Catatan Kecil Pengarang

Makhluk Fusi Pertama Itu adalah Katak

Suatu sore di musim penghujan, seorang bocah berusia 10 tahun tampak asyik bermain bersama dua ekor katak di halaman rumahnya. Dia selalu gemas melihat tenggorokan katak yang kembang-kempis mirip balon. Katak-katak itu juga sepertinya menyukai sang bocah. Mereka pun semakin akrab.

Tapi dasar bocah, tiba-tiba muncul ide "kreatif". Kaki kanan katak pertama diikat dengan kaki kiri katak kedua. Harapannya, ikatan tersebut kelak menjadi permanen dan kedua ampibi itu hidup bahagia bersama. Lendir alami di sekujur tubuh mereka diharapkan mampu mempercepat proses penyatuan itu.

Sayang, rencana kurang berjalan mulus. Setelah dilepas, katak pertama ingin berjalan ke kiri, dan katak kedua ke arah sebaliknya. Namun lantaran kaki mereka bertalian, duo katak tak semudah itu menuruti insting masing-masing. Mereka tertatih-tatih, dan bolak-balik terjatuh.

Toh akhirnya mereka kompak juga pergi ke arah yang sama. Senyum si bocah mekar melihat perkembangan yang dibuat kedua obyek eksperimennya. Dia pun masuk rumah dengan perasaan puas.

Keesokan paginya, sebelum berangkat sekolah, si bocah menyempatkan diri menengok katak "mutan" karyanya. Dia bersiap untuk bersorak, "Berhasil! Aku sudah menciptakan kodok terkuat di dunia!"

Tidak butuh waktu lama, kedua katak itu ditemukan. "Selamat pagi, bagaimana kabar kalian?" sapa si bocah dengan ramah. Perlahan, dia mendekat pada kedua sahabatnya itu.

Benang jahit yang mengikat kaki mereka tampak masih menyimpul erat di sana. Mereka begitu tenang, tidak tergopoh-gopoh berusaha lari seperti kemarin.

Tapi, tenggorokan itu tak lagi kembang-kempis mirip balon. Si bocah juga mendapati sekujur tubuh "siam" sahabatnya dirubung semut-semut merah.

Lokasinya cuma tiga meter dari tempat mereka dilepas kemarin. Yang artinya, katak-katak itu selama seharian hanya bisa berpindah sejauh tiga meter.

Sang bocah langsung syok.

Pemandangan ratusan semut dan dua bangkai katak itu dia bawa sampai sekolah. Bawaannya murung terus di kelas. Dia menyesal sekali.

Aku tahu benar pahit-getirnya perasaan bersalah itu.

Karena akulah dia.

Akulah bocah tolol itu.

Yah, aku memang pernah terbuai khayalan menyatukan dua atau lebih makhluk hidup menjadi satu. Sekalipun itu aku sendiri yang menjadi kelinci percobaannya, bersama keluarga yang kucintai, atau teman-teman terdekatku. Aku ingin berfusi dengan mereka.

Sejak insiden katak itu, aku jadi sering merenung. Dalam perkembangan berikutnya, aku pun berevolusi menjadi penyayang binatang. Tak ada lagi eksperimen-ekperimen konyol, tentu saja.

Namun, aku tetap menikmati khayalan menyatu bersama orang-orang yang kusayangi. Seandainya benar-benar terwujud, oh, alangkah indahnya.

Aku berkeras ingin membagi khayalan ini kepada orang lain. Maka jadilah novel ini. Novel Pemuja Oksigen. Tapi di sini, khayalan tersebut tidak indah lagi. Sebab aku mengompromikannya dengan logika orang dewasa yang serba kompleks. Memang, bagiku dunia fantasi yang indah sudah lewat. Berganti dunia realis yang penuh intrik.

Ucapan Terima Kasih yang Tak Tertulis di Novel

Bagaimanapun, hidup ini tetap indah. La vie est encore belle, mes amis. Salah satu buktinya, dalam hidupku, banyak sekali orang tak dikenal yang telah menolongku. Kupikir setiap orang juga pernah ditolong orang asing. Tak ada yang istimewa di situ.

Namun, ada beberapa yang memang terasa istimewa. Sampai hari ini pun masih bisa kuingat jelas. Seperti baru terjadi kemarin.

Memori tentang para penolong itu akhirnya melatarbelakangi munculnya beberapa tokoh di Senandung Makhluk Fusi, judul awal novel ini (saat itu tahun 2007).

Tokoh buruh, kejadian dan nama jalan di bab 12, misalnya, adalah berdasarkan kisah nyata. Waktu itu motorku tiba-tiba mogok. Aku harus tabah menuntunnya berkilo-kilometer di siang bolong hanya untuk mencari bengkel.

Bedanya dengan di adegan Pemuja Oksigen, perjalanan itu sungguh menjemukan. Aku bukan makhluk fusi, jadi aku tak punya teman bicara. Terima kasih kepada Pak Buruh yang telah menyelamatkanku dari tewas kebosanan dan menghemat waktuku dengan bersedia mendorong kendaraanku.

Aku juga pernah ditolong tukang roti keliling. Pernah disedekahi nenek penjaga kios bensin eceran. Sewaktu SD, aku pernah dikasih minum seorang pembantu, setelah melihatku berjongkok mengatur napas di tengah perjalanan (kaki) tujuh kilometer menuju rumah.

Oh ya, aku juga pernah kehujanan saat hendak mencegat bus kota sepulang sekolah. Lalu, entah dari mana, seorang cewek Tionghoa usia mahasiswa menyapaku dan menawariku berteduh di bawah payungnya.

Aku sebenarnya terbiasa hujan-hujan. Aku bocah yang kuat. Tapi aku bodoh kalau menolak tawaran itu.

Kami pun saling merapat. Tubuh kami berdempetan dalam satu payung. Hanya berdua. Namun aku masih SD, jadi jangan tanya apa yang terjadi. Jantungku memang berdebar liar. Tapi itu lebih karena girang, ada wanita ayu mau menolong bocah SD dengan baju kucel yang tidak dimasukkan celana, sepatu tak berkaos kaki, setengah kuyup pula!

Dasar mujur. Kami terus berdampingan, pun setelah di atas bus. Wanita muda itu bahkan membayari ongkos bus dan berbagi camilan denganku. Sungguh, orang ini tidak hanya cantik secara fisik.

Setelah dewasa, aku coba menggali kembali kenanganku tentang bidadari itu. Hasilnya kurang lebih seperti tokoh Lidya, kakak kandung tokoh Alan Widodo. Bermata empat, seksi, berkulit dan berhati putih. Semoga ada keajaiban yang membawanya membaca novelku ini.

Kepada para penolong anonim itu, aku ingin mengucapkan terima kasih sekali lagi. Dunia ini indah karena orang-orang seperti kalian masih hidup.


From Surabaya with love

Brahmanto Anindito