Pernahkah Anda mengalami kemacetan dalam menulis? Tidak ada ide meskipun mati-matian memikirkannya? Ingin membuka Word namun ujung-ujungnya malah ke Solitaire? Inilah beberapa gejala writer’s block. Siapapun pernah mengalaminya, termasuk penulis profesional. Writer’s block adalah fenomena hilangnya secara sementara kemampuan seorang penulis dalam memulai atau melanjutkan tulisannya. Tapi jangan terjebak dengan kata “sementara”. Karena maknanya bisa saja “tahunan”, bahkan “dekade”!
Stephen King dalam fiksinya yang berjudul Bag of Bones menceritakan seorang novelis yang terserang writer’s block bertahun-tahun. Pemicunya adalah kematian sang istri. Dengan detail, King mengisahkan ketidakberdayaan tokoh tersebut (yang menurut saya merupakan representasi dari King sendiri) terhadap serangan ini: Duduk di depan komputer berjam-jam hanya untuk memandangi kedip-kedip kursor di atas layar putihnya. Hingga akhirnya perhatian pun teralihkan pada TTS. Ketika coba memaksakan diri mengarang, si tokoh malah kolaps.
Separah itukah writer’s block? Mungkin. Tapi tidak usahlah berpikir yang parah-parah. Bagi saya, writer’s block stadium paling ringan pun rasanya menjengkelkan sekali.
Dan saya pikir, penulis fiksi lebih rentan terhadap “penyakit” ini ketimbang penulis nonfiksi. Tulisan nonfiksi sih seperti sudah ada alurnya. Di sini yang merepotkan paling-paling ide awal dan pencarian datanya. Setelah tahap itu terlampaui, segalanya akan mengalir. Kadang deras. Kadang pelan. Yang jelas, jarang sekali tersendat.
Kalau fiksi? Ide brilian dan data berlimpah pun bukan jaminan. Pasalnya, imajinasi untuk merangkai itu semua dapat saja tiba-tiba mandeg. Blocked!
Lantas, bagaimana mengatasinya?
Jika belum menjalar akut dan tugas kita hanya melanjutkan tulisan (bukan membuat baru), saya berani katakan, solusinya gampang. Tinggal baca ulang dari beberapa paragraf atau halaman terdahulu, otak kita pun perlahan-tapi-pasti terkonek dengan gagasan penulisan terdahulu. Dan welcome back, good mood! Namun untuk kasus yang lebih kompleks, lain lagi ceritanya.
Saya tertarik dengan masalah ini dan mencoba menanyai pendapat penulis lain. Coba simak apa yang mereka lakukan ketika terserang “virus” writer’s block:
E.S. Ito (penulis Negara Kelima dan Rahasia Meede): “Realitasnya kita memang tidak bisa menulis terus menerus, walaupun bahan-bahan yang dibutuhkan cukup tersedia. Untuk mencegah mentok dalam menulis ya jangan dipaksakan kalau sedang tidak mood. Biasanya pikiran saya kembali segar setelah semalaman main gaple (balak), dari jam 10 malam sampai 7 pagi, hehehe. Gaple penuh dengan provokasi, trik dan imajinasi.”
Ratih Kumala (penulis Tabula Rasa, Genesis dan Larutan Senja): “Aku kalau merasa udah over load lebih baik istirahat dulu. Sekarang-sekarang ini aku enggak memaksakan diri untuk terus-terus menulis, karena memaksakan juga ternyata hasilnya enggak akan bagus. Tulisanku enggak maksimal. Tapi di antara waktu jeda itu, aku juga menghibur diriku dengan baca buku-buku fiksi yang bagus. Jadi, sedikit demi sedikit aku berusaha memancing mood-ku sekalian.”
Raditya Dika (penulis KambingJantan, Cinta Brontosaurus dan Radikus Makankakus): “Ya harus dipaksain. Masalah mood itu kan cuma alasan. Kalau kita turutin, kapan selesainya sebuah karya. Jadi menurut gue sih bull sh** aja. Mendingan langsung dikerjain. Mau jelek, biarin aja jelek. Tulisan jelek lebih baik daripada gak ada tulisan sama sekali.”
