Menyongsong Era Teenlit Berbobot

Karya-karya dengan genre teenlit sering dipandang sebelah mata oleh praktisi dunia sastra. “Teenlit itu dangkal!” Mereka mengklaim begitu salah satunya setelah mengamati betapa dominannya penggunaan bahasa gaul yang mengacaukan kaidah bahasa Indonesia. Sudah begitu, isi teenlit cenderung miskin ungkapan. Plus, kosakata yang dipakai penulisnya itu-itu saja.

Lantaran presentasi teenlit-teenlit yang semacam ini memang besar, jadi lebih mudah orang pukul rata. Ada benarnya sih. Walaupun menilai dangkal-tidaknya sebuah teenlit hanya dari segi bahasa tentu tidak adil juga.

Rachmania Arunita, penulis Eiffel I’m in Love, berpendapat bahwa karakter teenlit menggunakan bahasa populer bukannya tanpa alasan. Itu merupakan upaya untuk memotret kehidupan anak muda senyata mungkin, meski tentu saja penggunaan kaidah bahasa yang baik bisa dijadikan masukan bagi para penulis.

Tapi, “Siapa sih yang repot-repot melabelkan teenlit dangkal?” sungut Windy Ariestanty, Pimred Penerbit GagasMedia. “Apa kategori buku berbobot itu? Buat saya, setiap jaman melahirkan generasinya. Ketika generasi sudah tak sama lagi, jaman telah berubah, seharusnya kita lebih arif dalam menyikapi itu semua. Jangan memaksakan standar pada sesuatu yang terus berkembang kalau standar kita sendiri saja tak ikut berkembang. Saya khawatir, justru bacaan kaum pemaksa inilah yang tak beragam. Menjadikan selera mereka sebagai patokan atas sesuatu.”

Apapun itu, teenlit telah lama mendapat stempel sebagai novel yang ditulis dengan etiket “semau gue”, tanpa berpanjang-panjang menangkap satu fenomena, atau tanpa menggali komposisi alur yang lebih kompleks. Windy pun tidak menampiknya. Penghobi baca dan traveling ini mengatakan, “Mungkin yang menjadi PR bagi para penulis teenlit adalah bagaimana menggali lebih dalam setiap persoalan yang terjadi. Urusan remaja kan nggak cuma cinta-cintaan. Hendaknya mereka lebih kreatif lagi dalam melihat segala sesuatu.”

Penulis teenlit Indonesia sejauh ini memang lebih sering menampilkan kisah-kisah yang klise, percintaan yang basi, dan konflik yang tidak berkembang. Padahal, “Teenlit itu bukan sekedar kisah murid baru yang cantik dan diperebutkan ketua OSIS jago basket,” sindir Farida Susanty, pemenang utama Khatulistiwa Award 2007 kategori Penulis Muda Berbakat.

Ajaibnya, genre teenlit eksis hingga sekarang. Tanpa perlu petugas sensus untuk mendatanya, semua orang pasti dapat melirik jejalan novel-novel jenis ini di rak toko buku besar manapun. Bahkan lengkap dengan remaja-remaja yang tengah asyik memelototi, memegang, dan membolak-baliknya. Produktivitas novel teenlit pun bak laju kereta api yang tak punya stasiun penghentian.

“Yah, memang marketnya lagi gede, kenapa nggak dimanfaatkan?” komentar Farida yang sedang kuliah di ITB ini. “Tapi selain itu, saya juga yakin kok ada penerbit-penerbit yang memang berencana memajukan sastra Indonesia di genre sastra remaja.”

Namun pangsa yang besar (yang berarti: “Hei, ada uang di sana!”) rasanya merupakan alasan paling hakiki bagi para penerbit yang ramai-ramai berpartisipasi dalam “perlombaan” mencetak teenlit itu. Meskipun, “Menghadirkan sebuah tulisan atau buku yang sangat remaja, mengena dengan kehidupan mereka sehari-hari, mulai dari persoalan, gaya hidup, gaya bahasa, beserta detail-detail kecil lainnya, bukan pekara mudah. Dibutuhkan kecerdasan tersendiri. Remaja itu pasar yang unik,” tambah Windy.

