Setangkup Problematika Sastra Anak Indonesia

Secara umum, bacaan anak-anak sekarang cenderung tak lepas dari komik. Daftar buku terlaris anak pada jaringan toko buku terkemuka menunjukkan golongan buku komik Crayon Shinchan, Yu Gi Oh!, Detektif Conan Special, New Kung Fu Boy, Samurai Deeper Kyo, Naruto, Baby Love, Gals, atau Cerita Spesial Doraemon

Selain buku komik Jepang tersebut, seri terjemahan dari Walt Disney juga sering kali tampak di pasaran. Merebaklah tuduhan bahwa bacaan-bacaan tersebut telah memelintir anak-anak bangsa hingga hanya memiliki segelintir nilai-nilai universal yang tanggung. Anak-anak kita pun jadi kehilangan akar budayanya.

Benarkah? Lalu, di mana buku bacaan anak karya pengarang dalam negeri?

Sastra anak sebagai salah satu bentuk karya sastra, wujud pertama dapat dilihat dari bahannya, yaitu bahasa. Dalam pemakaian bahasa, sastra anak tidak mengandalkan satu bentuk keindahan sebagaimana laiknya karya sastra.

Yang paling penting untuk ditonjolkan dalam sastra anak adalah fungsi yang hadir bersamanya, yaitu aspek pragmatis.

Namun, karena berpatok kaku pada tataran ini banyak karya sastra anak Indonesia yang terjebak dalam tema yang itu-itu saja, tidak berkembang, terlebih lagi unsur didaktik yang kuat menimbulkan kesan menggurui dan melemahkan cerita.

Di Indonesia, tidak banyak pemerhati sastra anak. Sastra anak adalah sastra yang tersisihkan, jarang ada peneliti yang memperhatikan. Jika kita mau menengok, hanya segelintir orang saja yang getol berbicara tentang sastra anak, katakanlah Murti Bunanta, Sugihastuti, Riris K. Toha Sarumpaet, dan Christantiowati.

Mereka inilah yang menelurkan literatur tentang sastra anak, walaupun dalam periode awal, tulisan tersebut adalah hasil olahan dari skripsi. Literatur tersebut antara lain:

  1. Bacaan Anak-Anak: Suatu Penyelidikan Pendahuluan ke dalam Hakikat Sifat dan Corak Bacaan Anak-Anak Serta Minat Anak Pada Bacaannya (Jakarta: UI, 1975) karya Riris K. Toha Sarumpaet.
  2. Bacaan Anak Tempo Doeloe: Kajian Pendahuluan Periode 1908-1945 (Balai Pustaka, 1996) karya Christantiowati.
  3. Serba-Serbi Cerita Anak (Pustaka Pelajar, 1996) karya Sugihastuti.
  4. Petunjuk Praktis Mengarang Cerita Anak-Anak (Balai Pustaka, 1991) oleh Wimanjaya K. Liotohe.
  5. Cerita Anak Kontemporer (Nuansa, 1999) oleh Trimansyah, dan
  6. Problematika Penulisan Cerita Rakyat untuk Anak Indonesia (Balai Pustaka, 1998) oleh Murti Bunanta.

Pembaca pemula di Indonesia pada umumnya mengenal bacaan melalui majalah anak-anak seperti Bobo, Bocil, Mentari, buku-buku picture book terjemahan Gramedia dan Elex Media, juga buku-buku bernuansa islami dari Mizan.

Picture book (buku cerita bergambar) banyak mengajarkan anak berbagai ragam tema dan persoalan. Anak sejak usia dini mulai dikenalkan mengenai pluralisme, penyesuaian diri, lingkungan hidup, etika, kontrol diri, kerjasama, berbagi, persahabatan, toleransi, cinta kasih, rasa takut, dll.

Namun, ada juga yang menggunakan picture book sebagai media mengenalkan hitungan, abjad, warna, ukuran, alam semesta, ruang angkasa, tumbuhan, binatang, dll.

Beberapa buku juga ada yang tanpa huruf (wordless picture book) yang berguna mengasah anak berbahasa dengan menciptakan ceritanya sendiri menurut pengertiannya mengenai gambar.

