Bab I Novel Satin Merah

Pada siang yang terik, Juni 2009, Polsek Margacinta diributkan oleh laporan dua wartawan buletin Kumaha Damang, Nakula dan Sadewa. Kedua remaja itu menemukan calon nara sumber mereka, Yahya Soemantri, tidak berada di rumahnya. Ilalang di pekarangan rumah pujangga Sastra Sunda itu sudah selutut orang dewasa.

Rumahnya sendiri berdebu, tapi tak satu pun pintu terkunci. Satu-dua buku berserakan, pertanda ada kehidupan di sana. Semua tampak normal. Kedua pelapor itu ingat betul, Yahya memang bukan orang yang pandai mengurus rumah.

Yang membuat mereka mencium gelagat buruk adalah gundukan tanah di pekarangan belakang. Gundukan seukuran 1 x 2 meter.

Awalnya, si kembar itu mempertanyakan hal tersebut di warung kopi yang berada sekitar satu kilometer dari lokasi. Sayang, tak ada yang bisa memberi keterangan memuaskan, selain desas-desus bahwa Yahya orang yang pendiam, jarang bergaul dengan masyarakat sekitar sejak istrinya meninggal. Mereka pun tidak tahu-menahu kalau di rumah Yahya ada kuburan.

Atas rekomendasi warga, Nakula dan Sadewa memutuskan melaporkan gundukan tersebut ke polsek setempat.

Siang itu juga, Kapolsek mengirim tim kecil untuk menyisir rumah Yahya.

Gundukan dibongkar.

Dahi AKP Herman Tri, Kanitreskrim Polsek Margacinta, langsung berkerut. Sesosok mayat laki-laki tua terbaring di galian yang dibuat Affan, anak buahnya.

Di kamar mandi, ada yang lebih mencurigakan. "Coba bongkar ini, Fan. Keluarin dulu airnya."

"Siap, Ndan!" Affan segera menyingsingkan lengan seragamnya.

Lima menit kemudian, hasil kerjanya terlihat.

Herman dan Affan menahan napas melihat pemandangan di depannya. Lagi-lagi mayat. Jasad manusia terbujur kaku di balik bak mandi itu. Mata Herman kembali menganalisis fisik korban, "Pria. Dewasa. Berkumis tebal. Kepala agak botak. Mata dan mulutnya terbuka."

Sorenya, berita itu sudah sampai ke telinga Lina Inawati, dosen Sastra Sunda Universitas Padjajaran. Wanita 42 tahun itu mengurut-urut dahinya. Tak habis pikir kenapa beberapa orang terdekatnya meninggal satu per satu, dalam waktu yang tidak terpaut jauh. Dua kematian yang terakhir ini, yakni pamannya dan muridnya, malah lebih tragis.

Bab II Novel Satin Merah

Nindhita Irani Nadyasari. 12A. SMA Priangan 2 Bandung

Nama, kelas, dan sekolah itu tercetak di bawah judul "Daftar Siswa yang Lolos Seleksi Tahap Kedua Pemilihan Siswa Teladan Se-Bandung Raya". Dari awal, Nadya yakin dirinya bakal terpilih sebagai wakil sekolah dalam lomba itu.

Piala Wali Kota, piagam penghargaan, voucher kursus Bahasa Inggris di TBI, pujian seantero Bandung, semua itu mendekat ke Nadya, selangkah lagi. Namun, Nadya yang langganan ranking 1 pun tahu, Pemilihan Siswa Teladan bukan perkara mudah. Tahapnya berlapis.

Seleksi dimulai dengan memilih para siswa yang nilai rapornya memenuhi kriteria. Seleksi tahap kedua, Dewan Guru bermusyawarah menentukan 25 besar berdasarkan sikap dan kepribadian siswa yang lolos tahap pertama selama mereka bersekolah di SMA tersebut.

Kedua puluh lima siswa yang berhasil lolos harus membuat makalah setebal 30—50 halaman. Inilah seleksi ketiga. Tenggatnya tiga bulan. Lima siswa yang lolos tahap ini akan dilepas untuk presentasi di depan Wali Kota Bandung dan Dewan Juri dari Depdiknas.

Yang menjadi masalah sekarang, Nadya sendiri belum mendapat ide sama sekali seputar makalahnya.

"Tentang global warming aja, Nad. Sebelum diambil si Andre lho." Diana mengusulkan. "Nanti, kita bantu observasi ke komunitas lingkungan hidup deh."

"Susah amat," Valen menginterupsi, "tentang lomba siswa berprestasi ini aja!"

Echa datang membawa empat botol Coca-Cola. "Serius, Nad, mau traktir kita?"

Nadya mengangguk.

"Yes!" seru teman-temannya.

"Tapi, sekarang kalian bantu mikir tema ya?" pinta Nadya.

"Beres!" jawab Echa, Diana, dan Valen.

Keempat anak itu menghabiskan sisa waktu istirahat di kantin. Beberapa siswa yang tidak ikut lomba memberi ucapan selamat kepada Nadya.

Tapi aku nggak mau tema yang biasa-biasa saja....