Bab Pertama
Pria itu menjumput tanah dengan tangannya yang legam. Meniupnya sambil memilin-milin butiran tanah tersebut. Mulut tebalnya berkomat-kamit. Lama sekali. Seolah itu doa terakhir dalam hidupnya. Dia kemudian berdiri. Menyahut senjata laras panjang M-16 yang tersandar di samping pohon.
Dialah Akilas. Perawakannya biasa-biasa saja. Tidak kekar. Tidak besar. Suaranya pun tidak pernah bisa lantang. Kumisnya yang melintang keriting dan wajahnya yang terkesan jenaka malah memberi kesan ramah pada lelaki 47 tahun ini.

Tapi, penampilan selalu bisa menipu. Akilas adalah seorang komandan berdarah dingin. Reputasi hitamnya telah menjadi catatan khusus bagi Pemerintah Indonesia. Tapi semua itu tidak ada apa-apanya dibanding dengan apa yang hendak dilakukannya pagi ini.
Akilas melempar pandangan ke atas bukit. Dia lalu mengayunkan langkah ke sana. Mendaki tanjakan landai dengan tungkainya yang jenjang dan telanjang.
Di atas bukit tersebut, sebaris pasukan warna-warni telah menantinya. Lelaki-lelaki bertubuh tegap, berotot, dengan senjata-senjata yang tegak terhunus. Sebagian bercelana pendek, sebagian berkoteka. Sebagian berkaos lusuh, sebagian lagi bertelanjang dada.
Bola mata mereka tampak berpendar putih di antara kulit wajah yang hitam penuh coreng moreng itu, bergerak mengikuti mondar-mandirnya sang Komandan.
"Su siap?" tanya Akilas. Jumlah pasukan itu tidak kurang dari 50 orang. Panah, tombak, sumpit, parang, dan kapak, semua baru saja diasah. Berkilat-kilat ditimpa cahaya pagi mentari Papua. "HE, KAMORANG SU SIAP?" ulang Akilas dengan suara cemprengnya.
"SIAAAP...!" jawab serempak pasukannya.
Akilas mendengus puas. Lantas membuang pandangan sejauh beberapa belas meter.
Di sana, Mikael saudaranya, berdiri di depan barisan sebelah barat. Jumlah pasukan Mikael tak kalah banyak dengan pasukannya. Akilas mengangkat senapannya tinggi-tinggi.

Mikael yang melihat kode itu balas mengangkat parangnya. Sejurus kemudian, Mikael memberi aba-aba kepada pasukannya untuk maju serentak. Mereka pun bergerak.
Sementara itu, Akilas dan pasukannya mengamati semuanya dari atas bukit. Memperhatikan bagaimana pasukan di bawah komando Mikael menuruni bukit tanpa suara. Awalnya, mereka merambat pelan. Lantas berlari-lari kecil. Menyebar menuju sasaran masing-masing. Layaknya sekompi semut yang mengepung roti manis.
Senyuman tipis mengulas di paras Akilas. Sudah lama, dia dan Mikael mempelajari situasi desa ini. Membaur dengan para turis itu. Akilas bahkan rela menyaru sebagai pemandu wisata sekaligus kuli angkut selama berbulan-bulan. Hanya untuk memastikan rencana sang Jenderal berjalan mulus.
"Perang suci ini harus kita menangkan," Akilas menyeringai dingin. "Penjajahan di muka bumi ini harus dihapuskan! Karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan!"
Hanya butuh waktu kurang dari 10 menit bagi pasukan Mikael untuk menuntaskan misi menyeret dan mengumpulkan para petinggi desa wisata itu ke halaman depan Penginapan Mama Kasih. Sayup-sayup, terdengar keributan di bawah sana.
Melihat saudaranya telah tuntas menunaikan tugas, Akilas mengangkat senapan serbunya. "Majuuuu!" perintahnya. Masih dengan ekspresi yang dingin. Sedingin puncak bersalju di pulau mutiara hitam ini. Serempak, pasukannya menghambur.
