Mencoba Mengurai Gores-gores Kusut Komik Indonesia

Mencoba Mengurai Gores-gores Kusut Komik Indonesia

Sama seperti film, komik Indonesia termasuk salah satu produk yang belum berhasil menjadi tuan di rumah sendiri. Eksistensinya seolah dilibas karya-karya luar: Jepang dengan manga-nya, Amerika dengan komik superhero-nya. Pertanyaannya lalu sesederhana kata: mengapa.

Salah satu uraian “karena” pun disuarakan Yudiana Dian Fianto, ST., Direktur Utama Studio Komik Bajing Loncat. Berikut petikan wawancara saya dengan pria penyuka karya Peyo (Johan & Pirlouit) dan lsmail (komikus Jogya pembuat Si Muka Kacang) ini.

Bagaimana pendapat Anda mengenai komik-komik luar yang sekarang menggejala di lndonesia?
Itu sebenarnya hanya salah satu bentuk dari produk yang membludak di negara kita, seperti Playstation sampai motor Cina. Ini terjadi karena masyarakat kita cenderung konsumtif. Saya tidak ingin menyalahkan masyarakat, sebab mereka tercipta oleh suatu sistem yang membuat kita semua hanya berpikir keuntungan jangka pendek. Sistem seperti ini lebih menonjolkan keunggulan komparatif upah buruh rendah daripada kualitas yang tinggi.

Pola yang sama terjadi pada penerbitan di Indonesia. Berapa harga royalti komik Jepang untuk Indonesia? Mereka, Jepang, menjual hak cipta penerbitan dengan sangat murah, tentu karena mereka telah untung besar di negara sendiri dan di negara-negara Amerika maupun Eropa. Bahkan, tahukah Anda bahwa serial Doraemon diberikan secara gratis kepada RCTI selama tiga tahun?

Maksudnya berpikir jangka pendek?
Para penerbit, khususnya X (Yudiana menyebut salah satu nama penerbit besar) sering berpikir pendek. Mereka merasa lebih mudah dan murah untuk membeli hak cipta komik Jepang, dibandingkan harus membayar komikus lokal. Kalaupun menerbitkan komik lndonesia, mereka menekan cost sekecil mungkin agar bisa sama atau lebih rendah ketimbang biaya pembelian hak cipta produk luar. Anda bisa mengonfirmasikannya pada komikus yang karyanya telah diterbitkan seperti Hans Jaladara atau Dwi Koen. Apa honor yang mereka terima dari komik cukup untuk hidup? Tidak! Mereka mengeluh karena dibayar seperti tukang batu.

Lo, bukannya Y (saya menyebut nama salah satu perusahaan yang semanagemen dengan X) punya misi membangkitkan kembali cergam lokal?
Nah, itu sister company. Namun sebetulnya kebijakan pusatnya sama, behavior-nya pun sama. Pendeknya, X memang tak memiliki komitmen terhadap komik Indonesia. Pola yang mereka pakai adalah royalti yang cuma 17% untuk buku beroplah kecil atau di bawah 5.000 eksemplar, dan 5—10% untuk oplah besar atau di atas 5.000 eksemplar seperti komik. Belum lagi sistem pelaporan yang tidak transparan. Terus, bagaimana pengarang atau komikus bisa mengaudit jumlah penjualan buku?

Kenapa yang begitu Anda bilang pola pikir jangka pendek?
Karena dengan demikian, Indonesia takkan pernah memiliki produk sendiri. Hal itu akan menjadi bumerang besar saat Globalisasi 2020 nanti. Ketika para penerbit luar dapat bebas membuka usaha di Indonesia, penerbit kita bisa-bisa malah mati. Dengan kapital yang besar dan profesionalisme tinggi, tidak susah mereka membuat jaringan yang lebih raksasa dari X. Sedangkan X selama ini sangat tergantung pada konten dari luar negeri. Begitu saatnya tiba, penerbit Jepang tidak lagi menjual hak ciptanya kepada penerbit kita. Sebab mereka bisa langsung menerbitkannya sendiri di sini. Habislah.

