Menulislah Seperti Anda Berbicara

Menulislah Seperti Bicara

Salah satu faktor yang mendukung karier kepenulisan seseorang adalah kegemarannya membaca. Banyak membaca akan menggugah pikiran untuk (ikut) menulis. Namun berhubung minat baca masyarakat kita masih minim, maka begitu pula minat tulisnya.

Tabiat orang bermacam-macam. Ada yang suka membaca dan mengkritik tulisan orang, tetapi ketika disodori pena dan kertas, dia geleng-geleng, “Saya nggak bisa nulis.” Ada pula orang yang tidak suka membaca, tetapi bernafsu sekali ingin menjadi penulis. Hahaha ….

Ahmad Tohari dalam artikelnya yang berjudul “Bacalah!” dan Kita Lupa yang dimuat di lembar budaya Khazanah, Harian Pikiran Rakyat edisi 24 Januari 2009, mengatakan bahwa minimnya minat baca dan tulis di negara kita boleh jadi lantaran faktor sejarah.

Di zaman penjajahan dahulu, siapa saja yang berhak bersekolah? Berkat adanya politik balas budi, anak-anak Indonesia dapat mengenyam pendidikan. Walaupun jumlahnya terbatas.

Penulis novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jentera Bianglala ini juga mengungkapkan faktor lain kurang diapresiasinya kegiatan membaca dan menulis. Yaitu, tradisi tutur.

Anda pasti setuju jika saya mengatakan berbicara itu lebih mudah daripada menulis? Tak heran bila orang kemudian memilih berbicara ketimbang menulis untuk menyampaikan gagasannya.

Saya bukannya sedang memandang rendah tradisi yang sudah sangat tua ini. Karena tradisi tutur, seperti mendongeng yang dituruntemurunkan ke anak-cucu, kelak pun dapat menjadi pusaka yang berharga.

Bahkan seingat saya, kesusastraan Prancis dimulai dengan cerita dari mulut ke mulut. Ditambah sedikit bumbu ini-itu, akhirnya jadilah cerita panjang yang kalau tidak salah judulnya Chanson de Roland.

Tradisi tutur berkembang menjadi tradisi tulis. Di negara-negara lain pun tampaknya terjadi proses serupa. Termasuk di Indonesia. Maka tentu saya tak mau gegabah mengatakan tradisi tutur (seperti TV dan radio) tidak berguna.

Sebagaimana yang juga diungkapkan Ahmad Tohari, “Banyak nilai-nilai kearifan bisa diturunkan dan dilestarikan melalui tradisi ini. Namun, harus diakui pula adanya ekses tertekannya usaha pengembangan kebiasaan baca-tulis di masyarakat kita.”

Ya. Kalau kebanyakan mendengar dan berbicara, kapan kita punya waktu untuk membaca dan menulis?

Lantas, muncullah pertanyaan mendasar ini: “Memang, apa pentingnya membaca di zaman serba visual ini?”

Seperti kata pepatah, “Buku adalah gudang ilmu, dan membaca adalah kuncinya.”

Dengan membaca, kita jadi tahu banyak hal. Hasilnya jauh lebih detail dari hasil pembelajaran melalui media audiovisual. Kita akan tahu proses terjadinya kehidupan di bumi, sebab terjadinya Perang Dunia, seluk-beluk ruang angkasa, kehidupan seorang geisha, dan sebagainya.

Termasuk di antaranya hal-hal yang tidak kasat mata, seperti perasaan dan pemikiran seorang penderita AIDS, pendaki Himalaya, atau hal-hal di sekitar yang kita sendiri sebelumnya tak pernah menyadarinya. Membaca juga sama halnya dengan berkenalan dengan seseorang atau dunia lain.

Menulis pun setali tiga uang. Dengan menulis, kita dipaksa berpikir kritis, mencerna segala sesuatu dengan baik, memperhatikan setiap obyek dengan saksama, memilah mana yang baik dan yang tidak, mendokumentasikan berbagai peristiwa yang penting (dan tak penting) sebagai arsip sejarah.

Namun, di kalangan komunikator, budaya tulis seringnya kalah populer dibanding budaya mengobrol. Maka timbullah usaha untuk ”mengimbangi” budaya ini. Tanyakan pada orang marketing, bagaimana membuat surat penjualan yang meyakinkan? Jawabnya: buatlah seperti orang bicara.

Tanyakan pada pengarang, bagaimana agar tulisannya enak dibaca? Sama pula: kenali segmenmu, lalu menulislah seperti lewat mulut. Para penulis teenlit menggunakan bahasa percakapan sehari-hari (bahasa gaul) agar pembaca merasa sedang didongengi oleh temannya sendiri.