Solusi-solusi yang patut dijajal. Namun tentu saja harus disesuaikan dengan karakteristik kepenulisan kita.
Tapi kalau setelah itu writer’s block masih juga mendominasi kepala, barangkali sebaiknya kita tidur saja. Bukan sembarang tidur, maksud saya. Proses ilmiahnya begini: Sebelum tidur, kita mesti mengumpulkan segenap kebuntuan di otak dan mencoba segala alternatif untuk menyelesaikannya. Nah, begitu benar-benar mentok, barulah dibawa tidur.
Sebab, sebenarnya ketika kita tidur, otak tidak ikut tidur, sebagaimana organ-organ lain juga terus bekerja nonstop sepanjang hayat. Berdasarkan laporan riset yang pernah saya baca, saraf-saraf otak akan tetap “saling bicara” dan berkonsolidasi dalam rangka mencari solusi. Tanpa kita perintah, alam bawah sadar bekerja di gelombang alpha (sangat rileks) untuk mengurai pelan-pelan permasalahan yang tadi kita tumpuk di harddisk buatan Tuhan ini.
Hasilnya bisa kita akses setelah bangun. Tidak selalu ada hasil (apalagi kalau kebuntuannya betul-betul akut). Namun setidaknya folders masalah sudah ditata rapi oleh para “office boy” tak kasat mata yang bekerja di dalam otak. Lantaran tidur, otak pun segar kembali, dan tentunya siap diajak berpikir lagi.
Yah, ini memang cara “pemalas” sih. Tapi juga yang paling realistis. Bukan cuma cocok buat penulis fiksi, bahkan penulis nonfiksi, sales person (saya baca teori ini justru dari buku motivasi penjualan!), decision maker dari pelbagai profesi pun menerapkannya.
Yang sangat tidak dianjurkan memakai metode “tinggal tidur” ini adalah mereka yang bekerja dengan sistem kejar tayang, seperti scriptwriter sinetron stripping, trader saham, pelatih sepakbola pas timnya bertanding, dst.
Bagaimana dengan Anda sendiri? Punya solusi lain pastinya?
Saya mah pilih yag terakhir, alias tidur saja. He he he… nanti kan waktu yang akan membereskan semua.At least kita bisa berpikir segar kembali setelah tidur. Fresh!!
Wah, wah, wah, suka tidur jg nih, hehehe …. Tp thx atas komennya, Runi.
Aku sih baru penulis-fiksi-wanna-be, biasanya kalau buntu begitu aku mulai menulis dari tengah cerita, di mana aku tahu persis mau menulis apa. Biasanya cara ini cukup efektif, tapi jeleknya pembukaannya jadi suka kurang tergarap. Padahal bagian pembukaan kan sangat penting.
Kalau lagi buntu-buntunya menulis, biasanya aku baca lagi tulisan-tulisan lamaku yang menurutku cukup bagus. Biasanya jadi suka terheran-heran sendiri sebelum akhirnya kembali bersemangat menulis. Cara yang ini aku dapat waktu ikut latihan menulis bersama Farid Gaban.
Thanks atas sumbangan solusinya, Andika. Membantu banget!
Hehehe, sekarang punya blog ya. Tp blog di Friendster menurutku kemampuannya terbatas. Coba WordPress deh ^_^.
‘Tak akan kulepaskan diriku dari nikotin,
Bagaimana bisa, jika setiap kepulan asapnya menghasilkan puisi
Bukankah itu yang setiap penyair cari?
Inspirasi’
Puisi nyeleneh inilah yang menggambarkan aku jika lagi terserang writer’s block. Biasanya aku bakalan meninggalkan laptop tetap menyala, meneriakkan lagu-lagu favorit, sementara aku malah asyik merokok sambil minum kopi di ambang pintu. Cara ini selalu berhasil. Tapi kalau writer’s block sudah mencapai stadium akut, I NEED SLEEP. Karena berbatang-batang rokok dan bergalon-galon kopi pun nggak akan mempan lagi.