Mereka berlari sambil memekik-mekik lantang. Beberapa lainnya bernyanyi-nyanyi. Beruntunglah mereka yang tidak mengerti arti lirik lagu yang terlampau sadis itu.
Ini adalah babak baru dari masa depan OPM (Organisasi Papua Merdeka). Ketika semua jalan untuk menuntut hak merdeka rakyat Papua mengalami kebuntuan, jalan ekstrem ini diyakini akan berhasil.
Mereka merasa, setelah puluhan tahun hidup tertindas di bawah Indonesia, sekarang saatnya Papua merdeka. Bahkan semut pun akan menggigit bila diinjak. Dan inilah gigitan OPM itu!
"Yang melawan ko tebas saja! Apalagi kalau itu orang Indonesia!" Akilas memberi instruksi seraya mengokang M-16 yang disandangnya. Dia segera menghambur ke pintu utama penginapan berbintang satu tersebut.
DUMM! DUMM! DUMM!!
"BUKA PINTU... BUKAAA!" teriakan Akilas mengiringi gedoran-gedoran itu. Beberapa lama Mikael menunggu, tidak ada jawaban. Tak seorang pun di penginapan bertingkat dua itu yang berani membuka pintu.
"Bangsat juga ko ya..." Akilas yang habis kesabarannya membidikkan senjatanya ke daun pintu. Dia siap menyemburkan peluru-peluru berkaliber 5,56 mm dari senapannya.
Namun, "Ya, ya, ya!" sahut suara yang sedikit bergetar dari dalam penginapan.
Pintu pun terbuka. Seorang pelayan penginapan yang wajahnya sudah pucat pasi dan penuh bintik-bintik keringat dingin menyapa dengan ekspresi yang dipaksakan ramah, "S-selamat pa-pagi, P..."
Gerombolan Akilas tak tertarik dengan basa-basi itu. Mereka langsung menerobos masuk. Akilas membentak-bentak, "Semua yang ada di penginapan ini... suruh kumpul sini!"
Pelayan penginapan yang santun itu tampak kebingungan. Dia ingin mengatakan sesuatu, tapi Akilas keburu menyodoknya dengan popor senapan. Tepat di jidat. Membuat pria malang itu langsung terkapar di karpet lobi penginapan.
Kemudian, tujuh orang berpencar. Akilas dan ketiga anak buahnya naik ke lantai dua. Sembari menendangi benda-benda yang dilalui. Bentakan-bentakan terdengar saling bersahutan.
"KAMI TAHU KALIAN DI SINI!" gertak Akilas. Sementara anak buahnya menendangi pintu-pintu dan memukulinya dengan parang atau kapak. "Kalau sampai ketemu kamu sedang sembunyi, kami bisa bikin darah dan otak kamu ada di tembok dan lantai penginapan ini! AYO KELUAAAAR! Saya hitung sampai 10! Satu... dua... tiga... empat..."
Ancaman Akilas cukup manjur. Satu per satu, para tamu penginapan keluar dari liang persembunyiaannya.
"Lima... enam.... Tangan di atas kepala! Kumpul semua di bawah.... Tujuh!"
Para tamu itu pun menurut.
"Delapan...!"
Joanne Charvier, seorang tamu penginapan, mengernyitkan dahi begitu tahu orang beringas itu ternyata Akilas. Begitu pula Jerome Perrinet, pacarnya. Mereka ternganga. Akilas juga mengenali mereka, sebab dialah porter kepercayaan kedua turis Prancis itu.
"Sembilan...." Akilas melanjutkan hitungannya. Dia merasa jengah juga diperhatikan dengan tatapan benci seperti itu oleh mantan majikannya. Namun, dia tak ingin kehilangan wibawa saat ini. Dibalasnya tatapan kecewa dan heran itu. "SEPULUH! Apa lihat-lihat? AYO, KUMPUL BAWAH!"
