Penuh warna. Mungkin itulah frasa yang bisa saya berikan untuk menggambarkan masa kecil Seno Gumira Ajidarma. Anak pertama dari dua bersaudara ini gemar sekali melawan aturan sekolah, sampai-sampai harus diskors dan dicap sebagai penyebab setiap kasus.
Contohnya banyak, seperti mengajak teman-temannya tidak ikut kelas wajib koor di SD. Juga saat SMP, dia tidak mau memakai ikat pinggang, dan seenaknya mengeluarkan baju. Jika yang lain mengenakan baju putih, dia akan mengenakan pakaian batik. Jika yang lain berambut pendek, dia malah menggondrongkan rambutnya.
Siapa Seno Gumira Ajidarma (SGA)
Sastrawan, fotografer, komikus dan kritikus film Indonesia yang biasa menggunakan tokoh Sukab dalam tulisan-tulisannya ini sedari kecil memang susah diatur. Pepatah “buah jatuh tak jauh dari pohonnya” tidak berlaku lagi. Perangai Seno bertolak belakang sekali dengan ayahnya, Prof. Dr. MSA Sastroamidjojo, guru besar Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada.
Walau nilai untuk setiap pelajaran ilmu pasti saat di sekolah tidak jelek-jelek amat, Seno tak suka aljabar, ilmu ukur, dan berhitung.
Setelah lulus SMP, Seno pun enggan bersekolah. Terpengaruh cerita petualangan Old Shatterhand di rimba suku Apache, karya pengarang Jerman Karl May, Seno mengembara selama tiga bulan. Berbekal surat jalan dari RT Bulaksumur yang gelarnya profesor doktor, dia menggelandang ke Jawa Barat hingga Sumatra.
Ceritanya seru seperti di film-film: Menyeberang sungai, naik kuda dengan sepatu mocasin (model bot yang ada bulu-bulunya). Seno juga sempat jadi buruh pabrik kerupuk di Medan.
Pernah, lantaran kehabisan ongkos, pria berbadan tinggi besar ini meminta duit kepada ibunya. Namun, ibunya malah mengirim tiket untuk pulang. Ya sudah, Seno pulang, dan akhirnya meneruskan sekolah.
Seno sengaja memilih SMA yang boleh tidak mengenakan seragam, sehingga dia bebas memakai celana jins. Komunitas gaul yang dipilihnya pun bukan teman-teman di lingkungan elite rumah orang tuanya, perumahan dosen Bulaksumur. Melainkan komunitas anak-anak jalanan yang suka tawuran dan ngebut di Malioboro.
SGA Nakal, tetapi Melek Literasi
Secara fisik, Seno memang tak ada bedanya dengan anak-anak jalanan itu. Yang tidak mengenalnya dekat pasti tidak tahu apa yang membedakan Seno dengan anak-anak itu: Seno remaja adalah seorang pembaca buku yang sangat lahap
Meski tak bercita-cita menjadi penulis, di SMA pada tahun 1974, Seno mulai menulis. Dia mewajibkan dirinya menulis karena suka membaca.
Seno Gumira Ajidarma terobsesi menguasai tulisan. Tertarik puisi-puisi mbeling-nya Remy Sylado di Majalah Aktuil Bandung, Seno pun mengirimkan puisi-puisinya dan dimuat. Seno lalu tertantang untuk mengirim puisinya ke majalah sastra Horison. Waktu itu usianya baru 17 tahun, tetapi pusinya sudah berhasil menembus majalah sastra Horison.
Kalau sekarang Seno menjadi sastrawan, sebetulnya bukan itu mulanya. Awalnya, dia mau jadi seniman biasa yang bisa bahagia hidup apa adanya. Untuk itulah, walau tak mengerti tentang drama, dua tahun Seno ikut teater Alam pimpinan Azwar A.N.
Seno Gumira Ajidarma Mulai Berkarya
Menjadi seniman yang dia lihat tadinya bukan karya, tetapi Rendra yang santai, bisa bicara, hura-hura, nyentrik, rambut gondrong, dan beristri cantik. Namun begitu sadar seniman itu harus punya karya, barulah Seno mencoba berkarya dengan menulis cerpen dan esai.
Pada usia 19 tahun, pria yang kadang-kadang menulis inisial SGA di karya-karyanya ini sudah bekerja menjadi wartawan koran. Awalnya, karena Seno butuh uang untuk menikahi Ike. Dan memang kemudian mereka menikah.
Di usia yang ke-20, anaknya, Timur Angin, lahir. Praktis, kesempurnaan hidup sudah direngkuhnya dalam usia 20 tahun. Di tahun itu juga, pria kelahiran 19 Juni 1958 di Boston, Amerika Serikat ini masuk Institut Kesenian Jakarta (IKJ), jurusan Sinematografi.