Kemudian pada periode lanjutan biasanya disusul oleh bacaan komik-komik Jepang yang begitu banyak ragam judul dan temanya.

Baru di sekolah, mereka mengenal buku-buku cerita rakyat Indonesia yang menjadi salah satu basis dari genre sastra anak. Buku cerita rakyat di sekolah biasanya dikoleksi melalui program Pemerintah.

Itu pun tidak banyak, dari sekitar 2.000 hingga 8.000 koleksi sekolah, paling kurang dari 60 yang merupakan cerita rakyat.

Jika tidak melalui membaca, biasanya anak-anak mengenal cerita rakyat melalui dongeng oleh guru atau orang tua mereka, dan cerita favorit yang biasa diberikan biasanya tak luput dari Timun Mas, Malin Kundang, Bawang Merah Bawang Putih, Cindelaras, Sangkuriang, Lutung Kasarung, atau Joko Kendil.

Sastra Anak Indonesia bisa dikatakan tersubordinat dari bacaan terjemahan. Kenyataannya, memang penerbit lebih memilih karya terjemahan dengan alasan lebih hemat biaya penerbitan. Jadilah kita tamu di negeri sendiri.

Bejibun karya terjemahan hadir, lihat saja:

  • 29 judul Seri Pustaka Kecil Disney yang terbit 29 judul, antara lain: Cinderella, Putri Aurora, Putri Salju dan 7 Orang Kerdil)
  • 8 judul Seri Petualanganmu yang Pertama, antara lain: Burung Hantu Kecil Meninggalkan Sarang, Kelinci Kecil Bermain dengan Adik, Ulang Tahun Babi Kecil) oleh Marcia Leonard
  • 12 judul Seri Boneka Binatang, antara lain: Bello Naik balon Udara, Bello Mendapat Sahabat, Bello Punya Kapal Selam) oleh Tony Wolf
  • 6 judul Seri Jennings oleh Anthony A. Buckeridge
  • 3 judul Seri Adikku yang Nakal oleh Dorothy Edwards.

Seri-seri detektif juga mewarnai karya terjemahan, misalnya Seri Klub Detektif karya Wolfgang Ecke, Seri Enstein Andersen oleh Seymore Simon, dan Seri Klub Ilmuwan Edan karya Bertrand R. Brinley. Ada juga cerita-cerita lucu, seperti 15 judul Seri The Baby Sitter Club karya Ann. M. Martin.

Satu lagi, Ratu Tukang Cerita, Enid Blyton, yang telah mengarang lebih dari 700 judul buku yang diterjemahkan dalam 129 bahasa. Karya terjemahan Enid Blyton bertebaran di Indonesia:

  • 28 judul Seri Mini Noddy, antara lain: Belajar Jam Bersama Noddy, Belajar Berhitung Bersama Noddy, Belajar Berbelanja Bersama Noddy.
  • 21 judul Seri Lima Sekawan yang telah difilmkan
  • 6 judul Seri Komplotan
  • 6 judul Seri Kembar
  • 3 judul Seri Sirkus
  • 6 judul Seri Mallory Towers
  • 3 judul Seri Gadis Badung.

Begitulah, karya-karya terjemahan tersebut telah menenggelamkan karya-karya sastra anak lokal yang tidak dapat muncul di permukaan. Kebanyakan hanya menghuni rak-rak perpustakaan sekolah karena memang sebagian besar merupakan hasil subsidi Pemerintah melalui program Inpres.

Tentu saja dibandingkan dengan karya terjemahan yang terbit, kualitas fisik sastra anak lokal tersebut jauh di bawah. Karya-karya terjemahan tersebut muncul dengan tampilan gambar, warna, dan kertas yang lebih menawan.

Kemandegan sastra anak lokal juga diperparah dengan tidak adanya program-program sastra di sekolah dan di perpustakaan yang membicarakan buku lokal, kecuali untuk buku-buku sastra dewasa karya pengarang muda yang cepat sekali mendapat apresiasi dan terjual puluhan ribu kopi, katakanlah Dewi Lestari, Ayu Utami, dan Habiburrahman El Shirazi.