Di sinilah penerbit-penerbit itu kepincut. Yang dulunya tidak berkompeten dalam genre teenlit pun mulai turut membuka lini baru di jajaran penerbitannya. Tidak puas menerbitkan yang lokal, kini bermunculan pula beragam novel teenlit luar dalam bentuk terjemahan.

Umumnya, pembaca remaja mengeluh sulit memahami isi jika ia disodori bacaan novel berlabel sastra. Padahal ini sebenarnya cuma masalah bahasa. Menurut Farida, para remaja akan lebih memahami bahasa yang sederhana dan model penceritaan langsung. Sementara jenis bacaan di pasar yang sesuai dengan selera baca seperti itu hampir selalu berupa teenlit.

Namun cewek berusia sweet seventeen ini buru-buru menambahkan bahwa standar bacaan remaja Indonesia kini sudah jauh lebih tinggi. Mereka menghargai cara menulis yang baik, malah kadang-kadang dengan standar orang dewasa. Tapi memang sedikit ada bedanya.

“Kunci yang saya pegang: Jangan terlalu sastra, simpel aja. Sesulit apapun temanya, sebenarnya remaja ngerti kok. Bahkan kalau kita menulis dengan istilah teknik dan pengetahuan, mereka akan mengapresiasi dan menganggap kita cukup berkelas untuk dibaca. Berkelas, tapi tetap bisa mereka pahami.”

Begitulah, novel teenlit tak semuanya buruk. Tidak semuanya dangkal. Terutama sejak beberapa penerbit concern menggarap novel-novel teenlit terjemahan. “Kalau dibandingkan teenlit impor sih kualitas kita masih jauh. Teenlit di luar sudah lebih maju, diperlakukan layaknya sastra sesungguhnya. Karakternya dalam, sisi psikologinya benar-benar dieksplorasi, bahasannya pun hal-hal yang thoughtprovoking. Meskipun sekarang banyak juga buku-buku teenlit dalam negeri yang saya temukan seperti itu,” sambung penulis novel teenlit Dan Hujan Pun Berhenti ini.

Penilaian yang tidak berlebihan. Beberapa teenlit manca yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia jelas memiliki kapabilitas yang teruji. Soalnya, penerbitnya tentu sudah mengamati seberapa laris novel tersebut di negeri asalnya. Jadi penerbitan novel-novel teenlit terjemahan boleh dibilang merupakan satu langkah pencerahan bagi penulis lokal. Di sisi konsumen, membaca novel teenlit luar pun sangat mengasyikkan. Pembaca dapat menemukan keragaman sisi garap tema, alur, setting atau variasi tokoh yang berbeda. Para pengarang teenlit lokal bisa belajar detail dari sana.

“Penulis adalah aktor/aktris yang mau tidak mau harus bertranformasi menjadi tokoh dalam tulisannya. Yang namanya karakter itu bukan sekedar; Leo, cowok pintar, lucu, dan baik. Tapi harus ada kesadaran bahwa ia manusia yang memiliki hobi, film favorit, makanan kesukaan, nomor baju, sepatu, ukuran celana, masa lalu, keinginan, obsesi, hal-hal yang menakutkannya, dll. Karena jika tidak, ceritanya bisa kehilangan fokus dan lari kemana-mana. Akhirnya terperangkap deh dalam ending yang tidak terencana dengan baik,” beber Farida.

Nah, selain aspek karakterisasi, apa lagi kriteria novel teenlit yang berbobot? Windy mengatakan bahwa sebenarnya tak ada yang berbeda dengan fiksi genre lain. Cuma, ketika bicara teenlit, target pembacanya remaja. Sehingga tulisannya pun harus meremaja, membahas tema-tema yang akrab dalam kehidupan remaja. Di luar itu, parameter teenlit berbobot idem saja dengan sastra umumnya.

Kriteria itu, masih menurut Windy, antara lain dari segi tema. Bagian ini harus sangat mengena. Sebab, “Ini poin yang paling menonjol. Tema yang diangkat dalam teenlit itu menentukan banget,” novelis Shit Happens ini mewanti-wanti. “Kemudian perhatikan pula alur cerita, karakter, teknik penulisan, gaya bahasa dan diksi.”