Namun kalau kita bicara tentang daya saing komikus lndonesia sendiri?
Kemampuan bersaing itu harus diciptakan, tidak bisa muncul dengan sendirinya. Sangat terasa bahwa bangsa kita cenderung ingin cepat sukses tanpa upaya yang keras. Ini bisa dilihat dari berbagai komentar tentang komik Indonesia, “Kok gambarnya nggak sebagus Akira? Kenapa ceritanya nggak sebaik Tintin? Komiknya kok nggak kontinyu?” Tampak dalam pertanyaan-pertanyaan itu sesuatu yang kita lupakan: Proses! Semuanya memerlukan proses. Memangnya berapa lama sampai Hergé dapat menghasilkan masterpiece semacam Tintin? Berapa waktu yang diperlukan Akira Toriyama untuk menciptakan Dragon Ball? Yang pasti tidak sebentar. Dan itu bukan komik pertama, atau bahkan kesepuluh mereka!

Anda melihat alasan lain yang membuat komik domestik kalah pamor?
Ya, faktor lain adalah kemauan. Tentu dari kedua belah pihak.

Para komikus merasa tidak bisa berkembang lantaran mereka rata-rata low capital. Sementara pihak penerbit juga tak mau ambil resiko untuk membiayai eksperimen yang belum tentu untung. Ini seperti lingkaran setan. Bagaimana menurut Anda?
Tidak ada lingkaran setan. Paling-paling hanya “setan-setan” yang menciptakan lingkaran, sebuah constraint yang mereka buat sendiri. Sama halnya dengan berbagai industri lain di lndonesia, tak ada R&D atau engineering, yang ada cuma manufaktur. Maksud saya di sini bahwa sebenarnya dalam bisnis apapun, kedua belah pihak harus berani melakukan investasi jangka panjang, berupa eksperimen atau riset dalam pembuatan produk baru. Coba lihat perusahaan multinasional seperti Microsoft, Honda, Mercedes. Berapa besar dana yang mereka keluarkan untuk R&D?

Bisa saja sih menggunakan hasil riset orang lain, tapi nanti yang terjadi malah ketergantungan sebagaimana hampir di semua industri Indonesia. Jadi, baik penerbit maupun komikus harus mau melakukan R&D, untuk kemudian memproduksi sendiri. Saya katakan sekali lagi ini adalah proses jangka panjang yang tidak mudah, tapi pada dasarnya demi keuntungan masa depan. Sebuah industri yang tidak lagi melakukan inovasi bisa dikatakan sudah berada pada ujung lifecycle-nya, yaitu kematian.

Produk-produk Anda sendiri kebanyakan ditargetkan untuk kalangan lslam. Terus, bagaimana mengantisipasi Globalisasi yang mungkin lebih mengagungkan karya yang plural?
Justru bentuk antisipasi terbaik menghadapi Globalisasi adalah melakukan eksperimen, sebelum terlambat. Belajar bagaimana bisnis komik seharusnya berjalan dari hulu ke hilir, artinya belajar bagaimana produksi, penerbitan, distribusi, dan promosi yang baik. Saya yakin tren yang diagungkan bukan pluralisme, melainkan hiburan. Lihat saja konten dari komik-komik yang berhasil di pasar dunia seperti Pokemon. Isinya nothing but entertainment.

Versi lengkap tulisan wawancara ini dimuat di majalah Pigment edisi 2.
BAGIKAN HALAMAN INI DI

19 thoughts on “Mencoba Mengurai Gores-gores Kusut Komik Indonesia”

  1. […Sama seperti film, perkomikan kita termasuk salah satu produk yang belum berhasil menjadi tuan di rumah sendiri…]

    Mas Brahmanto, memangnya ada, produk kita yang sudah jadi tuan di rumah sendiri?

