Look at the books in a bookstore or library shelves sometimes make us confusing. All seem more interesting than others. Unless you hold a book list since the beginning, how do you choose the book spontaneously?
The commonly done is by observing the cover. Forget the wise words “don’t judge a book by its cover”. The fact is, attracted cover always make one pull it out from the shelf.
Then, advance to the title. A title is an entrance. However, do not be fooled by provocative, bombastic title, because that has been old marketing trick made by publisher or author. Just go to the back cover. Sometimes there are synopses and endorsement. At least, from there you can figure out the quality of book you are holding on.
If the book is not sealed, check the list of contents. And read the first chapter. It is safe to read a book you already know the author, either it because you have read his/her previous works, or you’ve ever got a recommendation. Knowing the publisher reputation is also useful, although it may be deceptive.
And finally, trust your feeling about that book.
* * *
Melihat buku-buku di rak toko buku atau perpustakaan kadang membuat pusing. Semua terasa lebih menarik dari yang lain. Akibatnya, justru mood untuk membaca atau membeli jadi surut. Bagaimana cara menyeleksinya, terutama bila sejak awal Anda tidak membawa daftar “belanjaan”?
Gampang. Hal yang lazim dilakukan adalah memperhatikan sampulnya. Berpura-puralah lupa dengan kata-kata bijak, “Jangan menilai buku dari sampulnya.” Faktanya, sampul yang menarik lebih menggoda orang untuk menariknya dari rak. Sampul buku sendiri memiliki banyak informasi. Di sana Anda melihat judul, penerbit, pengarang, dan sebagainya.
Judul ibaratnya pintu masuk menuju sebuah karya. Sebuah judul memiliki aura yang berbeda pada tiap orang yang melihatnya. Tapi, jangan terkecoh dengan judul yang provokatif, karena itu trik marketing kuno dari penerbit atau pengarang.
Segera lanjutkan saja dengan menengok sampul belakang. Terkadang di sana terdapat sinopsis buku, juga komentar pakar-pakar yang telah membacanya (endorsement). Paling tidak, dari sana Anda dapat meraba-raba kualitas isi buku yang Anda pegang.
Jika buku itu tidak disegel, telitilah daftar isinya. Dan bacalah bab pertamanya. Namun kalau buku itu disegel, ya nasib Anda.
Sangatlah aman untuk membaca buku yang sudah Anda kenal pengarangnya. Bisa jadi karena Anda telah membaca karya-karya dari pengarang tersebut sebelumnya. Bisa juga lantaran Anda pernah mendapat rekomendasi, baik dari media, internet (misalnya dari GoodRead), atau orang yang Anda percayai.
Pengetahuan tentang siapa yang menerbitkan buku kiranya juga bermanfaat, walaupun boleh jadi sangat menipu. Penerbit besar bukan berarti menerbitkan karya-karya besar, malah biasanya standar bakunya adalah karya-karya yang laku di pasaran.
Mulailah memetakan penerbit, mana yang memiliki idealisme untuk menerbitkan buku-buku bermutu, mana yang asal kejar target kuantitas penerbitan.
Tapi semua tergantung selera. Untuk ranah fiksi, beberapa anak muda suka membaca novel teenlit, dan wanita metropolis suka membaca novel chicklit, dan anak-anak suka dengan kidlit.
Saya suatu hari pernah menonton diskusi di TvOne yang menghadirkan Helvy Tiana Rosa, Moammar Emka, dan Andrea Hirata. Meskipun Helvy berpanji Forum Lingkar Pena (yang mengusung sastra islami) dan Moammar Emka (tahu sendiri kan dia mengusung sastra yang bagaimana), diskusi itu berlangsung rukun.
Justru saat tiba di pembahasan tentang teenlit/chicklit ada sedikit gesekan. Andrea berpendapat sastra bergenre ini harus segera dialihkan ke sastra yang sebenarnya. Menulis teenlit itu hanya transisi seorang penulis menuju sastra yang dalam, yang menginspirasi.
