PEHASOMI: Mantra untuk Mengubah Artikel Wisata Menjadi Novel

Anda pecinta traveling? Hobi menulis fiksi? Punya stamina untuk menulis setidaknya 75 halaman? Jika ketiganya Anda jawab dengan “ya”, berarti Anda punya segalanya untuk menulis novel. Apapun genre-nya!

Banyak orang menulis perjalanannya dengan hasil akhir berupa artikel wisata yang kemudian dikirim ke media atau dipublikasikan di blog. Tidak ada yang salah dengan itu. Namun, selalu ada alternatif pengembangan lain untuk memaksimalkan pendapatan Anda sebagai penulis.

Bagaimana Mengubah Catatan Wisata Menjadi Novel

Anda bisa mengolah catatan perjalanan itu menjadi memoar (kalau memang memenuhi syarat) atau novel.

Inilah yang saya lakukan sewaktu mengarang Rahasia Sunyi. Sekadar informasi, novel ini berlatar belakang Kerinci, Provinsi Jambi.

Saya sendiri orang Surabaya yang kebetulan sempat berlibur ke tempat yang indah itu. Tapi, beberapa pembaca saya mereviu kurang-lebih demikian, “Atmosfer Kerinci di Rahasia Sunyi dapet banget! Pasti lama nih risetnya.”

Hehehe. Berapa lama menurut Anda riset lapangan cerita novel ini? Sebulan? Dua bulan? Enam bulan?”

Tiga hari! 🙂

Ya, saya riset lapangan Rahasia Sunyi hanya selama tiga hari, sebelum ia menjadi novel setebal 362 halaman dan diterbitkan GagasMedia. Bagaimana mungkin? Ini karena saya saya punya mantra sakti: PEHASOMI.

PEHASOMI: Membuat Novel Berdasarkan Perjalanan Wisata

Dengan mantra ini, saya bisa mengubah perjalanan wisata biasa menjadi sebuah novel. Mari kita tengok filosofi di balik mantra ini…

(P) Preview

Jangan pernah datang ke lokasi tanpa rencana. Cari tahu dulu sedetail mungkin tentang tempat yang digadang-gadang sebagai setting novel Anda. Berangkatlah hanya setelah alur dan kerangka rampung. Jadi, Anda datang dalam misi pembuktian dan pengembangan cerita, bukan lagi misi pencarian ide atau eksplorasi.

Dengan demikian, tidak hanya waktu yang Anda hemat, melainkan juga uang. Lantaran lebih terfokus, misi pembuktian biasanya lebih murah dan cepat daripada misi eksplorasi.

(E) Evoke

Sesampainya di lokasi, perhatikan suasana sekitar dengan pancaindra. Ingatlah hal-hal yang unik. Kalau mau lebih terdokumentasi, catat atau rekam saja.

Apa saja yang perlu diingat atau direkam? Tentu saja yang berhubungan dengan alur cerita dan deskripsi suasana di dalamnya. Itulah pentingnya menyelesaikan dulu kerangka novel sebelum berangkat ke medan riset.

(H) Hang out

Di sana, jangan hanya asyik dengan laptop, potret-potret, atau utak-atik gawai. Berinteraksilah dengan penduduk setempat untuk menyerap bagaimana mereka berdialog, bercanda, memecahkan persoalan, marah, bersedih, dan sebagainya.

Ini akan berguna untuk mengarang dialog, membangun konflik, serta karakterisasi tokoh-tokoh Anda.

(A) Archive

Arsipkan benda-benda yang ada hubungannya dengan perjalanan. Misalnya tiket pesawat, karcis bus, koran lokal, sandal pemberian penduduk, dan sebagainya.

Saya sudah berkali-kali membuktikan, sebuah benda remeh pun dapat memantik kenangan kuat terhadap sebuah tempat.

Sebenarnya, ada yang lebih kuat sebenarnya, yaitu bau. Namun, agak psiko kalau Anda suka dengan aroma seseorang, kemudian minta parfumnya dibawa pulang buat kenang-kenangan, bukan?

(S) Soon

Tulislah sesegera mungkin sepulang dari perjalanan Anda, atau bahkan ketika Anda masih sedang berwisata.

Makin lama menunda, makin banyak Anda kehilangan detail, terutama kesan terhadap tempat itu dan warganya. Padahal, kesan itulah bahan bakar yang berkualitas untuk menyalakan cerita novel Anda. Sayang sekali kalau dibiarkan menguap seiring berjalannya waktu, bukan?

(O) Online research

Jika sewaktu-waktu memerlukan data atau statistik untuk menyempurnakan cerita, Anda selalu bisa browsing lagi.

Jangan menginvestigasi sesuatu yang “tidak perlu” di lapangan. Misalnya, tentang jumlah penduduk Sungaipenuh, luas Danau Kembar, sejarah pemberian nama Kerinci, luas hutannya, dan sebagainya.

Jika Anda jauh-jauh terbang hanya untuk mencari tahu hal-hal semacam itu, rasanya Anda perlu saya kenalkan dengan Mbah Google dan Mas Bro Wikipedia.

(M) Maximize-minimize

Apa yang menurut Anda menarik, perbesarlah. Dan apa yang tidak berguna bagi pengembangan alur, meski unik, hapus saja, atau tulislah sedikit saja.

Misalnya, di Kota Padang, saya mengobrol dengan seseorang yang bersikeras kepemimpinan nasional orang Minang pasti lebih baik dari orang Jawa. Orang fanatik seperti ini di mana-mana ada, bahkan di negara maju. Meski saya yakin segelintir saja.

Bagaimanapun, menurut saya hal tersebut menarik, jadi saya besar-besarkan keunikan itu dalam karakter tokoh Zainal Fahraja (Om Inal).

(I) Imagination

Gunakan imajinasi untuk merajut cerita novel. Padukan fantasi dengan fakta dan data yang barusan Anda peroleh. Ini agar cerita terlihat riil dan konkret di alam pikiran pembaca, tetapi tetap menghibur dan luwes.

Perjumpaan tokoh Lautan Angkasawan dengan uhang pandak (kera penghuni hutan Kerinci yang ditengarai lebih cerdas dari orangutan atau simpanse) dalam Rahasia Sunyi adalah contoh dari peleburan fakta dan imajinasi itu.

Demikianlah mantra PEHASOMI tersebut seharusnya dirapal.

Mantra ini begitu mujarab untuk saya dalam kaitannya dengan proses kreatif. Anda bisa mencobanya. Kalau berhasil juga buat Anda, pasti menyenangkan memperbanyak rekreasi sambil tetap produktif menghasilkan novel, bukan?

BAGIKAN HALAMAN INI DI

8 thoughts on “PEHASOMI: Mantra untuk Mengubah Artikel Wisata Menjadi Novel”

  1. ” Pasti menyenangkan memperbanyak rekreasi sambil tetap produktif menghasilkan novel….”

    emang, sich. Tapi kalo sering rekreasi itu duitnya itu lo darimana… :))))

    Reply
  2. @Achat: ya ga perlu sering – sering rekreasi juga kalo ga punya duit. Tapi…. begitu ada kesempatan berekreasi, terutama yang tempatnya beda, yang unik, kamu bisa manfaatin buat jadi novel. Begitu, kan, Bram maksudnya?

    @Bram: kok pake “kapan-kapan”?? Ga seru ah! 😀

    Reply

Leave a Comment

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Don't do that, please!