M-Novel: Menggerakkan Industri Novel dengan Ponsel

M-Novel: Menggerakkan Industri Novel dengan Ponsel

Suka atau tidak, generasi sekarang lebih dekat ke televisi, internet, atau ponsel ketimbang koran atau buku. Padahal, merekalah yang akan menjadi pasar dari produk-produk penerbit atau media. Maka secanggih apapun perkembangan teknologi, anak muda harus tetap membaca. Dasar pemikiran inilah salah satu yang digunakan oleh perusahaan content provider untuk berdagang konten melalui m-novel. Tak tanggung-tanggung, novel tebal pun sekonyong-konyong muncul di tempat biasanya orang baca SMS.

Mizan pernah meluncurkan Fonovela pada Februari 2008. Novel-novel favorit terbitan grup Mizan pun dapat diunduh melalui ponsel. Lalu pada April 2008, Dewi Lestari juga menjual novel Perahu Kertas-nya, tetapi hanya melalui operator seluler XL. Lumayan, novel digital tersebut telah diunduh lebih dari 200.000 kali, dengan total pemasukan Rp1,2 miliar.

M-Novel di Indonesia

Namun, fungsi m-novel Perahu Kertas, atau di Indonesia secara umum, sepertinya hanya sebagai teaser. Novel dalam bentuk buku fisiknya kemudian diluncurkan. Rupanya, di masyarakat kita masih berlaku hukum lama, “Kalau tidak diterbitkan dalam bentuk buku fisik, belum terasa terbit namanya.”

Ide membawa novel yang biasanya setebal ratusan halaman A5 ke kotak layar 4 x 4 cm sendiri sebenarnya sedikit memaksa. Itulah mengapa bisnis m-novel yang begitu ideal dan sesuai jargon marketing global (mobilizationpersonalizationgreenification) tidak pernah maksimal.

Beberapa content provider yang berbisnis cerita di jalur seluler bahkan banyak yang gulung tikar. Situs-situsnya amblas. Kita juga sudah tidak mendengar lagi gaung Fonovela Mizan, bukan? Bisa jadi, memang tidak laku.

M-Novel di Jepang

Di belahan bumi yang lain, pemandangan yang ironis terjadi. Anak-anak muda di Jepang justru keranjingan mengunduh novel via ponsel. Artinya, ada yang berbeda antara pendekatan di Indonesia dan Jepang. Mari kita ulas sedikit keadaan di Jepang itu.

  1. Cerita m-novel-nya singkat. Sebagai konsumen, kita tidak mau jari keriting karena terlalu sering memencet keypad dan mata lelah karena terlalu sering memelototi layar. Perahu Kertas saja berisi 12 bab yang masing-masingnya berisikan sekitar 12 halaman.
  2. Waktu pengunduhannya relatif singkat. Semakin lama, orang semakin tidak sabaran. Baterai ponsel juga mudah panas bila terlalu keras bekerja mengunduh. Dan, rasanya e-book (untuk PC) juga merupakan kompetitor m-novel, karena proses pengunduhan e-book pastinya lebih cepat.
  3. Ongkos pengunduhan relatif rendah. Setidaknya, tidak sampai melebihi biaya novel fisiknya. Bandingkan dengan di Indonesia, pengunduhan total bab Perahu Kertas bisa memakan pulsa sampai Rp80.000. Padahal buku cetaknya hanya Rp60.000. Kalau bukan berkat nama besar Dee, m-novel ini jelas tidak menarik secara ekonomi.
  4. Tidak eksklusif untuk satu operator. Mengapa M-Komik khusus buat pelanggan Telkomsel? Kenapa Perahu Kertas hanya bisa diunduh pengguna XL? Ini zamannya sinergi. Konsep ATM Bersama di perbankan dapat menjadi contoh. Jangan ada pengotak-kotakan!
  5. Bila ingin eksklusif, eksklusiflah untuk mediumnya. Maksudnya, jangan jual versi cetaknya. Mau diadaptasi? Sekalian saja ke medium komunikasi lain, semisal film atau komik. Konsumen pasti penasaran setengah mati membaca teks promo, “Setelah ledakan Supernova, Dewi Lestari merilis Perahu Kertas. Takkan ada versi kertasnya. HANYA BISA DIBACA LEWAT PONSEL!!”