Rupanya, walau berseberangan secara pemikiran, Seno tetap menuruni darah ilmiah yang mengalir deras di keluarganya. Ayahnya bergelar PhD di bidang Fisika dan dikenal sebagai ahli energi alternatif. Ibunya, Poestika Kusuma Sujana, adalah dokter spesialis penyakit dalam.
Prestasi dan Karya Seno Gumira Ajidarma
Tak heran, Seno terlihat enak saja menikmati jenjang pendidikan Sarjana (S-1) Fakultas Film & Televisi IKJ, Magister (S-2) Ilmu Filsafat Universitas Indonesia, dan Doktor (S-3) Ilmu Sastra Universitas Indonesia. Semua itu diselingi berbagai proses kreatifnya seperti membuat novel, naskah drama, skenario film, komik, cerita pendek, kolom, dan esai.
Cerpen-cerpennya banyak muncul di harian Kompas, Media Indonesia, Republika, Koran Tempo, Matra, Djakarta!, Horison, dan Latitute. Cerpen Sebuah Pertanyaan untuk Cinta pernah difilmkan dan ikut serta dalam Jakarta International Film Festival (JIFFEST).
Pada tahun 1987, Seno mendapatkan SEA Write Award. Cerpennya, Pelajaran Mengarang, terpilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas 1993. Pada tahun 1997, berkat kumpulan cerpennya, Saksi Mata (1994), Seno memperoleh Dinny O’Hearn Prize for Literary. Itu belum termasuk Negeri Senja (2004) yang akhirnya mendapat Khatulistiwa Literary Award 2004.
Saksi Mata merupakan satu bagian dari trilogi Insiden yang mengandung fakta seputar insiden Dili yang ditabukan media massa semasa Orde Baru. Bersama roman Jazz, Parfum & Insiden dan kumpulan esai Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara menjadi dokumen tentang bagaimana sastra tak bisa menghindar untuk terlibat secara praktis dan konkret dalam persoalan politik, apabila politik kekuasaan itu menjadi semakin tidak manusiawi.
Di masa reformasi, kewaspadaan atas perilaku kekuasaan tidak bisa dilepaskan. Ketiganya diterbitkan ketika Orde Baru masih berkuasa. Di masa reformasi, ketiga buku itu diterbitkan kembali untuk saling mengingatkan dan meningkatkan kewaspadaan atas perilaku kekuasaan.
Buku-buku Seno Gumira Ajidarma yang lain antara lain Manusia Kamar, Sang Buronan, Wisanggeni, Kitab Omong Kosong, Penembak Misterius, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, Sebuah Pertanyaan untuk Cinta, Kematian Donny Osmond, Iblis Tidak Pernah Mati, Matinya Seorang Penari Telanjang, Sepotong Senja untuk Pacarku, Surat dari Palmerah, Biola Tak Berdawai, Kisah Mata, Kalathida, dan Linguae.
SGA Siap Menjadi “Tukang”
Seno selalu menganggap segala pekerjaan menulisnya ibarat jadi tukang. Hampir mirip dengan prinsip pertukangan milik Stephen King, menurutnya, menjadi tukang tidak cukup berbekal keterampilan. Ada pergulatan yang intens. Tukang kayu harus mengenal kayu secara personal. Petani harus mengenal cuaca, tanah, air, benih, secara personal.
Keangkuhan para intelektual membuat rendah derajat tukang. Padahal di dalam “pertukangan” ada kesempurnaan, yang di dalamnya ada penghayatan, ada pengetahuan yang mendukung.
Kesibukan Seno sekarang, selain mengajar di IKJ pada mata kuliah Penulisan Kreatif dan Kritik Film dan bekerja di Pusat Dokumentasi Jakarta, adalah membaca, menulis, memotret, membuat komik, dan jalan-jalan.
Setidaknya, begitulah yang saya tahu tentang seorang Seno Gumira Ajidarma.
saya mengenal SGA dari tulisan**nya di majalah Intisari. tulisannya khas dengan kalimat** yang panjang. Saya gak ngerti, itu bagus atau malah buruk. Tapi kalau saya sendiri, kok jadi capek ya baca kaliamat ** panjang gitu. Tapi isinya sich emang oke. Salut buat SGA.
Memang jika ditilik dari rentetan karya-karya awal hingga karya terkini, SGA punya gaya eksplorasi bahasa cerita yang kuat. Wah masak dari sekian buku-buku SGA kamu malah mengenalnya dari majalah intisari? Coba deh baca kumpulan cerpen atau novelnya, dijamin asyik!
hiiiii
http://www.arba7k.com
sejauh ini saya belum mendapat kesempatan untuk membaca karya pak Seno (karena kantong tekor) selain adaptasi Biola Tak Berdawai. Saya belum menonton filmnya, tapi novel tersebut bagus sekali.
