Siapa tak kenal Suara Surabaya (SS) 100 FM? Saluran radio ini nekat menyiarkan berita setelah beredar SK Menpen yang melarang radio swasta menyiarkan berita, memelopori civic journalism ketika trennya justru request lagu dan titip salam, menjadi radio pertama di Indonesia yang bersistem digital, pemancarnya pun kini digital.
Sejak 1999, SS Media telah memiliki situs web bernama SuaraSurabaya.net (SSNet), berisikan berita-berita, feature (seperti masakan Jawa Timur), galeri foto, rekaman siaran SS FM selama setahun, siaran daring 24 jam sehari dengan audiens internasional, dan sebagainya. Tingkat kunjungannya menembus angka lima juta per bulan. Padahal, lingkupnya hanya Jawa Timur.
Yang menarik, perbandingan pendengar online radio (yang tentu sekaligus pengakses SSNet) dari Indonesia dan mancanegara termyata 50:50. “Saya tidak bisa mengatakan ini kekuatan SS FM atau SSNet. Sudah rancu semua,” kata Errol Jonathans, Direktur Operasional SS Media, mengawali perbincangan kami.
Beberapa waktu lalu, kami beruntung berkesempatan mewawancarai orang nomor dua dalam grup SS ini. Berikut petikannya.
Awalnya, buat apa SSNet ini?
Saya mempelajari bahwa akan terjadi konvergensi antara media mainstream dengan IT. Konsekwensinya, akan muncul bentuk media baru. Webcasting yang merupakan perpaduan antara website dan broadcasting, contohnya.
SS beroperasi mulai 1983. Nah, supaya tidak hanya berjaya pada satu masa, SS kan harus menangkap segmen pendengar yang sudah mulai berkultur IT ini.
Di lain sisi, radio swasta semacam SS harus memberi laporan kepada agensi periklanan di Jakarta. Mereka suka bilang, “Aku mau pasang iklan di acaramu. Tolong, dong, kasih contoh programnya.” Ya akhirnya kami mesti membuat rekaman, terus dikirim. Kalau begini, lama-lama, kan, costly. Lalu saya berpikir, “Kalau saya bisa siaran online, bukankah yang di Jakarta bisa mengakses langsung?” Jadi, tujuan awalnya sesederhana itu.
Yang ada, radio on demand (dokumentasi siaran) atau radio daring (siaran langsung via situs) dulu?
Langsung radio daring. Saya bukan mau membuat portal berita. Tapi ingin praktis saja, untuk efektivitas dan efisiensi hubungan bisnis dengan agensi-agensi periklanan. Lagi pula, sudah saatnya SS mengglobal, walau kontennya lokal.
Masalahnya, ini harus ada organisasinya sendiri. Nggak bisa merangkap-rangkap. Jadi kami mulai dari mentranskrip materi-materi siaran, laporan reporter, kemudian dimuat. Lalu kami sadar, ini kan multimedia, nggak lucu, dong, kalau isinya cuma teks. Perlu ada gambar. Ditaruhlah reporter dan fotografer di sana. Lantas, sekitar tahun kelima, jadilah SSNet portal berita. Radio on demand merupakan perkembangan berikutnya.
Tapi yang terjadi kemudian, kadang terbalik-balik, info di SSNet sering dijadikan materi siaran. Jadi saya melihat SSNet dan SS FM sudah mulai setara. Dari segi visual bahkan SSNet unggul ketimbang SS FM. Kalau Anda masuk SSNet, ada Potret Kelana Kota. Itu yang tidak bisa dilawan SS FM. Sehingga, sering sekali penyiar buka gambar itu lalu cerita, misalnya, “Oh, kayak gini, to, semburan lumpur Lapindo itu.”
Tapi apa segmen SSNet sama dengan SS FM?
