangkal nikmat) akan mendatangkan negativitas lainnya (azab).
LoA satu semangat dg agama (yg saya tahu): Kita dianjurkan selalu berterima kasih dan berprasangka baik thd apa yg kita alami. Teknik visualisasi yg disarankan tokoh2 LoA itu pun bisa dipandang sbg doa nonverbal kan.
Lalu Anda tanya, dimana logikanya? Wah, kalau urusannya iman, susah melogiskannya. Segala hal berbau logika akan runtuh di depan sesuatu yang berbau Tuhan. Krn Dia yg menciptakan logika, shg Dia enak saja memilih menggunakan logika atau justru bertindak tidak logis (di luar nalar manusia).
Jd kalau Anda memaksa mencari logikanya, ya saya nggak punya cara lain kecuali menunjukkan ayat2 Alquran ttg syukur, optimisme dlm berdoa, dan prasangka baik thd Tuhan. ^_^
good job !!