Meminimalkan Dialog Sumpah Serapah, Maukah Kita?

Baru-baru ini, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merilis 13 program televisi yang dianggap mengandung makian, kekerasan, seks, atau pelecehan. Tayangan itu adalah Jelita (RCTI), Namaku Mentari (RCTI), Silet (RCTI), Rubiah (TPI), Dangdut Mania Dadakan 2 (TPI), Si Entong (TPI), Mask Rider Blade (Antv), Mister Bego (Antv), Extravaganza (TransTV), Insert (TransTV), I Gosip Siang (Trans7), Super Seleb Show (Indosiar) dan Cinta Bunga (SCTV).

Cinta Bunga ditegur karena pada 1 April 2008, salah satu tokohnya berkata, “Gembel gak tahu diri, kampungan!” Sementara Si Entong masuk daftar tersebut lantaran salah seorang tokoh prianya di 4 April 2008 terpergok mengatakan, “Sini lu, dasar jande kegatelan.” Sungguh, dialog-dialog itu tidak seseram temuan saya selama menonton siaran televisi nasional maupun lokal.

Mari kita kerucutkan masalah ini pada dialog sumpah serapah. Tak perlu menjadi moviegoers untuk tahu bahwa dalam film remaja-dewasa Amerika, Eropa, Korea, Mandarin termasuk India menunjukkan tren serupa: Hampir selalu ada tokoh yang mengumpat.

Film merupakan media perekam kebiasaan masyarakat. Jadi bila makian sudah mendarah daging di suatu akar budaya masyarakat, ya jangan heran kalau dialog dalam film-filmnya begitu pula. Inilah tradisi yang terus-menerus kita lestarikan.

Saya jadi ingat sewaktu baru kuliah dulu. Suatu tempo, di sebuah inisiasi perguruan tinggi Surabaya (bukan perguruan tinggi yang sekarang ijazahnya saya sandang), seorang mahasiswa mendoseni adik-adik kelasnya yang baru. Mahasiswa tersebut bilang bahwa misuh (memaki alias mengumpat) adalah sesuatu yang wajar, selama itu bukan jenis-jenis yang leksikal.

Makian baru dianggap kurang ajar, menurut mahasiswa teknik yang sudah tujuh tahun namun masih ribut menggarap skripsi itu, ketika dia mengandung makna. Seperti “ikan” (hewan), “tinja” (sesuatu yang dikeluarkan hewan), “tangan” (organ vital), dlsb. Sementara “ja**uk”, makian khas Surabaya yang entah apa artinya, halal untuk dilisankan.

Lain waktu, wejangannya begini, “Sah-sah saja misuhi orang, asalkan orang itu memang pantas kita pisuhi.” Siapa yang tidak ngakak mendengar teori pembenar yang konyol itu?!

Lantaran doktrin tersebut, terjadilah obrolan di kalangan mahasiswa baru. “Makian orang Surabaya itu kurang mantap,” ujar seorang teman, mahasiswa dari Aceh. Kami segera mengonfirmasi, bagaimana sih sumpah serapah orang Aceh? Memangnya lebih mantap? Dia pun misuh. Namun toh tidak terlalu mantap juga kedengarannya.

Yah, barangkali penilaian mantap-tidaknya makian timbul karena perbedaan latar belakang. Ini seperti masalah acungan jari tengah yang di beberapa negara—khususnya negeri Om Sam—diartikan sebagai hinaan alias pisuhan. Sementara di masyarakat kita kurang bermakna, sekalipun orang yang diacungi tahu bahwa simbol tangan tersebut bentuknya mirip organ pria.

Entah bagaimana awalnya sampai kata-kata kasar menjadi sangat kondang sekarang. Saat ini film Hollywood mana yang bersih dari dialog petak umpat, coba? Orang Amerika tampaknya mudah banget menyeploskan “fu*k”, segampang orang Prancis nyeletuk “me*de”.

Uniknya, kita kadang menganggap makian impor macam itu lebih keren dan sopan. Anda dibilang norak dan sarkas jika bolak-balik mengucapkan “tahi kebo” dalam forum formal. Tapi mungkin Anda justru terlihat berkelas bila menyisipkan frase “bull shit” di antara kalimat-kalimat Anda. Padahal, apa bedanya “bull shit” dan “tahi kebo”?

