Pesulap yang Pertama Kali Mengirimkan Manusia ke Bulan

By: Goegi Poerwono Atmojo

Anda pasti sudah terbiasa menonton film yang special effect-nya wah. Bahkan semakin lama standar Anda semakin tinggi. Hingga film The Dark Knight pun dianggap biasa-biasa saja special effect-nya (itu kata Pasha lho). Tapi, pernahkah Anda berpikir bagaimana trik-trik manipulasi efek ini dimulai? Di era awal perkembangan sinema (1893-1903), sebenarnya special effect sudah digunakan, meskipun dalam bentuk yang paling sederhana. A Trip to the Moon (1902), misalnya. Karya Georges Melies ini merupakan film pertama di dunia yang ber-genre fiksi-ilmiah.

Maries Georges Jean Melies lahir di Paris pada tahun 1861. Sejak kecil, Melies sudah tertarik dunia seni. Di tahun 1896, dia nekat meminjam proyektor dari penemu Inggris, Robert Willliam Paul, kemudian membuat proyektornya sendiri. Dan tiba-tiba saja di tahun 1897 Melies berhasil mengembangkan studio pertama di Eropa.

Melies membuat studio dengan menggunakan rumah kaca, hingga memungkinkan sinar matahari masuk dari segala arah. Dari situ Melies mengembangkan sinema berbasiskan imajinasi dan fantasi. Inilah yang membedakannya dari Thomas Alva Edison dan Lumiere bersaudara yang di era itu, era Early Cinema, masih menggunakan media film untuk merekam aktivitas sehari-hari.

Sebagai pesulap, Melies menemukan beberapa teknik efek film. Dia mengombinasikan pertunjukkan panggung dengan sulap, seperti yang tampak pada film Un Homme de Têtes (1898), Conjuror (1899), A Trip to the Moon (1902) dan The Magic Lantern (1903).

Un Homme de Têtes menggambarkan seorang pria yang sedang pentas. Settingnya persis sebuah panggung sulap modern, lengkap dengan layar hitam sebagai latar belakangnya.

Pertunjukan dimulai. Pria tersebut melepas kepalanya dan meletakkan di atas meja yang sudah disediakan. Tapi muncul kepala lagi. Pria itu pun melepaskan kepala kedua dan meletakkannya di atas meja, sehingga di sana terdapat dua kepala yang sama persis.

Eh, muncul lagi! Sementara dua kepala yang diletakkan di meja tadi masih bergerak-gerak. Kemudian, lelaki itu kembali melepas kepalanya dan meletakkan kepala di atas meja yang lain. Namun pria tersebut kembali memiliki kepala.

Bosan, laki-laki itu pun mengambil banjo yang tergeletak di atas kursi. Dia memainkannya. Tapi tak lama bernyanyi dan bermain banjo, tak urung dia merasa terganggu juga dengan ulah kepala-kepala di atas meja tadi.

Si pria marah dan memukulkan banjo ke kepala-kepala itu, lalu melemparkan banjo ke sembarang arah. Pria tersebut lalu melepas kepala yang masih menempel di tubuhnya dan melemparkannya ke sembarang arah. Kemudian, dia mengambil kepala di atas meja dan melemparkannya ke atas, lalu kepala tersebut jatuh dan kembali menempel di tubuhnya. Pertunjukan selesai.

Konsep serupa juga tampak di Conjuror. Film ini menampilkan seorang pria yang didampingi perempuan. Aksi dimulai ketika sebuah patung yang diletakkan di atas meja lunglai hendak jatuh. Tapi pria tersebut menahannya.

Lalu pria itu mengubahnya menjadi seorang perempuan yang hidup. Perempuan tersebut turun dari meja dan duduk di kursi. Sedangkan si pria menyiapkan benda mirip tong yang kedua alasnya bolong ke atas meja.

Perempuan itu ditutup dengan selembar kain, dan simsalabim, dia raib. Ketika tong diangkat, terdapatlah perempuan itu di dalam tong. Dia turun dari meja, lalu, pria tersebut mengangkatnya dan secara tiba-tiba sang perempuan menjadi kepingan-kepingan yang ditebarkan bak hujan salju.

Pria tersebut mengambil tong tadi dan meletakkan ke meja. Dia memungut kain tadi untuk menghilangkan dirinya. Tong tersebut terangkat dan muncul pria tadi dari dalam tong, lalu pria itu melompat turun dari meja dan ketika sampai di bawah, pria itu sudah berubah menjadi perempuan tadi.

Perempuan itu naik ke meja dan melompat turun dari meja. Ketika sampai di bawah, dia balik menjadi pria yang tadi. Dan pria tersebut bersalto, lantas menghilang. Pintu terbuka, keluarlah pria itu. Lalu, dia duduk di atas meja dan raib menjadi asap.