Nah! Itu yang banyak menjadi diskusi. Teman-teman SSNet berpendapat situs web punya karakter spesifik yang tidak bisa dipertemukan dengan radio arus utama. SSNet harus banyak memperhatikan kepentingan anak muda. Kasarannya, kalau mau menembak orang tua, percuma. Mereka rata-rata gaptek.
Tapi saya bilang ke teman-teman Redaksi, “Nggak, ini sejarahnya lain.” Anggaran SSNet masih ‘menyusu’ pada SS FM. Jadi, portal ini dihitung sebagai pengembangan radio.
Lagi pula ke depannya, ada tren visual radio. Itu sudah dikembangkan di Finlandia sekitar dua tahun lalu. Misalnya, di radio saya dengar Samsons, kok enak, ya, lagunya. Begitu saya ingin tahu lebih soal Samsons, saya tinggal klik. Keluarlah biografi, diskografi, berita, dan seterusnya. Sampai-sampai, kalau Samsons mau konser, saya bisa langsung beli tiket secara daring saat itu juga.
SSNet mau diarahkan ke sana?
Bukan mustahil. Visual radio versi SS ini tulang punggungnya justru pada SSNet. Di dalam Keputusan Manajemen, wacana visual radio sudah disuarakan. Eksekusinya saya targetkan 2010.
Apa hambatannya sejauh ini?
Kalau ini mau saya besarkan, kendala utama adalah pembiayaan. Karena online radio SS berkanal terbuka. Bandwidth-nya tak terbatas. Jadi biayanya naik-turun. Kalau yang mengakses banyak, kita memang senang, tapi biayanya jadi mahal. Kendala kedua adalah SDM. Orang yang melek IT banyak. Tapi kita butuhnya jurnalis multimedia. Ini yang tidak gampang.
Kelihatannya kompleks dan merepotkan, ya, kalau konsep visual radio dieksekusi?
Bukan saja merepotkan, tapi juga akan mengawali revolusi dalam struktur organisasi. Saat ini, saya punya empat unit: SS FM sebagai pusat, Giga FM, Mossaik Communication, dan SSNet. Tapi nanti bisa saja pusatnya justru di SSNet. Sebab, visual radio itu nanti urusannya dengan konten.
Sudah siap, Pak, seandainya SS FM kehilangan pamor dan digantikan radio yang lebih sophisticated?
Bukan kehilangan pamor. Karena saya harus realistis juga, apakah konsumen sudah siap? Katakanlah 2010 berhasil, FM 100 tetap jalan, visual radio jalan. Segmennya pun sendiri-sendiri: Old people dan people. Saya tidak akan mengubur SS FM. Tapi, suatu saat ia akan terkubur sendirinya, ketika zaman sudah tidak membutuhkan yang beginian. Tapi itu masih lama, karena perkembangan Indonesia itu lamban.
Saya ke Singapura sekitar tiga tahun yang lalu. Di sana, jumlah stasiun radionya tidak sampai 20, tapi visual radio-nya sudah dua.
Mereka juga punya program smart taxi, taksi yang dilengkapi layar untuk radio dengan akses visualnya. Sudah ada 500 taksi, waktu itu. Ini juga sudah dikembangkan di Korea, Australia, dan mereka akan mulai masuk ke Malaysia dan Brunei. Terus saya tanya, “Kok, bukan Indonesia? Kemacetan di Jakarta, kan, memungkinkan waktu menontonnya lama.”
Lantas mereka menjawab, “Maaf, negaramu itu complicated. Regulasinya tidak jelas.”
Jadi, sampai sekarang, di Indonesia belum ada yang beginian. Ini bukan kegilaan atau ambisi saya. Ini keniscayaan idealisme yang terbentuk secara alamiah. Di luar sana sudah begini. Tapi SS pun harus selalu konek dengan konsumennya. Kalau terlalu cepat kita melangkah, SS akan berada di puncak gunung sendirian, tanpa massa.
- Foto dipinjam dari SuaraSurabaya.net