Saat ini, kita memasuki era yang membuat teknologi didorong untuk menjumpai orang. Bukan zamannya lagi menggiring konsumen ke toko buku. Produsenlah yang seharusnya masuk ke ruang-ruang privat konsumennya. Dalam hal ini melalui ponsel, PDA, BlackBerry, atau pocket PC.

M-Novel Sebenarnya Konsep yang Ideal

Inovasi m-novel akan mendorong kita menuju era paperless yang sedang menjadi tren global. Steve Ballmer, CEO Microsoft, bahkan menubuatkan bahwa seluruh media cetak akan musnah. Ini mungkin berlebihan, tetapi mari kita tengok situasinya.

Harga kertas terus melonjak. Ini diperparah dengan resesi dunia. Beberapa penerbit besar sengaja menciutkan volume produksinya lantaran krisis (yang di tahun 2009 diprediksi masih akan berdampak). Bahkan karya-karya yang sudah mendapat persetujuan terbit, dengan teganya, mereka kembalikan ke penulisnya. Batal terbit!

Bahkan seandainya harga kertas tiba-tiba jadi murah sekali, tetap ada tanggungan bahwa semakin banyak manusia mengonsumsi kertas, semakin banyak pohon ditebang. Ini berlawanan dengan nurani kita untuk menyelamatkan bumi dari global warming.

Perkembangan telekomunikasi seluler membawa industri novel menuju kepraktisan. Untuk perusahaan content provider dan operator seluler, proses penerbitan lebih cepat ketimbang waktu yang diperlukan penerbit biasa untuk menerbitkan sebuah naskah.

Bagi pengarang atau content writer, inovasi ini pun terasa praktis. Siapapun tahu, hanya segelintir orang yang beruntung menyaksikan karyanya diterbitkan jadi buku. Dengan m-novel, setengah persoalan itu telah terpecahkan. Di samping prosedur seleksi naskahnya yang tidak seketat di penerbit konvensional, nama besar pengarang tak terlalu diperlukan. Yang penting adalah statistik pembaca atau pengunduh.

Sebab, penjualan cerita dengan cara ini seharusnya berjalan sesuai dengan prinsip long tail (si Ekor Panjang) yang dikemukakan Chris Anderson. Artinya, kita harus menjual sebanyak-banyaknya variasi cerita, dengan harapan setiap variasi itu menemukan ceruk pembacanya masing-masing.

Karya-karya yang tak populer mungkin takkan membukukan hasil penjualan yang tinggi. Namun karena jumlahnya banyak, nilai total penjualannya pun bisa melampaui segelintir karya yang populer. Dalam grafik, hasil penjualan karya-karya tak populer itu pendek-pendek tetapi panjang, mirip buntut hewan. Karena itu dinamai The Long Tail. Strategi bisnis ini sudah diterapkan, misalnya oleh toko serba lengkap Amazon dan Netflix.

M-Novel: Era Baru dalam Mengonsumsi Novel?

Novel seluler berpotensi membawa kita ke era membeli cerita. Bukan lagi era membeli kertas, kata pengantar, endorsement, ucapan terima kasih, dan seterusnya. Bukan berarti kata pengantar, ucapan terima kasih atau endorsement itu tidak penting. Cuma, lembar-lembar seperti itu lebih efisien jika diletakkan di blog si penulis saja.

Dulu ada slogan, “Ini biangnya, buat apa beli botolnya!” dari sebuah minuman energi. Pesan itu masih berlaku bagi produk apapun, termasuk pernovelan. Bukankah yang paling dibutuhkan dari buku novel adalah ceritanya sendiri. Itulah yang dijual di m-novel.