Rasanya, tak ada seorang pun yang tidak pernah memaki, sekalipun dia wanita dari kalangan terhormat. Penyebabnya macam-macam, mulai dari hal sepele seperti terpeleset, latah, marah, sampai alasan dangkal seperti “biar merakyat”.

Manusia selalu ingin menumpahkan kekesalan. Satu-satunya sisi positif misuh memang untuk menyalurkan emosi kita lewat mulut. Pelampiasan emosi melalui makian verbal secara psikologis terbukti ampuh mengurangi kadar stres seseorang.

Namun pendapat ini tidak mungkin diamini para agamawan. Dari sudut pandang ini, sebisa mungkin kita jauhi kebiasaan memaki. “Alangkah konyolnya bila tatkala sakratul maut, bukan kalimat puja-puji terhadap Tuhan yang terucap, kita malah misuh-misuh saking sakitnya. Bukan apa-apa, bukan karena menantang Tuhan juga, melainkan lantaran lisan kita telah terbiasa bersumpah serapah saja,” seorang ustadz suatu hari memberi pandangan.

Tapi bagaimana bila makian itu kita impor ke karya kita yang fiktif? Yang terpisah dengan kehidupan riil kita? Fiksi adalah miniatur kehidupan yang di dalamnya tidak hanya disesaki karakter yang baik hati dan penyayang. Sang pengarang yang tidak gemar memaki dalam kehidupan riilnya, boleh jadi karya-karya realisnya penuh dengan tokoh yang gampang sekali bersumpah serapah. Bagaimana menurut Anda?

Ini memang dilema. Bisa juga sebuah paradoks. Misalnya, Anda tahu kan, dalam Ayat-ayat Cinta yang tujuannya dakwah saja terdapat pula tokoh yang kerap memaki, “Sundal!” Namun memang tak banyak tokoh yang semacam itu di sana.

Barangkali itu yang menyebabkan KPI menegur beberapa tayangan stasiun televisi: Tidak sekali-dua kali tayangan yang dipermasalahkan terpergok menyajikan dialog-dialog umpatan. Sehingga kalau ini diteruskan, khawatirnya dialog sumpah serapah dan pelecehan secara verbal kelak dianggap sebagai common sense oleh masyarakat kita.

Televisi adalah saluran gratis yang dapat ditonton siapa saja, termasuk anak-anak (dan orang dewasa berjiwa anak-anak) yang suka meniru adegan/dialog di televisi. Jadi kontrol itu tetaplah perlu. Bahkan di negara-negara liberal sekalipun terdapat lembaga semacam KPI dengan wewenang dan tugas yang kurang-lebih serupa. Teguran KPI ini sekaligus merupakan tantangan bagi penulis skenario untuk lebih kreatif membangun karakter.

Perhatikan, tokoh Achilles ditakuti oleh tokoh Paris dan Hector, dan pada gilirannya ditakuti penonton film Troy bukan lantaran suka berkata-kata kasar. Tokoh Hannibal Lecter mampu tampil demikian mengerikan bukan gara-gara sering mengumpat tokoh-tokoh lainnya, bahkan dalam kenyataannya tokoh psikopat ini senantiasa bertutur santun.

Banyak jalan untuk menciptakan tokoh antagonis yang ditakuti atau yang menjengkelkan. Ada cara yang sedikit lebih susah, lebih mikir, namun hasilnya lebih elegan. Yaitu dengan mengembangkan karakter si tokoh antagonis itu dari tingkah lakunya, pemikirannya, apa kata tokoh-tokoh lain tentang dia, dst.

Atau kita dapat memakai jalan pintas dengan membuatnya bolak-balik menyeru “keparat loe!”, “anjing!”, “dasar gigolo sarap!”, atau versi lokal seperti yang berkali-kali juga saya dengar dari tayangan salah satu stasiun televisi lokal Surabaya: “Kon iku pancene dianc*k kok!”

Nah, pilihan ada di tangan Anda.