Bagi Anda yang hidup di jaman sekarang, apalagi yang gemar menonton acara semacam Secret of Magician, tentu saja trik-trik semacam ini terasa tidak spesial. Tapi lihatlah tahun produksinya. Siapa yang menyangkal, inilah cikal bakal efek-efek dalam film modern!

Settingnya yang seperti panggung pertunjukan sulap membuat kedua film tersebut kelihatan seperti dokumentasi biasa. Awalnya, seperti halnya Lumiere, Melies memang menggunakan media film untuk merekam aktivitas sehari-hari.

Namun berbeda saat Melies memproduksi A Trip to the Moon, film berdurasi 8 menit 5 detik.

Film hitam-putih yang bisu ini bertutur tentang enam manusia yang melakukan perjalanan ke bulan. Cerita diawali dengan beberapa orang yang mengadakan pertemuan. Mereka kemudian membuat semacam kapsul ruang angkasa. Kapsul itulah yang digunakan untuk pergi ke bulan. Kapsul ditembakkan ke arah bulan dengan sebuah meriam yang sangat besar. Dan mendaratlah ia.

Tapi saat keenam orang tersebut enak-enak sedang menjelajahi bulan, mereka diserang makhluk luar angkasa yang menghuni bulan. Mereka melakukan perlawanan. Toh akhirnya kalah dan ditangkap.

Namun ketika keenam orang tersebut dibawa kepada pimpinan mahkluk luar angkasa, mereka berhasil membunuh sang pimpinan di istananya sendiri. Mereka pun melarikan diri menuju kapsul luar angkasa, dan balik ke bumi dengan selamat.

A Trip to the Moon yang ditulis dan disutradarai oleh Georges Melies ini dirilis di Prancis pada 1 September 1902 dengan judul asli Le Voyage dans la Lune. Di era ini pula, sudah ada film yang diproduksi dengan latar belakang novel. Melies memproduksi A Trip to the Moon berdasarkan dua novel, yaitu: The Earth to the Moon karya Jules Verne, dan The First Men in the Moon karya H. G. Wells.

Yah, memang imajinasi ini khas seorang Jules Verne. Anda yang sudah membaca novel-novel Jules Verne pasti setuju kalau saya katakan orang ini seorang futuris yang lumayan akurat menggambarkan masa depan lewat karya-karyanya. Tapi Melieslah yang berhasil mewujudkan “ramalan” itu dalam gambar riil di mata penonton.

Setting filmnya sih masih dibuat mirip panggung pertunjukan. Namun pencapaian Georges Melies sudah tergolong luar biasa. Mendahului jamannya. Lihat saja bagaimana dia mampu menggambarkan kapsul yang mendarat di bulan.

Selain itu, Melies menampilkan teknik-teknik sederhana seperti dissolve (ketika pergatian scene di tempat peluncuran kapsul dengan scene pendaratan di bulan), wipe (benda bulat dan berekor berwarna putih sedang terbang melintas di atas keenam orang yang sedang tidur), super impose/double exposure (setting bulan berubah, latar belakang bulan berganti dengan bumi yang muncul perlahan-lahan, kemudian keenam awak kapsul melihat bumi dari bulan), stop motion dan slow motion (yang ditunjukkan dengan kemunculan gambar bumi yang menjadi obyek latar) dan fade out/ine (ketika scene pendaratan kapsul di laut dengan scene kapal yang menjemput keenam awak kapsul).

Setting di bulan dibuat penuh dengan trik, seperti bintang yang terdapat kepala manusia, manusia yang membawakan simbol benda-benda luar angkasa. Melies juga mampu menggambarkan habitat di bulan, busana dan properti mahkluk luar angkasa. Trik yang paling menarik bagi saya adalah ketika kapsul menancap di wajah manusia.

Di akhir cerita, digambarkan kapsul meninggalkan bulan, kapsul meluncur ke bumi menuju laut, lalu, kapal datang untuk menjemput awak kapsul. Konsep pendaratan ini mengingatkan saya pada peristiwa Apollo mendarat di laut dengan parasut.

Georges Melies meniru Apollo? Hahaha, tunggu dulu.

Misi ke bulan yang dilakukan oleh NASA baru dimulai pada tahun 1957. Sedangkan kosmonot Rusia, Yuri Gagarin, menjadi orang pertama yang melakukan penerbangan ke luar angkasa baru terjadi pada 12 April 1961. Jadi, bagaimana menurut Anda?

Georges Melies tercatat telah menciptakan lebih kurang 500 buah film dalam kurun waktu 15 tahun dan dia memutar film buatannya sendiri di teater miliknya.