Masalah pemakaian bahasa gaul yang menyalahi kaidah bahasa barangkali adalah tahapan wajar dalam fase kepenulisan teenlit. Yah, lain generasi lain bahasa. Mungkin kasus ini serupa dengan penggunaan bahasa slank-nya anak muda Amerika. Tapi yang jelas, paradigma keharusan penggunaan bahasa gaul ala Jakarta dalam novel teenlit pelan-pelan bakalan pupus. Bukankah daerah yang ada remajanya tidak cuma Jakarta? Bukankah banyak juga remaja yang sehari-harinya bergaul memakai bahasa Indonesia biasa?

Kalau semua itu dikombinasikan dengan tema yang hebat (menuruti saran Windy), akan muncul novel-novel teenlit lokal yang lebih elegan dan cerdas di Indonesia. Mari kita doakan sama-sama, semoga itu terwujud dalam waktu dekat.

BAGIKAN HALAMAN INI DI

44 thoughts on “Menyongsong Era Teenlit Berbobot”

  1. Trims. Ya saat ini memang seperti itu, Zhanzhe. Tapi masa’ mau seperti itu terus? Artikel ini dibuat justru untuk melawan stereotip negatif yang terlampau klise di masyarakat. Kalau “teenlit” yang identik dengan anak muda itu selalu diasosiasikan dengan “tidak berbobot”, kapan majunya sastra kita? Beri kesempatan lah untuk berkembang, bernapas. Menurut saya, cerita tentang anak muda tidak selalu cetek. Anak muda pun tidak selalu mengarang dengan pas-pasan. Contohnya Farida (seperti yang saya tulis di atas). Menang KLA tuh. Juri KLA kan bukan orang-orang bodoh, pasti keputusan mereka tidak sembarangan.

    Reply
  2. Saya setuju dengan artikel ini, menurut saya sastra indonesia ujung2nya terbagi menjadi dua, yang sastra dan yang pop. Yang sastra menuding teenlit isinya dangkal karena tidak mengindahkan kaidah penulisan yang baku dan ejaan yang disempurnakan.

    Sedangkan yang golongan teenlit bisa menuding balik ada kesombongan dibalik genre “sastra”, apakah kalau suatu novel menggunakan bahasa gaul berarti isinya dangkal? apakah penulisan yang berbeda dengan kebiasaan tradisi sastra dianggap sebagai hal buruk? Menurut saya pertanyaan itu harus dipikirkan.

    Saya sendiri merasa jalan yang terbaik adalah, seperti kata artikel ini, buatlah novel teenlit yang berbobot. Selain marketnya besar, namun identitas karya yang kita ciptakan tidak akan serta merta hanyut dalam arus besar dan identitas kita tidak akan terlebur begitu saja.

    Mungkin solusinya adalah Teenlit meets Sastra…?

    Reply
  3. Trims, Alid Abdul & Calvin. Yah memang sudah saatnya novel teenlit dalam negeri unjuk gigi. Teenlit itu tentang remaja. Dan soal remaja, sebagaimana soal orang dewasa, ada yang seringan kapas, ada pula yang berbobot. Tergantung novelisnya, menurutku.

    Reply
  4. Ada Hadis yang berbunyi

    “berbicaralah kepada suatu kaum sesuai dengan kadar pengetahuaannya”

    Teenlit adalah bacaan untuk remaja atau abg, tentu saja gaya bahasa, alur cerita, tema dll harus di sesuaikan dengan daya tanggakap si remaja.

    Saya percaya adik2 kita yang masih smp atau sma itu pinter2 dan bisa menagkap/memahami bacaan yang berbobot.
    Tapi pertanyaan nya, apa mereka suka?

    Reply
  5. Trims buat Mas Satria. Kasusnya mungkin serupa dengan seorang penulis buku cerita untuk anak-anak. Penulisnya harus tanggap membidik tema dan mengubah gaya bahasanya sesederhana mungkin agar selaras dengan pikiran anak-anak. Jadi begitulah, penulis remaja tentu harus menulis dari sudut pandang remaja.

    Tapi tiap penulis juga harus punya itikad untuk memakai standar bahasa yang baik. Punya ambang toleransi. Jadi tidak turut memperparah kaidah bahasa novel teenlit. Bahasa gaul remaja toh hasil modifikasi orang-orang yang sudah tidak remaja lagi. Remaja cuma numpang pakai, dan karena keterusan yah sekalian dipakai bahasa nasional mereka….

