Aku ingin menulis tentang orang tak bisa menulis yang terobsesi menulis. Ide cerita semacam ini sudah lama antri di otakku, menunggu untuk dilayani. Di alam angan, ide tersebut mewujud sebagai novelku yang keempat atau kelima. Tapi, fakta ternyata berbicara lain. Ide itu lancang menyerobot antrian, dan malah menjadi novelku yang kedua.
Ini terjadi setelah aku mengajak Rie berduet menulis novel, tapi tak kunjung menemukan ide cerita. Setengah ragu, aku keluarkan tabungan ideku. Eh, dia setuju. Ya sudah. Di sinilah Satin Merah berawal.
Tapi kenapa aku mengajak Rie? Ada beberapa alasan. Yang pertama, aku suka tulisannya yang sederhana, mudah dipahami, dan rapi.
Sumpah, aku benci tulisan tak rapi. Karena akan ribet mengeditnya. Itulah kenapa setelah sempat menjalani profesi sebagai editor, pelan-pelan aku ilfill dengan cita-cita semasa SMA dan kuliah itu. Sebab dengan menjadi editor, aku harus siap menghadapi tulisan orang-orang yang tidak rapi. Mana tahan! Jiwaku bukan editor, ternyata.
Alasan kedua, aku tak ingin mengulang setting Surabaya di novel pertamaku, sekalipun aku orang Surabaya. Sejak awal, aku memang ingin tokoh utama novel-novelku tidak hanya dari satu suku atau daerah. (Lihat nanti, novel ketigaku pasti tidak bersetting Surabaya atau Bandung lagi.)
Dengan begitu, fiksi tidak hanya berhenti sebagai hiburan, melainkan juga penambah wawasan tentang keragaman budaya Indonesia. Sekaligus media promosi terselubung wisata Indonesia, kalau novel-novel itu sampai diterjemahkan ke bahasa negara lain.
Tengoklah berapa banyak orang yang ingin pelesir ke Mesir setelah membaca Ayat-ayat Cinta. Aku pikir, kenapa tidak sebaliknya? Kita buat cerita bersetting Indonesia yang membuat, misalnya, orang Mesir berhasrat melancong kemari?
Fiksi pun sebenarnya merupakan strategi untuk menjaring wisatawan. Ampuhkah? Sedikit-banyak. Tapi, hei, aku kan bukan bagian dari Dinas Pariwisata. Jadi, tak usahlah membicarakan ampuh-tidaknya "iklan" ini.
Aku cuma ingin menghibur, memberi sedikit wawasan tentang daerah-daerah tertentu di Indonesia melalui novel-novelku. Ini bagian dari rasa syukurku atas anugerah terlahir di negara kaya budaya sekelas Indonesia.
Nah, mumpung ada Rie yang mojang Bandung, aku coba mengangkat tema Sunda. Terakhir, aku dolan ke kota berjuluk Paris van Java itu sewaktu SD. Jadi bisa dibilang aku tidak tahu apa-apa soal Bandung.
Bisa saja aku baca berita-berita Bandung atau lihat lokasinya di Google Earth. Tapi tetap saja, aku takkan luwes menulis Bandung tanpa bantuan orang Bandung. Aku tetap takkan tahu, misalnya, rute, keadaan angkot, atau detail jalan-jalan di sana. Memoriku soal Bandung sudah nyaris nol, saat itu.
Di luar itu, aku ingin menulis novel yang tokoh utamanya wanita remaja. Sebelumnya, novelku kan ditokohutamai pria muda. Masa' ini lakonnya pria muda lagi? Bisa-bisa orang menganggapku tidak kreatif, "Ah, tokoh-tokohnya kok mirip penulisnya terus sih!"
Yah, aku seorang pria. Berpola pikir pria. Jadi, saat menulis tokoh pun terasa kepria-priaan, meskipun yang ditulis itu tokoh wanita. Rasanya sudah waktunya aku belajar menulis tokoh utama wanita yang benar-benar wanita. Rie mentorku. Melalui proses kreatif Satin Merah ini, aku menyerap sense of a girl darinya.
Dan bekerja sama dengan Rie ternyata membawa rezeki tersendiri. Naskah kami langsung diterbitkan oleh penerbit besar dalam sekali bidik! Bandingkan dengan novel pertamaku yang ditolak oleh empat penerbit dan baru terbit setelah dua tahun naskah pertamanya diselesaikan.