Satin Merah di Mata Suparto Brata

UNESCO menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Bahasa Ibu Internasional. Maksudnya agar pada hari itu masyarakat dunia memperingati bahasa ibunya masing-masing, misalnya dengan berbicara bahasa etnis lokalnya. Sebuah ide yang bagus! Tahukah kalian, kenapa bahasa etnis harus dipelihara, dilestarikan dan dikembangkan?

Sejak semula, Tuhan menciptakan bangsa-bangsa di dunia dalam berbagai golongan. Masing-masing memiliki budaya dan bahasa. Itulah keindahan mozaik budaya. Sayangnya, kemudian banyak budaya dan bahasa etnis yang punah. Bahkan kata David Crystal, tiap dua minggu ada saja bahasa etnis yang punah! Ia tidak lagi digunakan oleh orang lokal daerah itu.

Nah untungnya, penutur bahasa Sunda tergolong masih banyak. Menurut World Directory of Minorities tahun 1997, sekitar 31 juta orang saat itu tetap setia bercakap dalam bahasa Sunda.

Entah bagaimana data itu diperoleh (dan apakah akurat). Mungkin itu hasil penafsiran dari data lain. Misalnya data penduduk Jawa Barat pada tahun 2007 ada sekitar 41,5 juta jiwa, berarti penutur bahasa Sunda tidak akan terlalu jauh dari angka itu. Lumayan banyak. Masih jauh dari ancaman kepunahan.

Tapi senasib dengan bahasa etnis lainnya yang dikepung budaya modern, banyak orang Sunda mulai menolak takdir sebagai orang Sunda. Sebagian putra Sunda tanpa merasa berdosa berhenti bertutur Sunda. Mereka lebih memilih berbahasa gaul ala anak muda Jakarta.

Pergolakan-pergolakan semacam itulah yang melatarbelakangi kisah Satin Merah. Tokoh utamanya seorang gadis cerdas yang dijuluki Julie Estelle versi malas dandan. Nindhita Irani Nadyasari alias Nadya. Lalu perhatikan apa yang dikatakan ayahnya yang kaya:

"Kamu ini ya, Sastra Sunda aja dipikirin! Ngapain sih, mau-maunya! Biar orang desa yang lebih berbakat kesenian yang ngurusin perkara remeh gitu. Di keluarga kita, nggak ada darah-darah sastrawan, tahu nggak! Kamu mau jadi apa, Naaak, ngurusin sastra itu mau jadi apaaaa! Orang kere di Indonesia ini sudah banyak!"

Di sini diceritakan, baik secara stereotip maupun detail, permasalahan bahasa dan Sastra Sunda, tapi dengan suasana gita ria pelajar SMA Priangan 2 Bandung pada zaman yang disebut futuris kondang Alfin Toffler sebagai Abad Informasi. Ya, tokoh-tokoh Satin Merah begitu fasih memanfaatkan internet, sembari bicara ringan tentang sastra daerah.

Eloknya lagi, salah seorang pengarangnya, Brahmanto Anindito, adalah arek Suroboyo. Tentu dia mengusung budaya Arek, budaya yang lumayan jauh dari bumi parahyangan yang menjadi setting Satin Merah.

Lalu pembaca kedua setelah pengarangnya adalah Suparto Brata, seorang pejuang sastra etnis Jawa yang sependeritaan dengan Sastra Sunda, yang meskipun sudah menulis dan menerbitkan buku berbahasa Jawa lebih dari 40 judul, sifatnya masih self publishing.

Bukan karena seperti Langit Kresnahariyadi yang ingin menggaruk royalti lebih besar saking larisnya, tapi lebih karena seperti yang dikatakan tokoh Lina Inawati, "Di situ penerbit melihat potensi penjualan noveletmu kecil. Bahasa Sunda lagi... aduh!"

Ubek-ubekan mengenai Sastra Sunda ini membuat saya tercengang sejak awal membaca Satin Merah. Saya benar-benar merasakan apa yang ditulis di sini persis dengan manis-asamnya keadaan sastra daerah yang saya perjuangkan.

Tapi tunggu dulu! Jangan menganggap Satin Merah hanya bicara soal Sastra Sunda. Ada hal lain yang membuat saya bergairah: genre misteri atau detektif.

Di genre detektif, menurut A. Teeuw dalam buku Sastra dan Ilmu Sastra (1984), harapan pembaca dapat dikatakan terpenuhi bila ada orang yang terbunuh, ada keraguan yang disengaja tentang watak tokoh. Ada detektif yang lebih pintar dari semua pelaku, ada ketegangan yang terus-menerus. Dan puncaknya, terpecahkannya misteri.

"Lina menyimpulkan itu dari satu postingan sebelum postingan terakhir di blog ProSunda.blogspot.com. Dia bicara soal Densus 88 yang tugasnya sudah enteng dengan terbunuhnya gembong teroris paling dicari: Noordin M. Top. Akibatnya, jajaran Polda–terutama satreskrimnya–bisa kembali fokus menangani kasus-kasus pidana yang dulu sempat ditunda. Artinya, pelaku merasa waktunya tidak lama lagi."

Ada pepatah, "Jangan mati dulu sebelum melihat Roma." Anjuran saya, jangan berhenti dulu membaca urut buku ini sebelum tahu arti "satin merah" yang jadi judul buku, dan bagaimana semua itu berakhir.

Selamat membaca dan berkepuasan!


Suparto Brata (Surabaya)
Pemenang Hadiah Rancagé 2000, 2001 dan 2005, peraih South-East Asia Write Award 2007