Bahkan siapapun orangnya, posisi pengarang bacaan anak tidaklah menarik untuk dikupas. Hal ini tampak ketika para selebritas menulis buku untuk anak, seperti Soraya Haque, Marisa Haque, Vinny Alvionita, Gito Rollies, Dwiki Dharmawan, dan Monica Oemardi.

Bandingkan dengan buku anak karangan Madonna yang biasa saja mutunya, tetapi gemanya sudah ke mana-mana.

Jika demikian, makin lemahlah orang-orang yang benar-benar intens di jalur ini, seperti pengarang muda Donny Kurniawan dan Eko Wardhana yang karya-karyanya cukup menjanjikan.

Penerbit Mizan juga memelopori terbitan serial Kecil-Kecil Punya Karya. Walaupun hasilnya bisa dibilang children writing, tetapi cukup efektif mengasah bakat-bakat menulis pada anak.

Pada periode 70 dan 80-an dikenal karya-karya dengan tema toleransi, keragaman budaya, arti perdamaian, dan sadar persamaan gender melalui pengarang-pengarang senior, seperti Suyadi, Alm. Kurnaen Wardiman, Djoko Lelono, Diah Ansori, Alm. Suyono, Dwianto Styawan.

Tentu saja sudah banyak yang terlupakan. Namun kiranya karya-karya yang penuh humor, tidak berkhutbah, penuh keterampilan menggunakan bahasa yang terkadang penuh suspens dan taburan fantasi.

Karya-karya berkarakter semacam ini menyebabkannya dapat dimodifikasi menjadi karya kreatif lain, misalnya drama radio, drama panggung, dan dongeng.

Pengarang sastra anak yang cukup beruntung di periode terkini adalah Murti Bunanta yang karya dwi bahasanya Si Bungsu Katak (Balai Pustaka, 1998) mendapat penghargaan internasional, The Janusz Korczak International Literary Prize Honorary Award dari Polandia. Juga karya Legenda Pohon Beringin (KPBA, 2001) yang mendapat hadiah utama Octogones 2002 for Reflets d’Imaginaire d’Ailleurs.

Bukan cuma itu, sebuah buku ceritanya, Kancil dan Kura-kura (KPBA, 2001) yang mengadaptasi cerita dari Kalimantan Barat, telah diterjemahkan dalam bahasa Jepang dan dipanggungkan di sana oleh sebuah grup teater anak profesional selama satu tahun.

Murti Bunanta juga diminta oleh penerbit Amerika (Westport, Library Unlimited Inc.) untuk menuliskan buku cerita rakyat Indonesia yang kemudian terbit tahun 2003 dengan judul Indonesian Folktales.

Kini, ia menggagas dan menerbitkan buku-buku kecil untuk anak dan pembaca yang mulai belajar bahasa Indonesia. Buku-buku tersebut kemudian diketahui laku dibeli oleh 52 perpustakaan di Singapura dan rencananya juga akan dapat dibeli di Australia.

Tantangan pengarang sastra anak Indonesia dewasa ini jadi demikian berat, karena tidak saja melawan sesama pengarang buku anak di dunia, tetapi juga melawan daya tarik media elektronik dan kemajuan teknologi hiburan.

Sebuah Perpustakaan Digital Anak-Anak Internasional (International Children’s Digital Library) telah hadir di Library of Conggress (Amerika) di mana telah mencatat 275 buku koleksi yang dipilih dari buku-buku terbaik di dunia yang dapat diakses cuma-cuma melalui jaringan internet.

Diperkirakan tahun ini, akan mencapai 10.000 buku dalam lebih 100 bahasa. Karya-karya yang dikoleksi meliputi buku action, petualangan, dongeng, cerita pendek, dan drama.

Namun, yang paling merisaukan adalah adanya usaha mengambil alih cerita rakyat Indonesia oleh pengarang Barat. Contoh nyata terjadi pada cerita-cerita asal Bali yang kemudian ditulis oleh Ann Martin Bowler dengan ilustrator I Gusti Made Sukanada yang berjudul Gecko’s Complain, juga Balinese Children Favorite Stories yang ditulis oleh Victor Mason dengan ilustrator Trina Bohan-Tyrie.

Rasanya para pengarang cerita anak kita harus cepat bertindak menggali potensi cerita yang banyak bertebaran di bumi Indonesia.