    Reply
  2. Pasti ada lah. Kita kan nggak seterpuruk itu, Mas (Mbak?) Asip. Di dunia hiburan, contohnya musik. Industri musik kita, kalo saya bilang, sukses diapresiasi masyarakat kita sendiri lho. Bahkan digandrungi di negeri jiran. Sampai dijiplak2 segala lho di India :P, itu tuh, lagunya Peterpan soundtrack film Alexandria. Terima kasih atas komennya ya.

    Reply
  3. Sebenarnya, dengan menghitung jumlah penduduk dan apresiasinya terhadap komik, prospek komikus di Indonesia sangatlah besar. Tapi hal ini tampaknya masih dalam bayang-bayang saja sehingga profesi ini belum begitu berkiprah dengan besar.
    karena mungkin kita lihat sepintas gambar2 dalam komik itu sederhana, hitam putih, tapi dalam proses menggambarnya susah juga(saya mencobanya), karena itu, kita butuh satu modal.
    Pantang menyerah untuk menjadi komikus! dan saya sangat tertarik untuk mencoba lagi walaupun saya tidak terampil.

    Reply
  4. Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya, Mas Ruki. Iya, bener. Secara teori, penduduk kita ini banyak banget. Beberapa malah fanatik dg komik lokal. Tapi kenapa praktiknya, jarang banget ada komikus Indonesia yg kaya. Mungkin belum aja kali ya.

    Reply
  5. Dari segi kualitas, saya belum melihat ada komikus atau studio komik di Indonesia yang memeliki kualitas mendekati komik-komik best seller asal jepang di Indonesia. Kenapa saya belum melihat? mungkin saja di antara kita ada yang memilki kemampuan menggambar dan bercerita yang bagus namun umumnya kita terlalu takut untuk berjudi dengan potensi kita sendiri. jika tidak ada penerbit yang mau menerbitkan karya Tim Anda ( komik tidak mungkin dibuat oleh satu orang saja ), apa salahnya berjudi dengan menerbitkannya sendiri? Lupakan penerbit-penerbit besar di Indonesia, mereka terlalu takut untuk mengadakan kontes, membuat majalah komik bulanan hasil karya orang Indonesia ( bukan orang jepang tentunya ). Dengan semakin banyaknya pendidikan informal soal komik dan segala macam yang berhubungan dengan fiksi, saya rasa sudah saatnya kaum muda indonesia yang berpotensi di bidang tersebut untuk maju, mengambil resiko dan tentu saja, maju dengan pertimbangan yang matang. Jika tim anda yakin dengan hasil kerjanya, jangan ragu, terbitkan sajalah dengan cara indipenden. Go to hell penerbit-penerbit gede, toh mereka pasti akan melirik karya tim anda jika seandainya karya tersebut memang pantas bersaing dengan produk sejenis dari luar negri.

    Reply
  6. Bener sekali, Mas Rozi. Beberapa komunitas komik sudah menjalankan ide yg Anda paparkan: Penerbitan independen! Tp aku melihatnya lebih ke mindset pembaca komik kita. Mereka lebih bangga membaca komik luar (terutama Jepang), mau bagaimana lagi? Semangat sih ada, aku yakin. Tp struktur bisnis yg rasanya mereka blm ada. Nah sayangnya, struktur itu yg punya ya penerbit2 besar.

    Reply
  7. Saya setuju tuh “go to hell penerbit-penerbit gede”, terlebih dengan kemajuan teknologi sekarang amat memungkinkan untuk menerbitkan komik sendiri dengan hanya sebuah PC. Oh iya, sebenernya kualitas gambar komikus-komikus kita sudah sangat baik. Contoh saja komik “Carok” yang kini sudah menghilang entah kemana? Hanya saja beberapa-beberapa gaya ilustrasinya masih mengacu pada beberapa gaya negara tertentu, misalnya yang sering digunakan “manga”. Gimana kalo komikus-komikus Indonesia bersatu untuk menciptkan gaya tersendiri. Misalnya gaya “Indon” (bukan sebutan orang malaysia terhadap TKI lho).