"Cepaaaat!" bentak anak buah Akilas mendorong-dorong bahu Joanne dan Jerome. "Turun! Turuuuun!"
Para tamu penginapan kemudian digiring keluar rumah. Dengan todongan senjata api dan senjata tajam, tidak ada yang berani melawan. Semua patuh dengan wajah memucat. Apalagi begitu mereka tahu di pelataran depan penginapan, keadaannya lebih tidak menguntungkan lagi.

Penginapan itu sudah dikepung oleh gerombolan bersenjata. Mereka bersorak sorai saat melihat kelima tamu penginapan keluar dengan tangan ke atas.
"Hei, jang kas luka mereka! Itu kitorang pu tamu. Mereka baik sama kitorang," protes salah seorang pegawai penginapan. Permintaan itu segera disambut dengan tawa cemoohan.
Riuh sekali. Keadaannya seperti pertunjukan perang suku yang biasa diselenggarakan Dinas Pariwisata. Akilas sampai memuntahkan timah-timah panas dari senapannya ke langit untuk membungkam semua kegaduhan itu.
Tapi pegawai tadi meneruskan rengekannya. "Jang dibawa sudah, Pak! Mereka tra bersalah...."
Akilas menoleh ke pegawai penginapan itu sekilas. Lalu dia berpaling ke salah satu anak buahnya. Memberi kode dengan goyangan kepala.
Si anak buah langsung maju ke barisan para turis itu. Dia melihat Ambo Rawallangi, turis asal Makassar yang kebetulan berbadan paling besar di antara turis-turis lainnya. Dia meremas kaosnya di bagian dada, dan menyeret dari teras penginapan. Beberapa orang Akilas segera maju untuk menghujani pria Bugis itu dengan pukulan dan tendangan.
Ambo tak membalas. Hanya melindungi kepalanya dengan kedua tangan. Lelaki 28 tahun itu rupanya masih bisa berpikir logis, melawan puluhan orang dengan kondisi siap perang seperti ini adalah tindakan konyol. Maka Ambo pasrah saja tubuhnya dijadikan sansak hidup.
Setelah lelaki itu terlihat lemas, giliran Ni Komang Ambarwati yang menjadi bulan-bulanan. Penampilan kalem dan badan kecil wanita itu tidak menghalangi mereka untuk berlaku kasar. Mereka tetap menjambak, memukuli dan menendangi tubuh Komang hingga dia tersungkur.
Ambo yang merasa iba pada gadis 26 tahun itu protes, "Pak, itu perempuan, Pak! Tolong, itu perempuan!" Namun protes itu hanya membuat wajah Ambo semakin biru akibat dihajar lagi oleh anak buah Akilas.
Sementara turis yang lain, turis-turis asing itu, hanya bisa diam. Joanne yang juga perempuan hanya bisa meneteskan air mata. Berempati pada Komang, tapi ciut nyali karena menduga sebentar lagi dia dan pacarnya akan mengalami nasib serupa.
Tapi, dugaan perempuan yang sehari-harinya bekerja sebagai guru SD di Prancis itu meleset. Tidak seperti turis Indonesia, ketiga turis asing dibiarkan utuh tak tersentuh.
"Komandan!" seseorang tiba-tiba mendekati Akilas dengan posisi tegap ala tentara. "Di penginapan, tidak ada siapa-siapa lagi. Laporan selesai!"
"Bagus, berarti semua su di sini," gumam Akilas. Dia memandangi satu per satu wajah kelima tawanannya. "Trada protes, he? Trada komentar?"
Tentu saja kelima tawanan itu ingin menanyakan mengapa mereka harus menerima perlakukan ini. Namun pertanyaan mereka terhenti di ujung lidah.
Kedua tawanan wanita, terutama Komang, malah menunduk sambil sesenggukan. Melihat pertunjukan sadis yang baru saja ditampilkan, siapapun tahu, hanya dibutuhkan sepotong ucapan keliru untuk memantik sebuah pembantaian.
Bab Berikutnya