Patut diacungi jempol bagi Kelompok Pencinta Bacaan Anak yang telah menerbitkan buku cerita rakyat (2001), antara lain Suwidak Loro, Si Kancil dan Kura-Kura, Kancil dan Raja Hutan, Si Kecil, Si Bungsu Katak, dan Senggutru, apalagi dengan sampul hard cover dan dwibahasa, cerita-ceritanya pun dapat disederhanakan dan didongengkan di kelas untuk anak usia dini.

Mari berbenah demi sastra anak Indonesia.

BAGIKAN HALAMAN INI DI

25 thoughts on “Setangkup Problematika Sastra Anak Indonesia”

  1. Dari kecil sy suka baca terutama dongeng atau cerpen. Sy tau dongeng & cerita2 lainnya dr majalah Si Kuncung, Bobo, lalu tabloid Fantasi. Klo baca majalah/tabloid anak2, yg pertama dibaca pasti dongengnya dulu 🙂 Skrg Si Kuncung entah kmn, Fantasi malah jd tabloid remaja, cm Bobo yg masih ada. Salute utk orang2/kelompok yg membuat/menerbitkan buku dongeng/cerita rakyat. Semangat!!!

    Reply
  2. Yap, seperti nostalgia saja, saya sendiri biasa terkenang dengan dongeng-dongeg ibu sebelum tidur 🙂 Saat SD, di sekolah saya biasa membaca buku-buku Inpres yang berisi cerita rakyat dan cerita petualangan anak-anak yang settingnya di berbagai wilayah nusantara. Kalau majalah anak-anak jarang baca, soalnya tidak berlangganan. Ada momen tertentu di waktu saat saya kecil banyak sekali membaca majalah anak-anak. Orang tua saya pedagang, jadi kadang ada tetangga yang menjual tumpukan koran dan majalah, dan di antaranya ada juga setumpuk majalah anak-anak, saya lahap semuanya, hahaha …

    Trims ya Ree buat komentarnya.

    Reply
  3. Iya ya. Prihatin. Sebelum mulai sekolah, saya sering dibacakan cerpen/dongeng dari majalah Bobo oleh ibu, teman ibu, atau pembantu keluarga kami. Kebetulan waktu SD (di Bandung) ada perpustakaan kecil di sudut kelas, tapi buku-bukunya kurang menarik. Kalau nggak buku pelajaran, pasti cerita anak-anak yang telah disusupi propaganda orde baru (hehehe, mungkin cuma prasangka saya saja). Waktu SMP (di Magelang) malah mendingan, setiap istirahat biasanya perpustakaannya penuh. Buku-bukunya juga lumayan up to date. Dan gurunya memang mengarahkan siswa untuk membaca. Pas SMA (di Bandung) perpustakaannya gelap dan ketinggalan jaman. Alhasil jarang ada pengunjungnya.

    Reply
  4. Wah jadi saling bagi-bagi pengalaman masa lalu nih, tapi bagus juga, kita jadi tahu sisi universal orang tua-orang tua kita, yaitu mendongeng (story telling). Tradisi ini kini mulai banyak ditinggalkan karena banyak hal, misalnya kesibukkan orang tua, atau karena orang tua kurang menyadari bahwa menanamkan nilai-nilai melalui mendongeng akan jauh lebih mudah diterima dan jauh lebih menarik, bukan saklek dengan larangan-larangan yang malah membuat kreativitas anak mandeg.

    Satu lagi, dari komentar-komentar ini, kita jadi tahu bahwa bacaan di sekolah-sekolah Indonesia memang kurang dan sangat tidak memadai keragamannya. Trim buat Andika.

    Reply
  5. yap, memang dongeng itu sangat berperan dalam pendidikan anak. Maka dari itu saya menyarankan dari masing-masing calon ortu untuk sering-seringlah mendongeng kepada anak mulai dari umur 1 tahun. Dan mendongenglah sesuai dengan sesuai dengan IQ anak/sesuai dengan daya tangkap anak.

    Saya hanya ingin berbagi pengalaman setelah saya mendapatkan mata kuliah literatur anak kepada masing-masing pembaca yang ingin menjadikan anaknya gemar akan membaca. Yach, dari mendongenglah maka anak akan ketagihan dengan cerita-cerita. Lama-kelamaan ketika anak sudah mulai bisa membaca anak akan mau membaca sendiri.