Para sastrawan menggunakan berbagai ungkapan dan metafora supaya pembaca memahami isi tulisannya dengan lebih dalam (atau untuk menunjukkan wawasan dan kepiawaiannya mengukir kata).

Apapun triknya, benang merahnya sama: buatlah menulis seperti berbicara kepada teman, orang tua, kakak, adik, dosen, dan lain-lain. Sedang menyusun makalah atau skripsi pun idem saja. Anggaplah Anda sedang berbicara dengan khalayak banyak. Hanya, jangan lupa gunakan bahasa yang formal dan sesuai EYD. Selebihnya, fiksi atau nonfiksi sama saja.

“Tapi bahasa yang saya gunakan masih amburadul,” bantah Anda. ”Sudah gitu, saya nggak bisa membuat kalimat yang bagus, yang ada kiasannya. Padahal saya ingin tulisan saya sebagus tulisan Ayu Utami.”

Yah, bila demikian kasusnya, anggap saja Anda bayi berumur satu tahun yang sedang belajar bicara. Dahulu, Anda tidak pernah merasa lelah belajar bicara, bukan? Apa akibatnya? Tak mungkin Anda tambah bego. Pasti tambah jago! Alah bisa karena biasa. Betul?

BAGIKAN HALAMAN INI DI

15 thoughts on “Menulislah Seperti Anda Berbicara”

  1. Mau nambahin, Rie. Menulis tuh jg sama dg mengonsep. Jd tak cuma mengarang indah, tp merancang. Tak peduli hasilnya nanti ttp tulisan (cerpen, novel, artikel), berbentuk visual (komik, poster, iklan), audio (acara talkshow, berita), audio visual (FTV, reality show), atau live (pidato, seminar).

    Jd seorang penulis profesional bisa terjun ke budaya oral sekaligus (tentu sj) budaya tulis. Potensi tak terbatas, bukan? Tp memang kayaknya semua spesies penulis yg aku sebut di atas jurusnya sama dlm memikat audiens: Menulis (yg hasilnya) seperti (orang) berbicara.

    Reply
  2. Thx Sandeq & Brahm.
    Iya, ya, menulis sama dengan mengonsep? Aku baru kepikiran. Tololnya… Apalagi itu, menyatukan budaya oral & budaya tulis. Bener. Biar seimbang. Coba, gimana kalau semua orang cuma bisa ngobrol atau nulis aja? Jadi aneh hehehe.

    Reply
  3. Tapi yang sering saya alami, imajinasi begitu kencang melaju tapi tak seiring dengan kecepatan ujung jari saat menari di atas keyboard. Jadinya saat imajinasi sudah sampai di etape ke-2, eee tarian jari baru finish di etape 1. Ketika ingin melanjutkan menari di etape ke-2, hilang tak terkejar tuh imajinasi, jadinya mentok lagi-mentok lagi. Akhirnya tulisan itu pun terbengkalai.
    Karena gak dikonsep kali ye??

    Reply
  4. Bisa jadi, Wahyudi. Imajinasi itu bergerak bebas. Semua orang juga kayaknya nggak bisa ngejar imajinasi. Cara yg paling gampang bwt masalah ini sih, catet aja poin2 penting yg mau kamu tulis. Singkat2 aja. Nanti juga kamu bakal inget, terus nulis lagi deh.
    Met nulis…

    Reply
  5. meng-konsep yang dituangkan dalm bentuk tulisan (brupa corat-coret)…
    widih, ini-nih penyakit yang kudu saia perangi.

    “Mau nulis-nya,tp ga mau nulis konsepnya.”

    Seringnya overconfident,bikinnya konsep di pikiran…dan selanjutnya bagaimana nanti pas nulis (doh)

    btw, kumpulan cerpennya bagus 🙂

    Reply
  6. Thx, Pradna.
    Hahaha. Aku juga suka males bikin konsep. Tapi minimal kalo mau nulis tp nggak sempet, tulis idenya aja dulu. Digarapnya kapan2 hehe. Soalnya kalo dicatet di kepala gampang lupa. Aku sih biasanya, ketemu ide = ketemu judul. Yah, tiap orang punya cara sendiri2 buat nulis. Kalo aku sih, ya kayak itu tadi.

    Reply
  7. mas brahm saya bisa minta contact, messanger ma facebook nya ?

    saya mau konsultasi dan belajar banyak nich sama mas brahm masalah penulisan terutama yang ke arah novel sama skenario……!!

    thanks b4 yach mas….?

    Reply

Leave a Reply to rie yanti Cancel reply

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Don't do that, please!