    Reply
  8. Trims komentarnya, Mas Sulistyono. Tp menciptakan gaya Indonesia tuh sulit banget lho. Prediksiku, ide ini nggak mungkin terwujud dlm jangka pendek. Sementara prioritas yang lbh penting pada ngantre, seperti kontinuitas, konsistensi dan profesionalisme dlm mengomik. Biarlah komik2 kita bergaya Jepang, Eropa atau Amerika. Asalkan ceritanya, nama2 tokohnya dan penggambaran lokasi (masa’ di Afrika turun salju?) serta penokohannya (masa’ di Indonesia tokoh2nya pirang?) sesuai dg setting. Sebaiknya setting Indonesia sih. Wong beberapa komikus luar aja ambil setting di Indonesia kok (“Alam serta sosial-budaya Indonesia terlalu berlimpah dan eksotik utk kita lewatkan”). Jd kalau mau menciptakan komik Indonesia, bukan style-nya, menurutku, tp setting indonesianya yg kudu dikompaki. Bagaimana menurut Anda?

    Reply
  9. hei,semuanya!,gue berencana mau bikin komik…tapi bingung
    darimana gue mau mulai.please deh bantuin gue ya…,gue udah
    mati matian coba semaksimal mungkin tapi idenya terus saja berubah ubah.meskipun gitu ceritanya dijamin asik deh!,cuman itu
    masalahnya.darimana gue mulai dan apa yang harus gue lakuin
    agar karya gue bisa jadi yang terbaik!kemudian menurut gua mengenai komik indonesia…juga nggak jelek jelek amat.semuanya
    saya kira bisa melebihi yang terbaik kalau berusaha atau mungkin keras kepala juga diperlukan untuk membuatnya.ayo sajalah!,setelah lulus dari sma ini gue juga mungkin ikut berpartisipasi untuk buat komik.jangan mikir yang terpuruk terpuruk doang.ambil yang baik dong!pikir saja…disaat membuat komik sendiri…mungkin rasanya jauh lebih menyenangkan.
    gue ada usul gimana kalau masukin,kisah legenda legenda indonesia di kisah anda.tapi sepertinya indonesia benyakan cinta cintanya!.(kirim email ke gua ya!,gardenia,sliver@yahoo.com)bantuin ya!

    Reply
  10. hei,semuanya!,gue berencana mau bikin komik…tapi bingung
    darimana gue mau mulai.please deh bantuin gue ya…,gue udah
    mati matian coba semaksimal mungkin tapi idenya terus saja berubah ubah.meskipun gitu ceritanya dijamin asik deh!,cuman itu
    masalahnya.darimana gue mulai dan apa yang harus gue lakuin
    agar karya gue bisa jadi yang terbaik!kemudian menurut gua mengenai komik indonesia…juga nggak jelek jelek amat.semuanya
    saya kira bisa melebihi yang terbaik kalau berusaha atau mungkin keras kepala juga diperlukan untuk membuatnya.ayo sajalah!,setelah lulus dari sma ini gue juga mungkin ikut berpartisipasi untuk buat komik.jangan mikir yang terpuruk terpuruk doang.ambil yang baik dong!pikir saja…disaat membuat komik sendiri…mungkin rasanya jauh lebih menyenangkan.
    gue ada usul gimana kalau masukin,kisah legenda legenda indonesia di kisah anda.tapi sepertinya indonesia benyakan cinta cintanya!.(kirim email ke gua ya!,gardenia.
    sliver@yahoo.com)bantuin ya!