Dengan pertumbuhan sekitar 30% per tahun, ponsel semakin menjangkau banyak kalangan di Indonesia. Mungkin ini melebihi laju penyebaran internet dan distribusi buku konvensional. Dari sini, baru terlihat signifikannya gebrakan m-novel. Ini memungkinkan, misalnya, orang di Papua membaca novel karangan seorang penulis Padang, bahkan tanpa harus memindah posisi duduknya.

Namun, terlalu dini untuk mengklaim kesuksesan inovasi m-novel. Sebab, masih banyak yang perlu dibenahi di platform ini.

BAGIKAN HALAMAN INI DI

24 thoughts on “M-Novel: Menggerakkan Industri Novel dengan Ponsel”

  1. kalaupun jadi m-novel di keluarin..
    masalahnya HP saya masih tidak memungkinkan menyimpan data yang besar. trus kayaknya masih afdol baca dari buku ketimbang baca novel di layar 4X4 Cm.

    Reply
  2. To ariez : apalagi HP saya, bisa meledak kalo dimasukin data yang gede hehehe. Yah, HP ‘kelas berat’ memang masih menjadi milik sebagian orang aja….

    To brahm: kata siapa Tahun Baru masih lama? Maksud saya, Tahun Baru Hijriyah, 1 Muharram!

    Reply
  3. Yah, keterbatasannya emang gitu, Riez. Menurutku, kendala itu akan ditoleransi konsumen kalau punya gadget berlayar lega (spt kata Pasha) dan di lain sisi cerita novelnya eksklusif (khusus beredar di ponsel).

    Tahun baru 2009 Hijriyah? Hahaha ….

    Reply
  4. Je prefere le livre digital dans l’ordinateur que celui dans la telephone cellulaire… Mes yeux… Je garde mes yeux…

    “Bonne nouvelle annee 2009”

    Reply
  5. Brahm sendiri, ga berminat bikin novel yang beredar di HP? Kan lumayan tuh, bisa bikin jempol orang kapalan gara2 baca tulisannya Brahm. Hehehe…

    Ups, hemat kertas sih boleh2 aja. Tapi apa yakin dengan bikin e-book dan m-komik serta sejenisnya, bakal membantu mengatasi–apa tuh namanya–global warming? Apa bener ga ada masalah dalam pemanfaatan energi dan pengerukan sumber daya alam lainnya yang berkaitan dengan pembuatan HP dan buku elektronik? Eh, ngomongnya kejauhan, keluar dari konteks ya?

    Hijriyah? Hehehe. Mulut ember kaya saya didengerin… Yang salah siapa, coba? Penjahat…
    Daripada salah bin ember lagi, saya bilang aja Isuramukyo Omedetoo. Oyasuminasai, Brahm-san. Ai shi…lewatin aja deh!

    Reply
  6. Terima kasih sarannya Kang Asim. Masukan2 yg oke tuh. Ke depannya mungkin penerbit semakin agresif promosi spt itu, dan mrk akan mempertimbangkan konvergensi media. Semoga aja saran sampeyan didenger ama yg bersangkutan.

    Moi aussi, Rie. Mais c’est une bonne innovation, n’est-ce pas? Et un jour, on avance mieux. Merci.

    Ya enggak lah, teknologi ini lbh green. Sumber daya alam seperti apa lg yg dikeruk? Kalau ada yg punya uneg2 kontraproduktif, silakan ceploskan buat diskusi. Soalnya setahuku ya e-book dan m-book tuh mendukung pencegahan global warming. Thx.

    Dan akhirnya, met menjalani th 2009 semuanya!!

    Reply
  7. wah kayaknya mang bener neh, e-book bisa ngehemat kertas..

    tapi saya lebih enak baca buku ah!!
    hehehehe..

    to pasha: dah ga pa2 HP kita kayak gitu!
    yang penting masih bisa nikmatin fiksi kan??

    met tahun baru semua!!

    Reply
  8. Yang rukun dong!