Yah, terlepas dari ketidaklogisan di film A Trip to the Moon, paling tidak, di era awal perkembangan sinema, Melies telah mampu memanfaatkan media film untuk tujuan mewujudkan imajinasi fantastis dengan cara yang dianggap luar biasa di masa itu.

BAGIKAN HALAMAN INI DI

15 thoughts on “Pesulap yang Pertama Kali Mengirimkan Manusia ke Bulan”

  1. Halo!
    Mas Goegi pake nyebut2 nama saya. Ga tau apa, itu udah dipatenkan? Trus, gimana kalo om saya (yang bikin TDK!) tau kalo saya menganggap special FX-nya TDK biasa alias std buat ukuran Hollywood? Entar beliau marah sama saya… Hehehe… ngayal…

    Ngomong2, hebat juga Mas Goegi bisa tau soal special FX dan pernak-perniknya sampe sejauh itu. Karena pendidikannya film kali ya? Saya kirim email tuh ke Mas Goegi. Kenalan boleh dong…

    Tapi ada usul jahil, nih. Kita kan sering denger, sineas kita kurang duit, jadi ga bisa bikin film ‘canggih’ kayak TDK. Nah, ajuin aja proposal permintaan dana ke KPK, biar bisa bikin film ‘canggih’ dan bayar orang2 pro dari Hollywood buat membimbing.
    Kenapa KPK yang dimintain duit?
    Ya, supaya bisa dapet dana yang dirampas dari para koruptor. Jadi, mereka ada gunanya juga, ga cuma bisa ngambil duit rakyat. Hehehe….(maaf, off topic…)

    Reply
  2. Masalah nama, mungkin penjaga Warung fiksi bisa menjelaskan.

    Hebat, ah Mas/Mbak Pasha bercanda. Lha wong, kebetulan saja, saya ini punya buku-buku, beberapa film dan nonton film. Dari situlah saya coba tulis dari apa yang saya lihat dan saya juga belumlah seorang profesional di dalam dunia tulis-menulis. Justru, ilmu saya ini masih dangkal tentang film, masih harus belajar banyak hal tentang film. Bukan berarti saya sudah mengetahui pernak-pernik spesial efek atau pakar di dunia film dari A sampai Z. Pendidikan film, saya peroleh dari menonton film, membaca literatur, berdiskusi dan ngobrol film dengan teman-teman, bapak, ibu, adik, kakak, pakde, nenek, tetangga, tukang becak, kyai, pejabat, pelukis, pemusik, aktor, praktisi film, bos perusahaan, orang yang kebetulan ketemu di jalan dan lain sebagainya. Justru, dari kampus saya kurang mendapatkan ilmu yang berarti tentang film, entahlah mengapa bisa begitu, faktor dosen atau memang saya yang bodoh?

    E-mail sudah saya jawab.

    Boleh juga tuh usulnya.

    Reply
  3. Oh, itu udah dipatenkan ya? Wah, ya udah, Warung Fiksi hrs bayar brp juta nih? Hehehe ….

    Buat Erick, entah ya. Apa VC It Could be Heaven-nya Queen itu dicomot dari A Trip to the Moon atau nggak. Tp dari gambaran Goegi, ya memang kayak gitu. Rada kartun/humor berarti ya film Melies itu.

    Reply
  4. Kata Eric benar juga. Setelah saya melihat video clip-nya, sepertinya Queen memasukkan A Trip To the Moon untuk video musiknya.

    Reply
  5. Waduh, maaf nih, jadi salah sangka soal nama.
    Wah, Mas Brahm, harus bayar sebesar…sebesar (mikir dulu) uang suap yang diterima Jaksa Urip! Hehehe… marshanda eh bercanda…

    Mas Goegi bisa aja, pake merendah segala. Lain kali, ga usah pake embel2 Mas/Mbak untuk menyebut saya, biar serasa unisex gitu (kayak siput dong, jelek amat perumpamaannya!) dan bikin saya ngerasa masih kayak anak belasan tahun (ngarep…kagak tau malu padahal udah pantes jadi ortu). Hahaha… Santai saja…

    Tapi Mas, ngomong2 soal special FX, mungkin ga, film superhero semacam Gundala (gosipnya, bakal tayang tahun depan, bener ga?) bisa dibuat sineas kita? Bukan cuma soal duit (karena kita tau, hampir ga mungkin ada investor yang berani keluar duit sampe trilyunan rupiah biar bisa bikin film sekelas TDK), tapi soal sumber daya lainnya kayak SDM dan perangkat teknologinya sendiri.