    Reply
  11. Yaaah, kalau idenya berubah2 terus kapan jdnya? Kalau boleh nyaranin nih ya, konsep cerita dan karakter2nya dimatengin dulu. Terus, kalau kamu telaten, bikin jg sketsa atau storyboardnya. Dari situ nanti bisa diedit adegan2 mana yg nggak perlu, bikin bingung, panel2nya nggak mengalir, atau dialognya mubazir. Begitu semua serba fix, baru dibuat the real art-nya, yaitu komik itu sendiri.

    Buat aku pribadi, komik tuh barang susah, soalnya pake bahasa visual. Setiap karya yg berbahasa visual dialognya nggak boleh banyak2. Sebagai gantinya, harus banyak2 menggambar. Itu yg susah, menurutku. Tp kalau bakatmu emang ke sana, ya klop aja. Saranku sih, nggak perlu nunggu lulus SMA utk nyicil menyelesaikan komikmu. Kan kamu sendiri yg bilang, membuat komik tuh menyenangkan.

    Well, semoga sukses ya, Mas Arinal! Nanti kalau udah jd boleh dong aku baca2. Atau mungkin mau dipajang di Wufi sekalian? 😛

    Reply
  12. Kepada Yth. Direktur Komik New Media 4 U
    di Jakarta

    Saya Akbar pelajar SMP kelas 2 di Surabaya hobi banget bikin komik. Kalau Bapak/Ibu setuju bekerja sama dengan saya untuk bikin komik tolong hubungi saya.

    Hormat saya
    Akbar Ghaus Arisyagaf
    Rumah Jl. Wonosari Besar No. 11 Surabaya 60155
    Telpun 031 3767410, HP 031 72738642

    Reply
  13. Alow smua!
    Q lg bljr bkin komik n hslx gk bgt ngcewain, mlh Q sdh cb2 bkn komik sndiri n garis besar storylinex jg lmyn jelas tp sebagian bsr mengarah k fiksi
    Q brpkir tuk mulai serius menggarap komik, CUMAN bgt ngedenger (dr BANYAK forum) klw penerbit besar kita OGAH2AN nerbitin karya komikus lokal (terutama yg ad fiksix) Q jd patah arang..
    Ad gk alternatif lain bg kita2 yg pengen cb terjun n serius d perkomikan selain para penerbit diatas?
    Utk ap d Jkt smp dibuka Manga School klw komik2 kita gk bs dpt akses atwpun KESEMPATAN bwt mencoba??
    Kita anak bangsa cm ingin berkarya, klw komik kami nantinya laris kan ANDA2 jg yg untung?!
    Kita cm butuh menjalani sesuatu yg bernama PROSES…

    Reply
  14. Trims udah mampir, Yuri. Jangankan komikus lokal yg junior, yg senior pun sulit bertahan dg komik (kecuali kalau komik memang bukan buat cari duit, alias hobi2an aja). Alternatif? Mungkin kamu bisa baca tulisan ini atau ini.

    Reply
  15. saya m.azizi
    pelajar kels 2 smp juga suka buat komik
    tp ahir ahir ini penerbit besar nga’ mao nerbitin komik lokal
    dgn alasan komik lokal harus mengarah ke pendidikan(huh payah)
    semoga ada penerbit komik besar yg lain yg mao nrima komik lokal
    terutama bergenre fiksi(amiiiiin)

    Reply
  16. Akbar & Azizi, kalau yg dimaksud menerbitkan lewat penerbit besar, kami nggak bisa bantu. Memang penerbit spt itu hrs selektif, kita nggak bisa menyalahkan mrk jg di jaman yg apa2 serba mahal ini (terutama kertas dan BBM).

    Tp kalau kalian bersedia menerbitkan komik scr indie (dan siap dg segala konsekwensinya), silakan hubungi emailku. Mungkin kita bisa bekerja sama.

    Reply
  17. Mas, apa punya informasi, berapa sih royalti yang harus dibayarkan untuk setiap exemplar komik asing yang diterjemahkan?

    Reply

Leave a Reply to azizi Cancel reply

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Don't do that, please!