    Ha ha ha….
    Selain bank, sebenarnya kita bisa melihat fenomena grup band. Sekarang persaingan di bisnis musik semakin ketat. Tapi band-band sering manggung bareng, rukun, kompak, guyup, saling memuji, saling bertukar vokalis, dan seterusnya. Ini sinergi juga, kan?

    Reply
  9. Trims, Ariez & Aleena. Oh, iya ya. Mungkin ini seperti orang2 jalanan yg tiap kali mau bertengkar akhirnya nggak jd lantaran kalimat pendamai, “Udah, Bang. Kan sama2 cari nasi.” Persaingan saat ini (spt di band yg kamu contohkan) lbh positif ya. Kompak bangun industri mrk. Bukannya saling bunuh dg fanatisme merek masing2.

    Reply
  10. eee-pradna to …

    hm (juga) …
    Kalau panjang (sampai 100 halaman atau lebih), mending konvensional aja. Kalau pendek dan ceritanya langsung menggigit, cobalah inovasi baru ini.

    Oh ya, kapan cerpen2mu dikirim ke Wufi, Prad?

    Reply
  11. *mengangguk paham*

    ini baru aja nyelesein novel 1st (yg dah stengah taon terbengkalai),jd blm produce cerpen lg…
    tp karena ditanyain gitu,
    jadi bersemangat!

    brati Insya Alloh segera dikerjakan cerpen buat wufi…. *jumawa dan obral janji (menjelang pemilu)*

    Reply
  12. Di belahan dunia maju, perdebatan mana yang akan bertahan lebih lama -bentuk buku fisik atau non fisik- masih terus berlanjut, ketika amazon merilis Kindle, banyak yang beranggapan bahwa era buku fisik akan segera mati, namun ternyata banyak juga pihak, baik itu publisher dan juga penulis sendiri yang berpendapat bahwa buku fisik masih sulit untuk digantikan.

    Buku dalam bentuk fisik masih punya senjata ampuh yang sulit untuk digantikan oleh bentuk non fisik, seperti persinggugan antara manusia dengan kertas, bau kertas, berbagai hal yang berhubungan dengan perasaan terhadap bentuk fisik, dan tentunya kebanggaan meminjamkan buku -apalagi yang sudah kuno- pada kolega atau orang lain.

    Bentuk non fisik memang punya juga senjata yang bisa membuat bentuk fisik jatuh terkulai, seperti kecepatan penyebaran, real time, murah serta hambatan hirarki yang bisa ditembus dengan mudah oleh bentuk non fisik (baik itu mobile maupun e-paper), namun segala kemudahan dan kemurahan saja tidak cukup, isu seperti pohoh yang ditebang untuk produksi kertas pun bisa disiasati dengan memproduksi kertas ramah lingkungan -yang kini marak di mana-mana- seperti contohnya beberapa buku dewi lestari yang menggunakan kertas ramah lingkungan, lalu kini gramedia group yang menggunakan kertas ramah lingkungan (yang kabarnya impor) untuk berbagai lini penerbitan mereka.

    berhubung buku akan selalu identik dengan manusia sebagai konsumennya, sepertinya bentuk non fisik masih mendapat tempat lebih di hati konsumen, karena hubungan personal dan sentuhan fisiknya yang masih dominan.

    Dunia kini begitu cepat berubah, apa yang akan terjadi di masa depan adalah semacam ketegangan yang patut dinantikan, kita lihat saja mana yang akan diminati pembaca, buku konvensional atau buku non konvensional.

    salam buku

    Reply
  13. Trims tambahan informasi dan opininya, Wikupedia. Tp rasanya tren lbh berpihak ke kertas digital, meski masih perlu waktu bertahun2, apalagi di Indonesia. Sentuhan fisik ini cepat atau lambat pasti bisa diadaptasi manusia. Toh gadget macam Kindle jg bisa dipegang, diendus dan dipinjam2kan 😛

    Lagipula, mari melihat tren globalnya. Dulu orang suka berlangganan koran kan. Kini? Oplah koran dimana2, scr global, menurun. Orang lebih suka baca e-koran. Gratis, praktis. Semua koran besar mengantisipasi fenomena ini dg ramai2 membikin portal jg e-paper (utk edisi cetak terbarunya!). Ini, menurut saya, adalah keniscayaan.