    Soalnya, saya sering baca bahwa animator dan komikus kita sebenarnya udah sejak dulu jadi ‘tukang gambar’ buat perusahaan film/penerbitan luar negeri. Tapi kayaknya belum ada tuh yang bisa bikin film ‘canggih’ non-animasi. Makanya, kalo gosip Gundala remaking itu bener, saya jadi penasaran, apa bener bisa dibuat memanjakan mata kayak film Hollywood? Ga usah canggih2 amat, minimal kayak Casshern-nya Jepang deh, yang biayanya ‘cuma’ setara (katanya) 40 milyar rupiah (buset, duit segitu banyaknya bisa buat bikin studio ‘kali). Mungkin ga sih?
    Yukkk… (ih, kayak bances deh). Permisi…

    Reply
  6. Saya baca dari berbagai sumber di internet, Gundala memang akan dibuat layar lebar dan tayang di tahun 2009. Tapi, saya tidak tahu persisnya.

    Saya kira, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, asalkan ada kemauan dan usaha. Sineas kita mampu kok. Masalah SDM dan teknologi, wah saya kurang bisa memberi informasi, karena saya memang bukanlah praktisi animasi dan saya tidak mengikuti perkembangan dunia animasi di tanah air. Mungkin, Mas Brahmanto bisa memberikan keterangannya.

    Casshern? Wuakakakakakak…..minimal, ada film Indonesia seperti kartun 3D Doraemon aja dulu lah, digarap dengan tehnik yang baik dan rapi dulu. Atau kartun Donald Bebek/Mickey Mouse-nya Disney. Meski, diberi 40 miliar, apa iya bisa terwujud film yang tehnik-nya bisa setara dengan Casshern? Saya sendiri juga tidak tahu. Entahlah. Tapi, di dalam hati kecil saya, saya pesimis. Saya pesimis, bukan berarti saya bisa bikin animasi dengan tehnik yang seperti Casshern itu lho.

    Dari temanya sih, kelihatannya bisa bersaing, entah dari tehniknya, saya ga tahu gimana hasilya. Tapi, kok sinopsisnya rebutan cincin ya? Kayak Lord of the Ring aja. Apakah karakter seperti Smeagol muncul di Gundala ya?

    Saya pernah mendengar bahwa ada mahasiswa Indonesia yang belajar animasi di luar negeri, tapi, ketika pulang ke Indonesia, dia menyayangkan teknologi animasi yang ada di tempat dia bekerja kurang memadai. Kurang memadainya bagaimana, saya lupa. Saya baca di majalah Behind The Screen.

    Sebaiknya sih, masalah animasi, bisa ditanyakan ke Mas Brahmanto, karena Mas Brahmanto merupakan salah satu pecinta, pemerhati, peneliti animasi.

    Reply
  7. Ya, mudah-mudahan aja Gundala bisa menjadi pionir, bahwa dunia animasi kita bisa diakui di dunia internasional. Kita tunggu aja hasilnya bagaimana.

    Reply
  8. Ya, mudah-mudahan aja Gundala bisa menjadi pionir, bahwa dunia animasi kita mulai bisa diakui di dunia internasional. Kita tunggu aja hasilnya bagaimana.

    Reply
  9. Waaah, Gi, enak aja main lempar bola gitu. Bikin ketahuan aja kalau aku nggak ngerti apa2 soal Gundala, hehehe. Tp, jujur, aku nggak ngerti soal itu, Pasha. Yah, kita doakan sama2 saja semoga film ini bisa membanggakan.

    Reply
  10. Lho, bukannya sudah dari dulu animator Indonesia jadi ‘kuli’ produksi nagri eh luar negeri? Malah, ada yang ngaku bisa bikin animasi yang kualitasnya setara Rurouni Kenshin (selama duitnya cukup!). Jangan2 mahasiswa Indonesia yang dimaksud itu Wahyu Aditya ya?
    Soal Gundala, saya sih ga ngarep, cuma takjub, kok ada rencana mau dibikin segala. Takutnya sih kaya Gundala versi jaman dulu, cuma bikin geli aja, nontonnya. Hanya, karakter antagonisnya boleh juga, ada hubungannya dengan isu lingkungan hidup.
    Gundala jaman sekarang, saya malah ga tau ceritanya kaya apa. Soal dibikin dalam versi animasi atau engga, malah ga tau juga. Tapi, seandainya beritanya bener, saya mau tuh, nonton. Moga2 aja ga jelek2 amat. Biar kita bisa ikutan main ‘sulap’ kaya film Hollywood kelas murah meriah hehehe…

    Reply
  11. O iya, kayaknya sih Gundala bukan dibuat versi animasi. Berarti, ya kita berdoa saja Gundala bisa menjadi pionir bahwa dunia spesial efek perfilman kita mulai bisa diakui oleh dunia internasional. Siapa tahu bisa seperti Spiderman.

    Wahyu Aditya? Wah, saya juga lupa namanya. Maklum ga punya majalahnya. Waktu itu saya membaca di perpustakaan.

    Reply

Leave a Reply to ericbdg Cancel reply

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Don't do that, please!