Helvy tidak sependapat. Tidak harus seorang penulis teenlit bertransformasi ke penulis berat, bantahnya.
Saya lupa bagaimana kalimat-kalimat detail mereka. Namun seingat saya argumen kedua pihak sama-sama beralasan. Dan saya melihat masing-masing pihak terbawa oleh latar belakang mereka.
Andrea mengatakan seperti itu karena karya-karyanya memang seperti itu. Helvy membela teenlit karena dia sendiri dulu juga penulis teenlit, bahkan adiknya (Asma Nadia) sampai sekarang pun tetap memutuskan berada di jalur sastra remaja.
Sementara itu, Moammar Emka bersikeras karya-karyanya adalah sebuah pencerahan, “Biar pembaca melek, dunia kita itu sudah sebobrok ini lho.”
Bagaimanapun, mereka sepakat, pembagian genre sejatinya bukanlah suatu pembagian kelas atau kasta dalam bacaan. Tapi lebih ke arah segmentasi pembaca, baik dari segi usia, intelektual, atau hanya sekadar dorongan mood.
Nah, mari kembali ke rak. Hal paling mendasar yang harus diperhatikan sebelum membeli buku atau sekadar meminjam di perpustakaan adalah jenis buku apa yang sering Anda nikmati sebelumnya. Percayakan pada feeling Anda.
“No comments yet – be the first”
Begitu kata petunjuk diatas. Ya udah, aku ikuti 😀
Betul ulasan diatas.
Apalagi kalo judulnya “Manusia ber-budget terbatas” (ya,saya?)
Harus bener-bener pandai meminjam,eh, memilih buku (untuk dibeli).
Ato, pande bersabar nunggu bazaar buku yang setaon cuma berapa kali. (apalagi dikota mungil)
Ato, pande membaca cepat, karena sewa buku perhari mahal juga.
Ato, pande menulis buku,biar bisa beli buku….
Nb (nambah): Oya, masalah segel buku.
Ini juga harus diwaspadai “manusia ber-budget rendah” (kok saya, dipanggil terus).
Sering muter toko buku yang sama 7x buat baca sinopsis kover belakang 7x , dan akhirnya memutuskan beli. Sampe rumah, segel dibuka, hasil tidak sesuai harapan.
Harusnya toko buku menyediakan satu buku buat sampel, ya.
Tapi kalo itu toko buku diskon sepanjang jaman, ya mau tidak mau harus diampuni.
Iya, suka bingung ngeliat banyak buku di toko buku. Mesti selektif kalau ga mau kecewa. Akhirnya aku mengandalkan resensi dan rekomendasi teman. Tapi tetap susah bikin skala prioritas. Niat hemat belanja buku biasanya langsung amblas setiap ketemu buku yang udah lama dicari atau ketemu obral buku, yang ini betulan menggoda: Periplus Bandung hampir selalu bikin stand setiap universitasku mengadakan book fair, dan mereka selalu mengobral terjemahan novel jepang dalam bahasa inggris dengan harga 5000 perak! Buku menumpuk, sementara nafsu belanja buku tetap tinggi. Terpaksa ada beberapa buku yang belum juga terbaca.
Trims Pradna dan Andika. Iya, kalau saya baca The Jakarta Post tentang pengalaman orang di Amerika, iri juga. Di sana hampir semua buku yang dipajang untuk dijual tidak bersegel. Orang baca sampai kakinya lumpuh juga tidak diusir satpam. Bahkan disediakan tempat duduk nyaman dan boleh pesan makanan-minuman (tapi tidak wajib) pas baca buku. Di sini? Peliiiiit. Maka malanglah manusia-manusia berbujet rendah itu. Hehehehe….