    Tp setuju, “pertarungan” ini adalah ketegangan yg patut dinantikan. ^_^

    Reply
  14. hehe…

    masalahnya koran di kita itu agak latah bos…seharusnya bentuk e-paper itu tidak mengkanibalisasi bentuk cetak, kalau ini terjadi berarti bunuh-bunuhan sama produk sendiri…

    menurut saya (menyambung tulisan saya kemarin) para produsen itu sebaiknya masuk dalam konsep berpikir hybrid (on-line mendukung off-line dan begitu juga sebaliknya) karena karakter pengguna dua media ini bisa jadi sangat terspesialisasi, versi cetak punya karakter sendiri dan versi on line punya karakter sendiri

    kalau mau lihat trend global sih, memang kini industri media cetak sedang empot-empotan, tapi untuk mati sih masih bisa diperdebatkan, faktor yang berperan banyak banget, bukan hanya kemajuan teknologi tetapi harga saham, pengiklan, dan karakter perusahaan media global (yang besar kayak raksasa) yang biasanya lambat mengantisipasi pasar, tulisan saya kemarin juga kebetulan hasil membaca perdebatan seru di majalah writers digest (edisi-nya maaf lupa keselip di rak buku 😉 ) ada dua ahli yang masing-masing bertahan pada pendapatnya, satu sisi e-paper akan mengambil ‘nyawa’ kertas fisik, di sisi lain kertas fisik tidak bisa digantikan…

    yah, memang pertarungan ini belum ada pemenang, tapi saya kira yang bisa mengambil celah adalah yang melakukan strategi hybrid (off line dan on line)

    eh btw, kalau kindle diendus baunya ‘kan bukan bau kertas…hehehe

    Reply
  15. Versi cetak punya karakter sendiri online punya karakter sendiri (yg katamu “hybrid”), prinsip itu sudah lama dipraktikkan institusi media kita, bahkan sebelum era Web 2.0. Portal2 berita (selain Detik, krn Detik nggak punya koran cetak) kan emang gitu dari dulu.

    Soal e-paper akan menganibal koran cetak, di atas kertas jelas seperti itu. Tp yg terjadi ternyata tdk seperti itu. Dan aku yakin itu sudah masuk dlm pertimbangan bisnis pemilik media. E-paper yg pertama (setahuku) Jawa Pos, lalu Kompas, dst. Kalau Jawa Pos cuma edisi hari ini, Kompas malah menyediakan akses buat e-paper edisi2 terdahulu!

    Apakah media2 sekelas itu punya planning picisan? Latah? Nggak sadar kalau paper dan e-paper bakal bunuh2an? Aku bukannya membela institusi2 media kita, tp rasanya semua itu sudah masuk kalkulasi mrk.

    Aku yg awam sj bisa memperkirakan pengakses internet dan pembaca koran klasik adalah dua segmen yg scr teknografi berbeda. Jd imbas e-paper ini thd penurunan oplah koran kayaknya nggak signifikan.

    Aku yg awam sj bisa memperkirakan pengiklan akan semakin senang dg terobosan ini, krn dg tarif yg sama, iklan mrk bisa tayang bolak2 (offline-cetak dan online). Kalau model e-papernya kayak Kompas, iklan itu (sekecil dan seremeh apapun) malah bisa tampil “abadi”.

    Aku yg awam sj bisa melihat banyak pembaca yg suka dg keputusan ini. Krn sewaktu2 jk mrk butuh baca edisi lama, mrk bisa langsung klak-klik di internet, tak perlu bersin2 di hadapan bendelan2 koran di perpus. Periset, pengkliping, atau siapapun pasti berterima kasih pd media yg punya e-paper.

