Tahukah Anda, kenangan-kenangan seseorang akan masa lalunya dapat dimanfaatkan untuk strategi nostalgia marketing. Misalnya, kondisi pandemi yang entah kapan berakhir ini. Mau tak mau, di masa seperti ini, orang akan bernostalgia ke masa-masa sebelum virus korona datang. Mereka bisa saja membayangkan, betapa enaknya mereka berkumpul-kumpul, berjalan-jalan, atau melakukan kegiatan apapun saat itu.
Mengenang keindahan masa lalu, itulah inti dari kegiatan bernostalgia. Semua orang pasti pernah melakukannya. Apalagi, semua yang terdeteksi oleh pancaindra kita sebenarnya berpotensi memicu nostalgia. Mulai dari rasa mi di rumah makan yang sudah lama tutup, aroma parfum mantan kekasih, pijatan nenek, foto almarhum sahabat, lagu asyilk di masa mahasiswa.
Semua itu dapat membangkitkan nostalgia. Nah, itulah celah bagi produsen tertentu untuk masuk dan mulai berjualan produk-produknya.
Pengertian Nostalgia
Sederhananya, nostalgia adalah kerinduan atau kenangan terhadap sesuatu yang sudah tidak ada atau tidak terjadi lagi. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi terbaru, mendefinisikan nostalgia (kata benda) sebagai:
- kerinduan (kadang-kadang berlebihan) pada sesuatu yang sangat jauh letaknya atau yang sudah tidak ada sekarang.
- kenangan manis pada masa yang telah lama silam
Namun bila kita mau menguliknya secara lebih historis, kata “nostalgia” berasal dari bahasa latin, yaitu nostos (pulang) dan algos (kesusahan). Inilah momen-momen susah karena kita ingin kembali ke suatu tempat atau masa.
Mengapa harus momen susah?
Dulu, nostalgia memang dianggap sebagai sesuatu yang negatif. Orang yang melakukannya dianggap memiliki penyakit kejiwaan. Baru di riset-riset modern, kita mulai melihat sisi-sisi positif nostalgia. Antara lain, nostalgia dianggap dapat meningkatkan mood, rasa percaya diri, kemampuan berempati, hubungan sosial, dan sebagainya.
Ketika kita merawat orang tua yang sakit-sakitan, umpamanya, nostalgia membantu kita untuk bersabar dan berempati. Lalu, ketika kita stres akibat karantina COVID-19 yang berkepanjangan, kenangan-kenangan nostalgia juga membuat kita tetap bersemangat dan bertahan.
Strategi Nostalgia Marketing
Bagaimanapun, lantaran lebih bersifat emosional ketimbang rasional, nostalgia terkadang berlebihan. Bahkan cenderung menyesatkan. Contohnya, bisa jadi Anda bernostalgia tentang masa kecil dulu dan merasa bahwa….
- Film zaman dulu lebih bagus dari film sekarang. Pertanyaannya, benarkah Anda masih menggemari tontonan zaman itu? Yakin tidak akan menguap kebosanan saat menonton film, serial, atau animasi dari beberapa dasawarsa silam? Silakan buktikan. Cari tayangan-tayangan terbaik di masa kecil Anda di YouTube, lalu tonton. Kalau Anda betah menontonnya sampai habis setiap episodenya, hebat!
- Internet zaman dulu lebih nyaman, tidak ada hoaks atau warganet barbar. Benarkah Anda mau berselancar di dunia maya dengan kecepatan akses selambat itu? Atau internetan di warnet yang berisik oleh makian anak-anak yang bermain gim daring, ruangannya sesak oleh bau keringat dan asap rokok, dengan komputer bervirus, CPU yang kadang menyetrum, dan kibor cacat akibat sering dipukul oleh pengguna yang terbawa emosi main gim? Kemudian, zaman itu tidak ada hoaks? Hoaks berserakan di mana-mana! Hanya, belum banyak yang mempersoalkan waktu itu.
- Kehidupan berbangsa dan bernegara jauh lebih baik saat itu. Birokrasi berbelit-belit, pungli terang-terangan, calo di mana-mana, transportasi publik semrawut, perploncoan masih dilegalkan di kampus-kampus, pelecehan perempuan dianggap wajar, pertandingan sepak bola sering berakhir ricuh (kecuali bila tim tuan rumah yang menang). Lebih baik dari sisi mananya?
Begitulah nostalgia. Terkadang, memang menimbulkan perasaan yang bias dan menyesatkan. Sebab, alih-alih berbasis data dan fakta, nostalgia seringnya hanya berlandaskan perasaan yang sangat subjektif.
Oleh karena itu, orang-orang pemasaran selalu tergoda untuk memanfaatkan nostalgia dari pasarnya. Bahkan tidak segan-segan mengeksploitasinya, bila memungkinkan.
Dengan strategi nostalgia marketing, mereka menjual produk-produk berbau nostalgia, atau sekadar memanfaatkan nostalgia dalam konteks strategi content marketing, untuk menjual produk utamanya.
Contoh konkret penerapan nostalgia marketing dapat kita lihat di kanal-kanal YouTube, fanpage Facebook, acara televisi, radio, juga berbagai platform lain yang mengulik-ulik nostalgia dengan konsep “Indonesia Tempo Doeloe”, “Tembang Kenangan”, “Anak ‘80-an”, dan seterusnya.
Atau, mungkin Anda masih ingat Coca-Cola yang memasarkan kembali merek Surge, LINE yang membangkitkan kembali kenangan akan film Ada Apa dengan Cinta (AADC), Nintendo yang meluncurkan kembali produk Super Nintendo Entertainment System (SNES), Falcon Pictures yang memproduksi kembali film Warkop DKI, Benyamin, dan sebagainya.
Seperti itulah nostalgia dimanfaatkan untuk meraih cuan. Menarik, bukan?
Kelebihan dan Kekurangan Strategi Nostalgia Marketing
Tentu saja, tidak ada satu pun strategi pemasaran yang tidak memiliki kelemahan. Demikian pula nostalgia marketing.
Kelemahan yang terlihat jelas, target dari strategi nostalgia marketing cenderung ceruk, alias pasar yang sempit. Misalnya, Anda hendak berjualan piringan hitam. Jangan terlalu berharap bisa menarik minat konsumen generasi milenial.
Yang terpancing dengan strategi nostalgia marketing dari toko piringan hitam kemungkinan besar hanya orang-orang tua, Generasi X, atau baby boomers.
Akan tetapi, berjualan dengan model nostalgia marketing langsung mengena efek emosionalnya. Sehingga, Anda tidak perlu lagi mengeluarkan banyak biaya untuk memperkenalkan produk-produk tertentu. Itulah kelebihannya.
Jika Anda ingin memfilmkan cerita Sawung Kampret, misalnya. Anda tidak perlu menjelaskan apa itu Sawung Kampret, bagaimana semesta ceritanya, dan seterusnya. Penggemar komiknya, yang merupakan pasar ceruk, pasti sudah paham dan langsung dapat membayangkan kocaknya si Sawung dan si Na’ip. Anda bukan lagi menjelaskan, tetapi tinggal mengingatkan.
Bagaimanapun, tidak ada jaminan sukses dalam strategi nostalgia marketing. Sebab, ada banyak faktor yang akan berpengaruh. Dan pada akhirnya, tetap kualitas produklah yang akan menentukan laris atau tidaknya jualan tersebut.