Saya punya solusi untuk buku-buku yang belum terbaca itu, Andika. Sumbangkan saja ke Wufi, hehehe. Kan kami mau bikin taman baca. Bagaimana, bagaimana? (muka ngarep :P)
Periplus Bandung nyaris selalu menjual novel jepang seharga 5 rb, menunjukkan bahwa sastra Jepang amat sangat tidak diminati oleh orang Indonesia, atau mungkin orang Jepang sendiri. Saya pernah membaca Woman in the Dunes (soalnya kontroversial), dan memang, agak sulit mendapat kesan “Jepang” karena sudah diterjemahkan ke inggris.
Mengenai pembagian genre, menurut saya itu bukan hal yang buruk, sastra kek, teenlit kek, sastra islami kek, pada dasarnya cuma mau merebut market. Memangnya Sastra itu apa sih? Apa syarat-syarat suatu karya bisa dikategorikan sastra? Kalau plotnya tidak ribet, tidak kompleks, kepribadian karakternya tidak twisted dengan bumbu dilema abcd, dan memakai bahasa kurang resmi apakah lantas adil kalau mereka dianggap tidak memiliki estetika sastra?
Perdebatan mengenai Sastra vs Poplit sudah seperti lingkaran setan yang tidak ada ujungnya.
Menurut saya pribadi, tidak ada jeleknya seseorang membuat tulisan poplit selama itu tidak berputar2 di penggunan ke-klise-an yang sama. Yang membuat saya kesal pada genre poplit bukanlah penggunaan bahasa tidak serius, “bahasa gaul”, tapi penggunaan plot yang sudah terlalu tertebak dari awal cerita. Buku-buku seperti itu tidak akan mendapat tempat di hati pembaca, dan yah… menurut saya, akan lebih baik bila para penulis poplit melakukan eksperimen dengan menggunakan plot-plot yang tidak melulu klise.
Ngomong-ngomong, harga buku sekarang mahal sekali, saya lebih memilih minjem daripada beli, soalnya saya jarang baca buku dua kali. Hanya buku yang paling bagus yang akan masuk ke rak buku saya 🙂
Trims komentarnya, mas Calvin. Hmm.. aneh juga. Kenapa film dan komik Jepang di Indonesia laris manis, tapi novelnya kok tidak ya? Bahkan di Surabaya jarang sekali saya melihat novel Jepang. Menarik untuk diteliti.
Yang saya takutkan, justru poplit itu menyandang stereotip (negatif) seperti yang mas Calvin bilang. Tidak sekedar bahasanya. Temanya seringnya juga ringan, tekniknya klise, alurnya gampang tertebak, dsb. Saya tahu, saya tidak boleh menggeneralisasi. Ini seperti sinetron yang sudah divonis “tak ada manfaatnya” di sana-sini, padahal ada juga sinetron yang bagus. Stereotip yang overgeneralized, tapi mungkin akurasinya 90%. Di sinilah, barangkali, orang-orang sastra (yang hidup dan kebanggaan hidupnya dari sastra) merasa terlecehkan.
Saya jadi ingat film Man on The Moon. Based on true story. Di sana ada tokoh gulat hiburan di Vegas, semacam Smack Down. Dia serius membangun olahraga hiburan itu dengan berlatih teknik-teknik baru setiap hari. Tiba-tiba, tokoh yang diperankan Jim Carrey datang ke industri tersebut. Dia bergulat, tapi nyeleneh, karena dia menantang wanita-wanita untuk mengalahkannya di ring. Orang terhibur. Si pegulat sejati pun berang dan menantang Jim Carrey duel di atas ring. Alasannya, si pegulat merasa terlecehkan olahraga yang dibanggainya dirusak oleh outsider awam yang cuma cari sensasi, meski menghibur juga pertunjukan-pertunjukan nyeleneh Jim Carrey. Nah, mungkin, kondisi psikologi para sastrawan yang keberatan poplit disebut sastra persis seperti kondisi psikologi si pegulat profesional di film itu. Mungkin.