    Semangat yach…!!!

    Reply
  6. Trim ya Nana, wah wah semangat sekali. Kerangka nalarnya memang seperti yang Nana bilang, namun yang paling efektif adalah mendongeng dengan menggunakan perangkat mendongeng, khususnya buku cerita, terutama buku-buku cerita dengan gambar-gambar ilustrasi yang menarik. Jadi ketika mendongeng, kita sekaligus mengenalkan “buku” pada anak, hal ini adalah cara paling efektif untuk menarik minat anak pada buku, bahwa ada dunia yang mengasyikkan yang dapat dipetik dari sebuah buku.

    Reply
  7. sampai sekarang saya masih menyukai bacaan (sastra ataupun bukan) anak-anak. Dalam hati saya berniat mencari beberapa ilustrator bekas mahasiswa saya untuk membuat cerita rakyat versi cergam (komik). Tipis-tipis saja. Mudah2an setelah saya menyelesaikan studi ttg komik bisa mendapat jalan untuk merealisasikan niat tsb. Cergam Folklor Nusantara. =)
    kalau2 ada yg berniat membuat cerita komik folklore ini bolehlah saling berbagi semangat dan kelak bisa kerjasama bikin bareng. =p

    Reply
  8. Wah, semangat yang patut diacungi jempol, plus tawaran yang sangat menarik bagi penulis-penulis untuk ikut ambil bagian. Warung Fiksi akan dengan senang hati mengupayakan keberlanjutan bentuk kerjasama yang nantinya bisa kita kerjakan bersama.

    Semoga terwujud “Cergam Folklore Nusantara”.

    Reply
  9. iya nie… turut prihatin ama kondisi satra anak saat ini di indonesia. kebetulan aku lagi ambil matkul literatur anak di jurusan perpustakaan jadi salah satu tugasnya ya presentasi story telling n bikin book talk untuk anak-anak… jadi nanti kalo anak2 mau denger story telling or baca book talk.. ke perpustakaan aja..
    semangat…

    Reply
  10. q turut berduka cita nie… sastra anak lokal emang kurang diperhatiin. klo qt mw nyoba polling pertnyaan ma anak2 kcil t2g crita ank2 mereka psti dgn cepat ngejawab “naruto, sinchan. tsubasa n dll” berani taruhan mereka gak mngkin ngejawab SI kANCIL, Timun maS Ato dll. karya lokal kurang populer d rmh sendiri. kacian…!!

    Reply
  11. sastra anak menjadi modal bangsa untuk menyiangi bibit-bibit budaya yang selama ini kurang di perhatikan. walaupun sastra anak dewasa ini cukup termarjinalkan, alangkah terpujinya jika sastrawan besar juga menuangkan cerita-cerita anak yang bermanfaat bagi bangsa. semoga semuanya tercapai…

    Reply
  12. Beberapa tahun lalu Penerbit Grasindo banyak menerbitkan seri cerita rakyat bukan saja dari Indonesia, tapi juga dari luar negeri. Kelihatannya sekarang sudah agak berkurang. Barangkali karena sudah tidak begitu laku lagi, atau karena kalah bersaing dengan komik Jepang model Sinchan yang, lepas dari isinya, memang tampak lebih menarik. Tapi sungguh tak elok kalau kita cuma mengeluh tanpa berbuat apa-apa. Yang bisa menulis, merasa bisa menulis, atau kepingin banget menulis, apa salahnya menulis cerita anak. Kalau sudah jadi, bisa dikirim ke koran yang menyediakan rubrik untuk anak-anak, atau ke majalah anak-anak, atau ke situs yang mengkhususukan diri pada cerita anak (sauag mulai banyak ‘kan?). Ayo, kita bergerak untuk masa depan anak Indonesia. Kalau dulu kita dimanjakan oleh pengarang cerita anak Indonesia seperti, antara lain, Pak Sukanto SA dan Arswendo Atmowiloto, sekarang giliran kita berbuat hal yang sama untuk adik, anak, atau keponakan kita. Ayo, kita bisa!