    Reply
  6. kan sekarang booming teenlit udah lewat. Saya coba-coba kirim naskah tinlit ke grasindo, 6 bulan baru dibalikin.. dan gak sesuai program kami katanya.. hiks

    Reply
  7. Wah, kebetulan sekali, saya dan kawan-kawan sedang mengerjakan karya tulis yang bertemakan sastra di tengah remaja. Jujur saja saya termasuk salah satu dari mereka yang berpikir bahwa teenlit itu kebanyakan dangkal, tetapi tentu saja saya tidak mengatakan bahwa semua teenlit itu dangkal. Saya senang sekali waktu membaca artikel ini karena ternyata cukup banyak penulis2 muda yang peduli dengan urusan bobot bacaan bagi remaja. Saya punya usul, mungkin akan lebih baik lagi jika penulis2 muda juga mulai memikirkan untuk memasukkan unsur budaya Indonesia ke dalam tulisan2nya agar remaja yang sekarang kebanyakan sudah lebih banyak terpengaruh budaya modern/Barat juga dapat mengenal dan memperdalam pengetahuan dan kebanggaan mereka pada budaya mereka sendiri, melalui media yang sederhana dan menyenangkan, yakni teenlit. Dan mungkin para pembaca dan penulis muda seperti kita ini juga harus mengimbangi bahan bacaan kita dengan sastra yang “sastra banget” juga karena pasti ada nilai plus juga yang bisa kita dapat dari sana, sekaligus kita dapat mengapresiasi hasil karya sastrawan-sastrawan senior senior. Semoga semakin banyak penulis yang berpikir demikian sehingga sastra Indonesia betul-betul bisa memasuki satu babak baru yang gemilang. ^^

    Reply
  8. salam,

    aku bersukur nemu blog ini, he he he…
    tapi aku ada saran buat bos Wifi, kalo tulisannya pake warna yang lebih gelap mungkin akan lebih nyaman di mata. (soalnya mataku agak berat nih bacanya, agak burem: apa emang cuma mataku aja ya???)

    salam dan terimakasih

    Reply
  9. Terima kasih, terima kasih.

    @Raka: Baru ditolak sekali, no big deal, segera koreksi dan bidik penerbit lain. Ihiksnya, sedihnya cukup dua hari aja, hehe…

    @Alfinda Agyputri: harapanmu harapan kita juga, jadi mari kita mulai dari diri sendiri untuk memberikan sesuatu bagi dunia kepenulisan tanah air.

    @Senjasaujana: Soal warna ya, wah kelihatannya sudah dari settingan WP begitu 🙂

    Reply
  10. Karena lahir dan besar di luar Jakarta (kata anak Jakarta : anak daerah), saya sempat juga sebal melihat ukuran ‘gaul’ yang hanya memakai standar ‘anak Jakarta’. Tidak hanya teenlit, sinetron sampai film pun demikian (malah lebih parah). Sumpah, saya sedang bingung dengan penggunaan istilah ‘secara’ yang banyak saya saksikan di TV. Maksudnya apa? Mengapa ‘secara’ tampaknya menjadi kata pengganti ‘karena’, ‘padahal’ dan lain-lain? ‘Kan aneh!
    Benar juga, kenapa tidak lebih ‘nasionalis’ dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik saja? Kita pasti bisa menggunakan bahasa nasional kita dengan baik tanpa harus menjadi rumit.

    Reply
  11. Yang memopulerkan “secara” itu kayaknya bukan orang muda, tapi orang muda yang kemudian terus menggunakannya. Ini memang aneh. Kok mau-maunya anak muda ikut-ikut alur “orang tua”. Mungkin yang tidak disadari anak muda, bahasa Indonesia (yang benar) sebenarnya bisa lebih praktis, komunikatif dan elegan ketimbang bahasa-bahasa gaul yang cepat sekali berubah (bergantung tren tahunan). Trims, Nico.