Trims, sudah mampir di sini, Calvin. Kantong tekor? Di perpus kan banyak juga karya-karya SGA. Gratis. Baru beli kalau benar-benar suka, hehehe. Setidaknya itu prinsipku selama ini. Lebih tepatnya: Prinsip Ekonomi 🙂
ada karya SGA yang mas rori bisa rekomendasikan untuk saya? jangan berat2 euy, soalnya kalau terlalu sastra saya pusing juga sih. Novel tebal indonesia terakhir yang saya baca adalah Kerudung Merah Kirmizi pas SMU, praktis abis itu udah ga terlalu aktif baca, soalnya buku2 sekarang mahal. 🙁 (pengen baca rahasia Meede, tapi masya allah, harganya…)
gabung ya…, rori kayanya mengenal betul SGA ya, saya syandra, sdaya kuliah di Fak. Sastra (S. Indonesia) UNPAD. ya sebagai individu yang dituntut untuk memahami sastra, Seno dan karyanya cukup bisa membuka pemikiran2 yang baru untuk saya.
gabung ya…, rori kayanya mengenal betul SGA ya, saya syandra, saya kuliah di Fak. Sastra (S. Indonesia) UNPAD. ya sebagai individu yang dituntut untuk memahami sastra, Seno dan karyanya cukup bisa membuka pemikiran2 yang baru untuk saya.
Terima kasih buat Calvin dan Syandra. Selamat bergabung.
Saya pertama kali mengenal SGA dari cerpen-cerpen di media massa, juga kemudian dari buku-buku kumpulan cerpen terbaik kompas. Kebanyakan dari sana saya mendapati cerpen-cerpen yang menghibur, sarat muatan sosial, dan jauh dari kesan rumit, mungkin terlalu imajinatif, seperti “Penembak Misterius” atau “Sepotong Senja Untuk Pacarku.”
Saya rasa SGA merupakan satu di antara penulis-penulis yang semua karyanya enak dibaca oleh siapapun.
Saya dulu pernah menulis Skripsi tentang karya-karya SGA, terutama cerpen. Dan saya sangat suka gaya dia berceritanya. sejumlah cerpen SGA mengilhami saya dalam menulis cerpen. Tapi sayang kumpulan cerpen “Penembak Misterius” hilang.
Sejak kuliah saya suka SGA!!!! Saya suka cara dia bertutur tentang hidup..cinta..juga tragedi…terasa jujur. Bagi saya, membaca Seno memberikan banyak perspektif baru…terutama saya jadi yakin Life is just a sweet misery, hanya perlu dijalani sepenuh hati..tanpa ketakutan atau ekspektasi berlebihan..hallah..
Saya paling suka sepotong senja untuk pacarku, manusia kamar juga Surat…Epilog dalam Parfume, jazz dan insiden. Sayang..kumpulan cerpen Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta..hilang beberapa tahun lalu. Thanks Rori..
Wow, membaca komentarnya seperti membaca potongan puisi, terutama bagian “life is just a sweet misery, hanya perlu dijalani sepenuh hati, tanpa ketakutan atau ekspektasi berlebih”. Mantap….
Tapi rasanya siapapun yang pernah membaca SGA akan mengangguk-angguk setuju plus idem. Trims juga buat Tesi.
Seno? Memang imajinatif. Kreativitasnya juga mbludag. Beberapa tanggapan tentang berkaitan dengan kalimat-kalimat yang bersayap, saya ikut mengamini. Lihat lagi, tulisan-tulisan tentang para Walisanga di majalah Intisari, para kartunis, juga beberapa penjelajahan yang disertai foto dihitam-putihkan. Atau barangkali Seno sudah mulai sampai pada perenungan tertentu yang kita belum mencapainya? Walahualam!
Sejak muda SGA memang tidak sekedar berkutat di dunia tulis menulis fiksi, minatnya meruap di ranah teater, jurnalistik, fotografi,
komik, film, dll. Kalau masalah perenungan, mungkin sudah siklusnya. Ketika kita mencapai umur tertentu, sebagian orang yang merasa pencariannya sudah tuntas akan berubah jadi bijak. Tapi ada pula orang yang terus mencari, nah inilah yang kadang menjadikan seseorang jadi sulit kita pahami dengan jalan pikiran kita. Trims buat Pak Eko.
seno emang cihuy bgt dah =)
sungguh saya kagum pda bapak Seno. Karena saya benar-benar merasakan bahwa ” Ketika JURNALISTIK di bungkam , sastra harus bicara”. Teruslah berkarya
@nisa-afganisme yippie!!!!!!!!!
Oh, jadi seperti ini ya kehidupan penulis indonesia modern favoritku. pingin download karya2nya yang belum aku punya tapi dimana ya downloadnya?
.-= awan´s last blog .. =-.