    Reply
  13. Beberapa tahun lalu Penerbit Grasindo banyak menerbitkan seri cerita rakyat bukan saja dari Indonesia, tapi juga dari luar negeri. Kelihatannya sekarang sudah agak berkurang. Barangkali karena sudah tidak begitu laku lagi, atau karena kalah bersaing dengan komik Jepang model Sinchan yang, lepas dari isinya, memang tampak lebih menarik. Tapi sungguh tak elok kalau kita cuma mengeluh tanpa berbuat apa-apa. Yang bisa menulis, merasa bisa menulis, atau kepingin banget menulis, apa salahnya menulis cerita anak. Kalau sudah jadi, bisa dikirim ke koran yang menyediakan rubrik untuk anak-anak, atau ke majalah anak-anak, atau ke situs yang mengkhususkan diri pada cerita anak (sekarang mulai banyak ‘kan?). Ayo, kita bergerak untuk masa depan anak Indonesia. Kalau dulu kita dimanjakan oleh pengarang cerita anak Indonesia seperti, antara lain, Pak Sukanto SA dan Arswendo Atmowiloto, sekarang giliran kita berbuat hal yang sama untuk adik, anak, atau keponakan kita. Ayo, kita bisa!

    Reply
  14. satra anak akhir-akhir ini selalu memunculkan kisah-kisah yang romantis terutama percintaan. jarang sekali sasatra anak yang membangun rasa ppeduli terhadap bangsa ini.

    Reply
  15. munculnya kisah-kisah roman percintaan pada sastra anak anak, membuat semakin tidak pedulinya terhadap bangsa dan negara….hufh…..

    Reply
  16. salah satu sebab bangsa ni selalu tertinggal adalah
    kurangnya bacaan bermutu bagi aanak2 yg notabene adalah generasi penerus..
    rata2 bacaan anak2 kita adalah dongeng yg hanya berisi pesan moral tapu nihil pesan intuk berprestasi..

    Reply
  17. hm.. Ragil. akhirnya ku cium jejakmu lewat sastra anak. sudahkah kau lelap dengan cinta pertama? atau masih jaga dengan secangkir kopi dalam risau harapmu? jaketmu masihkah Lingua yang pudar warnanya? salam dari sebelahku. Gadis Penjaga Wartel Itu..

    Reply
  18. selain karya sastra anaknya yang kurang, literatur tentang sastra anak juga susah dapetnya. hikz…padahal lg nyusun proposal pnlitian ttg sstra anak…

    Reply
  19. bisa ngga kirimin ak buku bgambar tanpa tekx atau wordless picture book? saya sedang mmbutuhkannya untuk mengembangkan kekreatifan ank2 sd?

    Reply
  20. Kepada semua teman2 pemerhati sastra anak, saat ini saya sedang menulis tesis tentang novel yang ditulis oleh pengarang anak-anak. Tetapi saya kesulitan literatur, karena literatur tentang sastra anak masih sedikit. Jadi, bila ada teman2 yang mengetahui tentang bahan tesis saya, sudilah kiranya berbagi info supaya saya mendapat pencerahan tentang hal ini. Terima kasih sebelumnya.

    Reply
  21. hai teman2 pemerhati sastra anak. Saat ini saya sedang menulis tesis tentang novel yang ditulis oleh pengarang anak-anak.Ada info mengenai hal itu tidak.Makasi ya atas bantuannya.

    Reply
  22. Sebetulnya, dalam komik pun ada unsur sastra. Memanfaatkan unsur itu agar bisa diaplikasikan dalam sastra anak itu menarik. Contohnya, waktu saya kecil, saya mengenal tokoh-tokoh dunia melalui Seri Komik Tokoh Dunia. Tentu saja, bukan tidak mungkin dibuat Seri Komik Tokoh Indonesia. Atau folktale yang dikomikkan. Soalnya, anak-anak yang belum menguasai banyak kosakata akan lebih senang membaca buku bergambar dan komikal yang kata-katanya tidak terlalu sulit. Tapi, saya setuju kalau buku-buku seperti Detektif Conan atau HunterXHunter misalnya, bukan buku bacaan anak-anak. Itu bacaan yang lebih cocok dikonsumsi anak-anak remaja.

    Reply

Leave a Comment

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Don't do that, please!