    Reply
  12. betul banget
    kadang ceritanya kaya’ sinetron itu – itu aja
    untuk para penulis tolong suguhin cerita yang lain dong
    kaya kemanusiaan dll
    maaf sebelumnya
    terimakash

    Reply
  13. Makasih Riez buat komennya. Yah memang banyak cerita teenlit yang seperti kamu baca, mungkin kita harus lebih selektif milih cerita-cerita teenlit yang mau dibeli. Banyak aspek, seperti track record pengarangnya, bgm endorsement dari tokoh2 di sampul belakang, dll.

    Reply
  14. Saya justru baca teenlit, chicklit dan juga buku-buku karangan Clara Ng….agar bisa memahami anak saya.
    Dan ternyata menyenangkan kok…bahkan saya suka baca komik juga. Dengan membaca berbagai jenis buku, dari yang serius seperti sastra, sastra sejarah, sampai yang ringan bisa memperluas wawasan.

    Reply
  15. kalo menurut aku sih kembali ke selera masing2 yah, ada yang suka bacaan “ringan” kaya teenlit, ada yang lebih suka bacaan yang agak “berat” macam sastra
    kalo saya sukanya metropop, hehehe

    Reply
  16. Trims buat Neng Fey, Edratna, dan Anto buat komentarnya di postingan ini.

    Tak bisa dipungkiri kalau masalah membaca memang tergantung selera. Kayak makan, kalau gak sreg dengan menunya yah kadang malah jadi eneg kan…. Tapi harap juga diingat, makan boleh saja nuruti selera, tapi gak harus melulu makan enak sesuai selera terus, pertanyaannya, “sehat nggak?” Jangan sampai kita kena obesitas, kolesterol, jantung, Hehehe, analoginya serem ya…

    Motif seperti Mbak Edratna menarik juga disimak, “Membaca untuk lebih memahami anak-anak.” Wah ini baru spirit yang bagus, patut ditiru. Jika rajin membaca berbagai jenis buku, secara otomatis wawasan kita pasti tambah luas.

    Reply
  17. setidaknya dapat menumbuhkan minat baca…
    dan sarana untuk penulis muda mengembangkan diri… salut untuk penerbit yang mau menerbitkan karya2 penulis muda ini, meskipun banyak anggapan teenlit ini tidak berbobot, ya karena memang teenlit hanya bacaan ringan 🙄

    Reply
  18. Trims Binchoutan. Yah memang masing-masing penulis memiliki medan bidik pembaca yang berbeda. Penulis punya strategi memilih segmen dan menembus penerbit. Penerbit pun rasanya tidak sembarang mau menerbitkan buku jika tidak menguntungkan dari segi penjualan. Soal bobot itu relatif, karena alat ukurnya bisa macam-macam. Jadi yah sah-sah saja, semua punya porsi sendiri-sendiri. Sebagai pembaca? Rasanya lebih afdol melahap semua jenis bacaan, semacam mencicip aneka kuliner….

    Reply
  19. banyak kok tinlit yang berbobot. baca saja tinlit-tinlit juara lomba tinlit yang diadakan radio nederland beberapa tahun lalu. ceritanya kompleks tetapi tetap remaja. mereka menyebutnya tinlit “rasa baru”. sangat menarik. ditulis dengan bahasa indonesia hampir baku dan persoalan yang rumit tetapi tetap persoalan remaja. justru ada beberapa tinlit yang saya baca cerita ringan seputar pesta, dan gaya hidup remaja yang ditulis oleh remaja tetapi tidak “terasa” remajanya. bukan berarti dengan menulis dengan bahasa gaul itu berarti memperlihatkan “keremajaannya” tapi soul dari tulisannya itu sebenarnya yang harus memiliki semangat remaja. kalopun kita menulis dengan bahasa indonesia baku tetapi terasa semangat remajanya, itu tetap tinlit.

    Reply
  20. menurut saya, teenlit merupakan cerminan pemikiran remaja. yah…kalo gaya bahasa penulis teenlit itu ‘sedikit’ terkontaminasi dengan istilah ‘lo’ atau ‘gue’, atau istilah-istilah lain yang dianggap keren padahal biasa aja itu, sepertinya tidak sepenuhnya salah penulis itu. majalah remaja, televisi, dan berbagai akses informasi lain yang cenderung mendukung westernisasi atau acuan tertentu dalam pergaulan remaja, telah mempengaruhi remaja dalam memandang dunianya, begitupun dalam menghasilkan karya. oleh karena itu, dalam membaca teenlit, selain memahami isinya, dapat juga dijadikan bahan untuk memahami kebutuhan remaja. apa sih yang ada dalam pikiran mereka? apa sih yang sebenarnya ingin mereka sampaikan? apa yang sebenarnya harus diperbaiki dari generasi penerus bangsa ini?