Soal penggunaan bahasa gaul, saya ingin membiarkan saja atas nama kebebasan berekspresi. Tapi jika tren ini terus berlanjut marak (novel, film, sinetron, dan dialog-dialog iklan berbahasa gaul), bagaimana kelak kabar Bahasa Indonesia yang susah payah dideklarasikan 28 Oktober 1928 oleh para PEMUDA? Lingua franca ini akan tinggal kenangan. Hanya segelintir orang yang menekuninya; Para sastrawan gaek, penulis skenario generasi lama, dan wartawan tua.
Saya tidak tega. Anda?
Ada pepatah bilang ‘jangan menilai buku dari sampulnya’. Tapi kalau bukunya sendiri disegel, mau nggak mau kita menilai buku dari sampulnya. Saya biasanya membeli buku setelah membaca resensinya di media, atau mengetahui terlebih dahulu siapa pengarangnya. Soal penerbit, saya tidak peduli, karena penerbit yang sudah punya reputasi pun tidak menjamin bisa memasarkan karya-karya yang bagus. Tips lain yang bisa saya kasih dalam memilih buku, coba datang ke acara diskusi atau peluncuran buku. Selain kita bisa tahu isi buku tersebut menarik (bagus) atau tidak, kita juga bisa dapat tanda tangan penulisnya. ?
Poplit vs sastra? Tergantung selera pasar juga. Kalau banyak yang suka baca poplit, banyak juga yang nulis poplit. Yang baca sastra cuma orang-orang tertentu kayak sastrawan, praktisi pendidikan, jurnalis. Kita nggak bisa maksa orang-orang buat suka sastra kalau mereka lebih nyaman membaca poplit. Lagipula, bukankah ini yang dinamakan kebebasan berekspresi?
Jujur saya terganggu dengan kehadiran poplit, dengan pertimbangan alurnya yang mudah ditebak, bahasanya yang terlalu sehari-hari. Tapi saya berharap apa yang dikatakan Helvy Tiana Rosa dalam acara talk show di TvOne itu benar, bahwa teenlit adalah transisi seorang penulis menuju sastra yang sebenarnya, yang dalam, yang menginspirasi. Anggap saja penulis poplit?atau apapun namanya itu? masih belajar menulis fiksi, seperti anak kelas satu SD yang baru belajar menulis. Nah, menjadi tugas para penulis sastra untuk mengarahkan mereka ke “jalan yang benar”.
Trims, Rie. Datang ke diskusi buku boleh juga. Sayangnya tidak setiap buku ada diskusinya, bahkan jarang sekali acara ini diadakan. Diadakan pun kemungkinan besar itu bukan buku (dari genre) favorit kita.
Eh, yang bilang teenlit itu transisi bukan HTR, melainkan Andrea Hirata. Hm, jadi kamu lebih setuju pada Andrea? Ya, ya ya. Kalau saya…. Saya pilih yang tengah-tengah deh. Hehe… (tapi maksud saya bukan Moammar Emka lho).
Oya, maap salah. Hehehe. Maap ya, Bang Andrea (btw Andrea Hirata pernah mampir di wufi ga?). Thanx Brahm.
kalau ada novel yang kita beli terus membuat kita engga beli novel lagi gimana. saya beli history of lovenya nicole krauss. menurut saya itu novel bagus banget. saya puas seratus persen. bulan berikutnya saya niat cari novel lain. trus koq ya novel novel lainnya itu koq terasa – idih rugi banget gw buang duit untuk novel kaya gini-, history of love buat saya kecanduan berat. saya baca berulang ulang sampai novelnya lecek. karena saya merasa gak mungkin ada novel sebagus itu.
sekarang saya bacanya atau belinya buku kum cer ajalah.
pernah ga ada yang seperti saya, merasa terikat pada satu novel trus jadi sinis sama novel yang lain.
kalau ada yang sama seperti saya, bolehlah kasih tau sama saya.
Yah, itu memang resikonya, Mbak Inda. Kalau begitu kasusnya, lebih baik pinjam di perpustakaan. Tapi yang seperti ini, jangan mengharap buku-buku baru.
salam kenal gan…
salam persohiblogkan
pri crimbun´s last blog post ..weight loss fast