    Tp kanibalisasi tetap sj sangat mungkin terjadi. “Ngapain mahal2 langganan koran. Di internet aja bisa dapet gratis kok. Persis korannya pula! Edisi hari ini lagi!” Aku pun pakai logika ekonomis ini, hehehe. Tp, dibandingkan dg manfaat2nya, kerugian (bg institusi media) itu rasanya tergolong mikro.

    Lagipula, jika terjadi skenario terburuk (koran benar2 mati), sang media sudah punya gantinya, penyambung nyawanya: Portal internet yg serba bisa. “Tak ada produk yg kekal”, inilah jargon yg diamini banyak pebisnis. Media2 cetak besar macam Kompas dan Jawa Pos sudah siap mental ke situ. Makanya mulai bangun infrastruktur jauh hari sebelum doomsday itu terjadi.

    Siapa yg menyangkal, media cetak emang empot-empotan, tp iya, utk mati rasanya tidak semudah itu. Radio aja dulu diperkirakan mati gara2 TV. Tp kenyataannya radio terus ada kan, meski stagnan. Tp, eh, ternyata radio2 yg besar jg melakukan inovasi yg sama: bikin portal internet! Portal tsb lalu diisi dg “siaran online” (memungkinkan keterbatasan geografis FM jd kisah lama), “radio on demand” (arsipisasi, konsep yg sama dg e-paper ), serta tentu saja berita2 dan opini2 tulis yg nggak bakal kita temui di media induknya.

    Teruuus, soal Kindle yg bisa diendus2 … aku bercanda lg, Wiku! ^_^ Thx ya utk tambahan wacananya.

    Reply
  16. sebenarnya teknologi 2.0, menurut saya secara karakter bukan berarti membuat portal dan e-paper saja, karakter 2.0 itu ‘kan salah satunya lebih ke komunikasi dua arah, seperti yang dilakukan Kompas (mungkin karena ada peran hermawan kartajaya disana), nah itu loh yang dimaksud saya…

    kalau koran cuma latah bikin versi online tanpa mengetahui apa sebenarnya karakter dasar teknologi 2.0, itu yang saya takutkan terjadi di indonesia, bukan berarti perusahan-perusahaan besar itu punya planning picisan, tapi kemungkinan kesalahan paradigma-lah yang saya takutkan terjadi…

    saya pikir tidak semua perusahaan paham akan karakter berbagai kemajuan di dunia bisnis, sebagai contoh dalam dunia desain, para pebisnis masih banyak belum tau karakter desain/orang desain. Perusahaan biasanya tidak memperhatikan spesialisasi yang dimiliki oleh para desainer. Ini bisa dilihat dari iklan lowongan kerja untuk posisi desainer, serta proses wawancaranya.

    Dan ternyata dugaan saya ini setidaknya menyiratkan sedikit kebenaran, iseng-iseng googling jawa pos versi online, ternyata tidak ada faslilitas untuk memberi komentar, lalu dimana 2.0-nya? Hal seperti inilah yang saya maksudkan akan mengkanibalisasi versi cetak.

    Kompas memang bukan yang pertama untuk memulai versi online, tapi saya pikir Kompas bisa dibilang sebagai salah satu yang mengerti tentang karakter 2.0 ini, banyak aplikasi yang ada di Kompas versi online yang mengakomodir prinsip-prinsip dasar web 2.0, ini juga loh yang saya maksudkan sebagai pembedaan karakter konsumen penikmat online itu berbeda dengan versi cetak. (beberapa koran versi online lain juga memberikan fasilitas ini, seperti tempo, suara pembaruan)

    bukan hanya planning yang terpenting dari lanskap bisnis, tetapi konsep dasar dalam berpikir secara makro dari sebuah perusahaan yang musti dibenahi.

    Ketika versi online hanya menggunakan konsep berpikir 1.0, kita harus kembali bertanya apakah hal seperti ini bisa dinamakan kemajuan.