    Reply
  21. HALOOOO……..
    gw penggemar baru wufi,baru umur 14…
    walau gt ga msalah klo gw iktan kn?????
    dr awl bca wufi gw uda trtarik bwt iktan…he…he….
    blogx menarik….
    bwat smuax slam knal yah!!!!!!!!!!!!!!!

    Reply
  22. Terima kasih atas komentarnya, Numpank Lewat. Memang semua media saling berhubungan, saling mempengaruhi.

    Terima kasih juga sudah mengunjungi warung ini, Andry & Cecilia. Umur 14? Masih imut dong. Tapi tentu saja tidak masalah. Selamat bergabung. Salam kenal juga.

    Reply
  23. aku mw tanya…
    alamat redaksinya teenlit apaan y??

    Cz aq pengen ngirimin naskah aku……..

    trus..
    apa ada info tentang lomba teenlit gitu..??

    THANK’s

    Reply
  24. Secara spesifiknya, saya tidak begitu tahu. Tapi coba deh Gramedia atau Gagas. Download saja daftarnya di Unduh Gratis. Atau pergi ke toko buku, baca beragam teenlit di sana. Nah biasanya di lembar-lebar awal atau belakang ada alamat penerbitnya.

    Info lomba teenlit? Belum ada tuh, Chacha. Kalau ada (meskipun saya tidak akan ikut ^_^) pasti kami informasikan. Atau ada pembaca lain yang punya informasi?

    Reply
  25. Bahasa gaul dipadu sastra… kurasa hasil paduannya bakalan dahsyat banget. Mungkin seperti Joker (The Dark Knight, 2008), menghibur tapi tajam.

    Sebagai salah satu pihak yang menganggap remeh teenlit (ngaku deh ;P) blog ini membuka wawasan aku. Ternyata penilaianku terlalu subyektif (kalau satu teenlit isinya Mary-Sue, maka semua teenlit isinya Mary-Sue).

    Kalau ada teenlit yang memecah paradigma generalisasi tadi, kabari yah.

    Reply
  26. kalo menurut saya ya….
    emang menurut beberapa orang yang gak begitu suka ama yang namanya teenlit pasti bakalan nilai itu gak berbobot, dan begitu juga sebaliknya, orang yang udah jatuh cinta (termaksud saya) bakalan trus pro teenlit dan bakalan nganggap bahasa yang kelewat atau sama dengan nyastra sebagai bacaan yang gak berbobot juga (karena bikin pusing!)
    lagian ada beberapa unsur yang bakalan ‘kena’ kalo dibilang sebuah buku novel teenlit itu gk berbobot.
    1. PENULIS
    sebuah buku gak bakaln ad kl gk ada pnlisx (itu hal biasa), dan kalo bukunya aja udah dibilang gak berbobot, berarti penulisnya juga dong!
    2. REDAKSI / PENGEDIT NASKAH
    sebuah nskah yang udah jadi (menurut penulisnya) pasti bakalan dikirim dan bakalan dibaca oleh redaksi yang pastinya udah menjadi makanan sehari-harinya. dan kalo buku yang dianggapnya berbobot (dengan berbagai pertimbangan) pasti bakaln direstuin untuk diterbitin. dan kalo menurut orang lain itu gak berbobot, berarti, yang nyetujuinnya juga dong gak berbobot.
    3. PENERBIT
    tentunya redaksi gak berdiri sendiri dong, dia juga punya yang namanya perusahaan/penerbit yang memperkerjakn mereka, dan kalo bukunya gak berbobot, sendirinya perusahaan/penerbit pasti juga sama kayak redaksi, GAK BERBOBOT.
    4. PEMBACA / PASAR
    sebuah buku diterbitin pasti karena ada yang suka. dan yang suka sama yang gak berbobot, berarti gak berbobot juga dong. Sedangkan teenlit itu hampir digemari oleh yang namanya remaja penerus bangsa, kalo bacaannya aja gak berbobot, mau jadi apa nieh bangsa!

