Self Publishing atau Major Publishing?

Self Publishing atau Major Publishing?

Ditolak penerbit memang menyakitkan. Saya pernah mengalaminya. Dalam keadaan patah hati sekaligus sebal dengan arogansi penerbit, terbesit pemikiran untuk menerbitkan naskah sendiri alias self publishing. Apalagi setelah terinspirasi kesuksesan Dewi Lestari dengan Supernova-nya atau Rachmania Arunita dengan Eiffel I’m in Love-nya.

Sebenarnya, ada banyak yang harus dipersiapkan untuk menerbitkan buku sendiri. Mulai dari modal, desain dan layout, hak cipta, skala penerbitan, percetakan, harga buku, distribusi, promosi, kalkulasi modal, juga International Standar Book Number (ISBN).

Namun, apa self-publishing seribet itu?

Saya coba mewawancarai Sundea, pengelola blog Tobucil dan penangkap keseharian. Dea, panggilan akrabnya, sudah menulis dua buku: Salamatahari dan Dunia Adin. Salamatahari diterbitkan sendiri.

“Menerbitkan sendiri artinya kita bisa bebas memperlakukan karya kita,” kata Dea, “tidak terikat konsep perusahaan, tidak ada kesepakatan dengan editor. Memang sih, kalau diterbitkan major label, kita tinggal teken kontrak dan terima royalti. Editing sampai promosi buku mereka yang urus. Namun konsekuensinya, kita jadi nggak bebas, capek hati. Sementara kalau self publishing, kita capek fisik, tapi hasilnya bisa sesuai keinginan.”

Berapa, sih, modalnya? Penyiar salah satu radio swasta di Bandung ini mengaku tidak mengeluarkan sepeser pun untuk menerbitkan buku yang dicetak 1.000 eksemplar itu.

Hah?

Yah, “Karena dibantu teman-teman. Pertamanya, minta teman-teman memilih cerita. Lalu, teman yang bisa menggambar membuat ilustrasi. Yang bisa mencetak, ya mencetak,” jelasnya enteng.

Selain itu, teman-teman Dea juga mau terjun mendistribusikan dan mempromosikan Salamatahari. Seperti Tobucil, Lawang Buku, dan toko-toko buku independen lainnya, serta stasiun radio di Bandung.

Mungkin Dea beruntung memiliki teman-teman yang tidak mengharap apa-apa selain agar semakin banyak orang yang menikmati kehangatan cerita-cerita Salamatahari. Bagaimana bila kita tidak semujur itu?

Saya mendapat informasi bahwa dengan modal sekitar Rp30 juta kita bisa mencetak 3.000 eksemplar novel setebal 200 halaman. Lalu jika distribusinya menggunakan profesional, tolong dicatat, diskon yang mereka minta (yang akan dibagi dengan pihak toko buku) berkisar 35—60%.

Langkah membayar profesional ini praktis bila Anda tidak punya waktu dan teman-teman yang militan dalam memasarkan buku Anda, seperti Dea.

Sundea

Saat ini, Dea bahkan sudah mulai mempersiapkan Salamatahari 2. Masih self-publishing. Tapi ilustrasi, desain, dan layout-nya dikerjakan orang yang berbeda, Erri Nugraha. Salamatahari 2 juga baru akan dicetak setelah ada yang memesan (metode print on demand).

Tak mau tanggung, Dea sekarang serius mempelajari bidang penerbitan. Dibantu teman-temannya di Dipan Senja, Dea belajar mengalkulasi modal, merencanakan launching, dan sebagainya.

Bagaimanapun, saya pikir kelengkapan hak cipta juga perlu dilirik. Anda bisa mendaftarkan dan memproteksi hak cipta karya secara hitam di atas putih dengan tarif 1,6 jutaan. Memang, begitu sebuah karya terlahir, penciptanya otomatis memperoleh hak cipta yang dilindungi pemerintah.

Namun, hak cipta ini tanpa sertifikat. Sehingga bila suatu hari ada yang nakal, dan ternyata dia yang punya sertifikat, Anda akan kesulitan membuktikan karya Anda di muka hukum.

Oh ya, saya tadi bicara ISBN, jadi saya coba menerangkannya sedikit. Setiap judul buku, kalau mau serius, perlu identitas yang diakui secara internasional. Pencantuman ISBN dan barcode di sampul buku ini di samping untuk kode identifikasi produk yang diperlukan pihak toko buku, juga dibutuhkan penerbit serta penulis untuk membangun citra global.

Ke mana mengurusnya? Ke Tim ISBN/KDT Perpustakaan Nasional RI, Jl. Salemba Raya 28 A, Jakarta. Biayanya seingat saya Rp25.000 per judul. Satu hari seharusnya selesai, tapi tahu lah, PNS. Info lebih lanjut silakan kunjungi situs webnya.

Self publishing bukanlah pekerjaan mudah. Terutama jika jaringan Anda kurang. Seperti saya, hehehe. Saya hanya bisa menulis. Jadi, menerbitkan melalui penerbit lain (mayor, indie, maupun platform menulis), barangkali pilihan yang tepat.

Eh, tapi, saya pun keras kepala dan susah tunduk pada kemauan orang lain. Saya ingin menentukan sendiri bagaimana karya saya akan dipublikasikan. Maka, self publishing mungkin menarik juga.