Kadang aku jalan-jalan di sepanjang Jalan Matahari, menuju dermaga sambil mendengarkan musik (MP3 player adalah pacar keduaku setelah Irwan). Sampai di tepi pantai aku nggak ngapa-ngapain, cuma duduk bengong, sesekali bersenandung. Tapi setelah itu, ada energi baru yang terisi.
Wow, satu lagi alternatif solusi untuk merontokkan Writer’s Block! Trims ya, Mbak Skylashtar. (Tapi bagian nikotin dan kafein itu jelas bukan buat aku ^_^)
Kalau susah untuk meruntuhkan sendiri writer’s block, mungkin bisa bersama-sama, bikin kompetisi menulis pendek antar sesama penulis. Biasanya topik yang menarik adalah menjelek-jelekkan tokoh yang kita sebel atau semacamnya. Lakukan dalam waktu terbatas, 10-20 menit, stlh itu stop. He he ini biasa kalo lagi workshop pake cara diatas, so far efektif kok.
Hmm, gitu ya. Boleh dicoba tuh! Thanx ya, Mas Erick. Eh, tp kalau nulisnya sendirian? Kebanyakan kegiatan menulis kan sendirian.
writer’s block emang nyebelin.bahkan (orang2 yang nyatain diri mereka) penulis —-> yang masih “ecek-ecek” juga bisa kena virus itu kok. gini aja….. seperti di buku yang pernah aku baca,kita bisa membangun mood dengan mengingat-ingat pengalaman kita yang nyenengin,nyebelin,dan kenangan yang laen.bisa jadi bahan untuk bikin karya baru tuh. or kita coba keluar ruangan liat pemandangan alam,liat gerakan pohon, ngerasain hembusan angin,de el el.pikiran bisa fresh lagi and mood akan balik pelan-pelan.karena alam juga salah satu sumber inspirasi,kan? hehehe………….. ^_^
Hm, boleh jg, boleh jg. Salah satu alternatif solusi yg oke nih. Trims.
Sepertinya , masalah ku dengan writer’block sudah agak terpecahkan… Tapi, tetap aja butuh perjuangan yang lebih keras lagi untuk menjadi seorang penulis yang benar-benar penulis. Aku suka dunia ini!!!
Aku jg suka, Hanny. Makanya bikin blog ini ^_^.
writer’s block?? pernah ga ya?
tapi kenapa ya, klo aku, aku belum bisa tidur klo semua yang ada di pikiran belum kutulis, apa itu di blog yang isinya setengah bisa dipertanggungjawabkan atopun cuma coret-coretan ga jelas di laptop. itu juga kali ya yang bikin aku susah tidur.
jadi menulis dan menulis terus….. menulis lebih merupakan kebutuhan buatku
Thx, Ning Nuning. Wah, berarti enak dong, nggak pernah dihinggapi writer’s block. Tp, bisa2 malah dihinggapi insomnia terus tuh. Hehehe ….
horassssss ! habis beras langsung tidur.
penyakit writer blog yang dimaksud ,itu tidak lain adalah jeritan dari
jiwa kita yang di sebut evil .karena jiwa kita trbentuk atas 2 kategori
angel dan evil .angel merupakan insulin gairah hidup .dan evil sebaliknya ,insulin tubuh loyo .untuk mengobati insulin evil yang mendatangi tubuh kita ,itu gampang .baca tips-tips keren ini.
1. duduk dikursi yang benar-benar membuat tubuh bisa rilex ( kalau perlu pake kursi goyang atau kuda-kudaan)
2. berdoa menurut keyakinannya masing-masing.
3. membaca buku motivasi.
ya, cukup 3 hal diatas mudah-mudahan membantu para novelis nasional maupun internasional mengalahkan jiwa evil. ingat ,no 3 itu ilmu pasti. karena dengan membaca pedoman motivasi ,semangat kita akan terbakar .terbakar ,trbakar ,dan terbakar. Dan dari situlah kita akan kembali ke meja naskah. good luck my friends………..