    saran saya, mulailah mencintai karya sastra yang diaplikasikan dengan cara berbeda (toh teenlit juga karya sastra kan? main yang namanya BAHASA, perasaan dan mengutamakan keindahan karya) dan untuk berbagai macam umur. bacalah bacaan yang sesuai umur anda, jangan mengusik keindahan masa remaja dengan mengatakan kesukaan (membaca teenlit) mereka sebagai bacaan yang gak berbobot!
    TerImah kAsiH

    Reply
  27. saya senang sekali dengan tulisan Anda. Ini merupakan suatu inisiatif yang perlu diapresiasi. Teenlit yang berbobot, saya menanti masa-masa itu datang. Semoga saja mimpi kita semua terwujud dengan kehadiran bahan bacaan yang berkualitas dan mendidik masyarakat untuk lebih maju dan berwibawa.

    Salam dari saya,
    Manshur Zikri,
    Mahasiswa FISIP UI, 2009

    Reply
  28. karena aku sendiri remaja,dan kebetulan juga menulis cerita bersambung yg genrenya teenlit, agak susah juga ngeliat masalah ini dengan objektif.:p
    ya, kebanyakan teenlit yang aku pernah baca memang begitu. pilih satu tema: benci jadi cinta? atau cinta segitiga? hehehe
    tapi nggak semuanya gitu.
    ada juga beberapa teenlit yang pernah bikin aku mikir ‘untung belinya yang ini’. ya kaya DHPB itu. atau Let Go.nggak banyak memang, tapi cukup berkesan.
    dan… nggak semua remaja jauh sama sastra.
    meski suka teenlit, aku juga hobi baca novel yang rada berat, sebagian besar buku favorit adalah buku ‘sastra’. memang aku nggak bisa menilai buku-buku itu dengan.. yah, kaya kritikus sastra. cukup… bagus, i like it, dan merenungkan pelajaran-pelajaran yang ada di sana. salah satu yang aku suka adalah Sang Alkemis. dan yang agak spesial buatku adalah Kisah Dua Kota.
    sebagai anak kecil (waktu pertama kali baca umurku masih 12 tahun)aku nggak begitu meresapi peristiwa Revolusi Perancis yang jadi benang merahnya.masih belum bisa memaknai semangat kebebasan kaya gitu. aku lebih tertarik sama penulisannya. narasi deskripsinya. novel itu menggambarkan lingkungan sosial dan budaya dimana cerita berlangsung. itu dia yang aku suka.apalagi kalau bener-bener ‘nangkep’, terjun langsung ke kehidupan sehari-hari.menang satu poin dari kebanyakan teenlit, yang kadang melewatkan bagian ini.dan tentunya, nilai moralnya juga lebih ‘dapet’.kalau yang ini, aku pakai contoh Para Priyayi.
    tapi tetap saja, remaja suka dunia remaja. 🙂

    Reply
  29. Artikel yang menarik dan bermanfaat.
    TRE hanya ingin berkomentar singkat saja;

    “Seseorang yang cerdas berkomunikasi bukanlah ia yang bicara/ menceritakan dengan gaya bahasa ilmiah dan kaya akan istilah-istilah. Akan tetapi ia akan dikatakan cerdas dalam berkomunikasi adalah ia yang mampu bicara/ menceritakan dengan gaya bahasa yang disesuaikan dengan lawan bicaranya. Yang terpenting pesan moral yang ditujukan tersampaikan.”

    salam santun dari Gelas Kosong… *^_^*

    Reply
  30. terima kasih… artikel ini sungguh memompa semangat saya dalam menggarap novel pertama saya, yang takkan jauh dari tokoh remaja 🙂

    Reply
  31. Saya tertarik dengan tulisan anda mengenai sastra, menurut saya studi mengenai sastra merupakan ilmu yang
    menarik juga banyak hal yang bisa dipelajari di dalam pembelajaran bahasa.
    Saya juga mempunyai tulisan yang sejenis mengenai beberapa sastra
    yang bisa anda kunjungi di Dunia Sastra

    Reply

Leave a Reply to Rori Cancel reply

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Don't do that, please!