Bingung. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya, sih.

Anda sendiri pilih yang mana? Atau mau mengikuti langkah Sundea? Cewek penggemar matahari ini berniat terus di jalur self publishing sampai ada penerbit yang beridealisme sama dengannya.

BAGIKAN HALAMAN INI DI

24 thoughts on “Self Publishing atau Major Publishing?”

  1. Kalau aku, lihat self pub atau major pub spt bernapas ama mulut atau hidung. Pakai mulut, akan lbh banyak udara yang masuk. Tp nggak ada filternya (bulu hidung). Jd pastikan dulu udaranya emang bersih.

    Sedangkan kalau pakai hidung dan udaranya kotor, kita bisa bersin2. Bersin2 tuh nggak enak. Tp merupakan alarm ada yg salah.

    Reply
  2. Your post is quite a fair entry about POD and traditional publishing. It doesn’t matter what your book is about. It all boils down to the decision of the writer whether to go with traditional publishing, or to self-publish. Each has its own risks and perks. Just don’t forget to establish thriving book marketing plan. And even when all else fails, don’t quit.

    Keep on writing, we believe in you–always.

    Sincerely,
    BookWhirl.com
    You have the book…We have the Marketing Resources.

    Reply
  3. @Dina
    Iya, Dea beruntung banget ya. Dia banyak temen juga sih. Jd, salah satu cara buat bisa self-publish adalah banyak temen. Yg bisa dimintai tolong, tentunya, hehehe.

    @Brahm
    He-eh, pastikan nggak salah milih & salah langkah. Kalo serba salah, tetep aja berabe.

    @BookWhirl.com
    Yes, keep on writing. That’s what Dea always says to me. So, publishing is important but the most important is that we’re always writing because it’s a proof that we can write and we have talent, then people would see…
    .-= rie´s last blog ..Self Publishing or Major Publishing =-.

    Reply
  4. blum baca sampe kelar sih
    tapi kayaknya ga tertarik ah!

    hehehe

    masih mending di serain ke penerbitnya
    sakit ati sakit ati dah

    Reply
  5. Yes, i strongly agree with you to keep on writing. By keeping on, you will hone your talent and eventually, you will improve. In case you want to advertise your book for free, please avail of our free ad listing service which is located on this link: http://www.bookwhirl.com/Online-Directory-Listing.php

    Thank you very much.

    Sincerely,
    BookWhirl.com
    You have the book…We have the Marketing Resources.

    Reply
  6. @ariez
    Oke, oke, Riez. Terserah kamu aja hehehe. Aku sih tergantung jenis naskahnya aja. Tp sepertinya aku nggak sanggup self-publish deh, mendingan dikasih ke penerbit biarpun yg indie label.

    @BookWhirl.com
    Thak’s a lot.

    @Arianto Sam
    Sukses juga ^_^
    .-= rie´s last blog ..Wallow in Red Rat Temple =-.

    Reply
  7. Hehehe … “Salamatahari 1” nerbitinnya emang “sekedar seneng-seneng”, tapi yg ke dua ini lebih serius dan harus lebih profesional, termasuk pemasarannya. Temen-temennya juga sekarang lebih profesional biar sistemnya bisa lebih kuat dan jalan lebih lama.

    Tapi tetep menyenangkan, kok. Kayak punya sesuatu yg seutuhnya punya kita sendiri aja. Moga2 ini berhasil ^_^

    Ayo, Temen-temen, jangan berenti nulis. Tulis apa yg kamu memang mau tulis . Hal yang ditulis dengan tujuan baik pasti akan nemuin sendiri pembacanya, Dea percaya. Yang perlu dijaga terus passion nulis sama semangat untuk nyarinya … =D

    Don’t give up, what’s real can’t die 😉
    .-= Sundea´s last blog ..Behind the Scene Salamatahari : Menjemur =-.

    Reply
  8. Saya juga baru menerbitkan novel kedua saya secara indie, judulnya Partisi Hati. memang sangat menantang n butuh perjuangan agak ekstra untuk memasarkannya, tapi kepuasan batinnya dapet. Hidup Penulis Indie…!!

    Reply
  9. Do you know of a good self publishing comapny in Indonesia with distrubtion ,please recommend.
    Thank you and Selamat Hari Raya Adilfitri

    Reply
  10. kayaknya menarik self publishing itu, ketimbang antri dan ditolak mulu sm penerbit mainstream.. 🙂

    tp ada 2teman saya yg sudah terbitin buku lewat jalur self publishing, tp koq kedengarannya repot banget, khusunya di tahap promosi dan distribusi ?

    oh yah, buat teman yg sudah terbitin buku di jalur ini, dibawah ini link dr kompasiana.com ttg ” 7 tips memasarkan buku self publishing”

    http://hiburan.kompasiana.com/buku/2011/01/06/7-tips-pemasaran-buku-produk-self-publishing/

    semoga bermanfaat..
    salam
    anto´s last blog post ..Vira Cla Self Publishing Model Print on Demand itu Passive Income

    Reply
  11. Itu dia. Self-publishing kan harus melakukan segala sesuatunya sendiri, termasuk urusan distribusi dan promosi. Kalo lewat major kan memang ada yg mengurusi.

    Reply

Leave a Reply to Rie Cancel reply

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Don't do that, please!