Thank you, Maris. Wah, pakai pendekatan filosofi “angel & evil” nih. Gokil, gokil! Tp endingnya antiklimaks, Men. Masa’ disuruh baca buku motivasi? Itu kan sama sj dg cerita orang tanya Jl. Seruni pd satpam. Si satpam menjelaskan semuanya dg berbusa2, “Abis tikungan itu, belok kanan. Teruuuss lihat kiri jalan, pd pertigaan kedua, belok kiri, masuk ke sebelahnya bakery. Jalan empat meter, lihat seberang jalan. Siap2 nyebrang. Bapak bisa nyebrang lewat zebra cross, atau kalau mau aman lewat jembatan penyeberangan, tapi ke sananya rada jauh. Sampai seberang jalan, Bapak cari toko buku Terbit. Gede kok. Nggak mungkin keliru. Di sebelahnya ada belokan. Masuk aja. Nah …” “Itu Jl. Seruni?” “Bukan, di situ ada pos polisi. Tanyai aja mrk dimana Jl. Seruni.”
Aku ingatkan masalah writer’s block ni cuma aku je yang alaminya… rupa-rupanya ia adalah masalah yang biasa dialami oleh mana-mana penulis… jadi tidaklah aku bersendirian dalam hal ini.. hehe ^_^.
Kadang-kadang memang sepanjang minggu tidak menghasilkan apa-apa tulisan.. hampeh betul! Tapi aku juga alami masalah hendak memotivatekan diriku untuk mendapatkan idea-idea menulis ni.. apa-apa pon… tip2 yang aku baca akan ku cuba praktikkan.. manalah tau.. kut-kut berjaya… thanks friends…
Silakan, Shah Irani. Thx.
nah, kalau misalanya WB, dan setelah banyak hal dilakuin untuk bangun mood, tapi hasilnya menyimpang dari rencana awal gimana?
fitri´s last blog post ..KEGAGALANKU TEMUKANMU
Yg penting udah lancar nulis. Bukan masalah kalau menyimpang. Nanti kan lama2 kembali ke garis awalnya lg. Tp setelah itu, lakukan editing. Mudah kan? 🙂
mungkin, kalau gitu aku coba dulu 🙂
fitri´s last blog post ..KEGAGALANKU TEMUKANMU
Hanya satu cara; cari warung, ngobrol, minum kopi hangat, nulis lagi, ngalir lagi. Virus writer’s block lenyap !
Ya, bisa jadi 🙂
Brahm´s last blog post ..Bagaimana Membuat Judul
Kalau saya berhenti sejenak, berapa hari, pasti kangen mau nulis lagi ^^
kalau aku kayaknya bukan writer’s block tapi nggak tahu aja gimana nyampeinnya ama takut salah… Itu lebih parah… Kalau udah kaya gitu biasanya alur jadi kecepetan
kalau saya mah cuma satu..kalau berhenti nulis ndak dapet duit. Cukup ampuh untuk merontokkan penyakit block writer hahahaha…# bukan mata duitan, # ghost writer
Trina´s last blog post ..Tips menggunakan Facebook sebagai sarana penjualan
Cara yang cukup ampuh :)) tapi biasanya, kalau aku udah terkena serangan writer’s block sialan itu, dengerin lagu-lagu yg temponya rendah. Entahlah, biasanya langsung dapat ide dan bisa ngelanjutin cerita yg kubuat.
Tpi kdg mood juga mempengaruhi ding. Biasanya, kayak hantu. Kdg datang di saat yg nggk tepat. Klo udh ada ide, terus mood ilang, ya itu msh ngga bsa nulis -,-
gampang-gampang sulit lah, kalau mau nulis itu, menurutku 😀
Klo saya sebab writer’s block karena apa yang ditulis, kadang gak sesuai sama pikiran, pas baca ulang tiba2 kayak kurang pas, trus klo udah gtu buyar semua imajinasi yang ada… Akhir.a kena virus WB… 🙂
Mohon izin share ya, Bang.