    Analogi ‘tak ada produk yang kekal’ sebetulnya bisa juga dipakai para pemain industri guttenberg, arwah Guttenberg tidak akan diam dengan adanya Mark zukerberg dan konco-konconya di sillicon valley. Para produsen dan konsumen versi cetak akan terus melakukan inovasi, dan inovasi itu bisa online bisa juga tetap stay di offline, atau menggabungkan keduanya, seperti yang telah dicontohkan dengan radio itu. Analoginya, apakah dengan adanya halaman internet dan siaran online kemudian radio itu menutup lini bisnisnya yang konvensional? Bukankah ini contoh dari konsep hybrid?

    Penggunaan data dan sumber yang saya kutip sebenarnya bukan untuk kesombongan dan sok tau, justru karena saya tidak banyak tau, maka saya mengutip pendapat para ahli, bukankah diskusi ilmiah itu memang harus ada dasar yang kuat?

    Terus terang saya ada dalam posisi menikmati fasilitas online, tetapi bukan berarti saya harus mendewakan versi online, sikap kritis harus selalu ada bukan?

    Atas dasar ini dan sedikit rasa penasaran saya terhadap perkembangan media versi online, saya melakukan survei kecil-kecilan pada teman-teman wartawan lepas yang saya kenal, saya tanyakan pada mereka tentang sebuah analogi atas kematian media cetak.

    Jawabannya adalah tidak mungkin atau setidaknya belum dan belum ini untuk jangka waktu yang sangat…sangat lama. Menurut mereka, versi cetak tidak akan pernah mati, jika diatas kertas (seperti menurut bung) versi cetak akan mati, mungkin kertas yang dipakai untuk menganalisa adalah ‘kertas’ kota, pola pikir perkotaan. Kita harus sadar bahwa teknologi internet di negara kita masih baru, masih blepotan dan masih kalang kabut, dan masyarakat kita juga masih banyak yang ‘ngampung’, yang terkadang memang kampungan, bermain-main dengan teknologi tapi budaya masih ‘ndeso, persis seperti analogi yang
    dibahas Seno Gumira Ajidarma dalam sebuah artikel di majalah Jakarta-jakarta dan persis seperti gaya hidup saya pribadi (hehehehe)

    Ketika budaya baca kita terus dilompati oleh berbagai kemajuan global, maka peran internet masih terus bisa dipertanyakan, apakah masyarakat pedesaan sudah mengakses versi online kompas?

    Ketika HP dan sebelumnya TV sudah masuk desa dan bisa hidup dalam budaya desa, apakah kondisi ini juga bisa terjadi pada media baru versi online?

    Dan apakah jika masyarakat desa (yang jumlahnya sangat banyak di negara kita ini) sudah bisa mengakses media versi online itu akan meningkat harkat hidup mereka? Dan apakah mereka bisa memanfaatkan teknologi versi online ini sesuai dengan karakternya?

    Apakah semua masyarakat negara kita ini memakai logika ekonomis, seperti yang bung terapkan? jangan-jangan logika ini hanya sebatas logika orang ‘kota’ yang kebetulan bisa ngetik, bisa baca, bisa klik sana kemari.

    Lagi pula internet itu tidak gratis kok, kalau pun biaya mengaksesnya murah dan mungkin akan semakin murah, tetapi masih ada biaya yang sangat mahal yang harus kita bayar. Biaya itu adalah biaya edukasi internet itu sendiri, tidak semuanya bisa ‘paham’ dengan singkat dan cerdas akan manfaat, bahaya serta perkembangan internet itu sendiri.

    Pertempuran tentang versi cetak dan versi online akan terus berlangsung, dan ini juga berlaku pada diskusi ini, saya tidak perlu berterimakasih atas tambahan ilmu dari wacana yang terus berlangsung ini, hal itu sudah sangat terjawab dengan keinginan saya untuk terus berdiksusi.

    oh ya, hampir lupa, Bung tidak usah sampai 3 kali menjelaskan bahwa bung ini orang awam, itu sudah terlihat jelas kok….hahahahaha ( maaf kalau bercandanya kelewatan 😉 )

    Reply

Leave a Reply to Brahm Cancel reply

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Don't do that, please!