BAGIKAN HALAMAN INI DI

17 thoughts on “Meminimalkan Dialog Sumpah Serapah, Maukah Kita?”

  1. Penggunaan sumpah serapah, jika memang sesuai konteks, pada suatu karya, akan sulit untuk diboleh/tidak bolehkan. Biasanya di tayangan televisi luar, istilah seperti itu disensor dengan bunyi “tiiiiit”, kenapa disini tidak diberlakukan hal yang sama? Setahu saya stasiun radio tertentu juga memberlakukan hal yang sama pada lagu dengan lirik yang banyak hujatannya.

    Reply
  2. Trims, Erick. Setahuku, Indosiar (yg memang drama2nya banyak yg begitu) sudah menerapkan tiiiit itu. Tp kalau live mana bisa? Wong kadang yg taping aja video-editornya males nyensor kok. Menurutku lbh baik nggak usah sering2 bikin dialog2 begitu.

    Reply
  3. Aneh.

    Super Seleb Show ditegur tapi Super SoulMate Show dan derivatifnya yang lain kok ga ditegur juga. Padahal kan isinya sama-sama aja:

    1. Orang nyanyi, maminya/belahan jiwanya mendukung, entah joget atau ikutan nyanyi atau berbagi kisah sedih
    2. Pembawa acara #1 tukar menukar hinaan dengan pembaca acara #2
    3. Ada games buat jadi filler
    4. Tiba-tiba (lebih tepatnya, akhirnya, setelah dilama-lamain dan didramatisir) muncul nilai, ngomong-ngomong nilai ini munculnya jam 12 malem.

    Reply
  4. Thx, Zhanzhe. Hahaha, ya, setuju-setuju. Seharusnya derivatif2 itu ikut ditegur. Atau justru krn derivatif, mk cukup diambil satu perwakilan aja utk ditegur.

    Acara2 semacam ini mmg berkesan mengulur2 waktu, aku nggak lihat inovasi di situ, krn budaya begini sdh lumayan banyak ada di sekitarku. Tp bagusnya, menurutku, acara ini penuh spontanitas dan lucu, meski kadang2 keterlaluan jg. Buat aku sih nggak keterlaluan. Tp kan acara ini ditonton mulai jam 6, KPI pasti mempertimbangkan bahwa anak2 ikut menontonnya.

    Reply
  5. Sebaiknya KPI jangan hanya fokus pada makian yang ada dalam acara tersebut. Tegur juga dong, sinetron-sinetron yang ceritanya sudah “tidak jelas”. Misalnya, cuma berpanjang-panjang menampilkan tokoh protagonis yang dianiaya oleh tokoh antagonis yang pintar tapi kurang kerjaan dan sepertinya, selalu ada di mana-mana buat menguping, mengintip dan pada gilirannya, menghancurkan kebahagiaan tokoh protagonis yang kadang bodohnya bukan main…

    Reply
  6. Thanks, Wanda & Creativesimo. Iya, Wanda. Kayaknya itu bagian yg memprihatinkan jg. Tp kalau semua ditegur, pasti KPI kerepotan sendiri. Soalnya buanyak banget yg gitu itu. Yah, menurutku sudah bener sih kalau KPI pasang prioritas dulu. Semuanya bertahap.

    Buat Creativesimo, yap, rating acara2 itu tinggi. Suatu saat Ivan Gunawan pernah mengklaim acaranya itu nomor satu. Tp berapa tepatnya rating2 acara itu aku g tahu. Soalnya aku bukan pelanggan tabloid (ibu2) yg biasa memajang rating TV minggu ini. 😛

    Reply
  7. saya rasa pembuat skrip sinetron harus sekali2 baca death note atau nonton code geass, yang dapat membuat batas antara protagonis dan antagonis sudah tak jelas. 🙂

    intinya, sineas indonesia masih belum berkembang, koreksi bila saya salah. Berapa banyak sih karakter abu2 dalam film, novel, dan produk2 seni lainnya di sekitar kita? Mungkin saya subjektif, tapi menurut saya, pola karakter abu2 itulah yang lebih menjual dan membuat cerita lebih pintar, ketimbang satu karakter yang ekstrim baik dan satu lagi ekstrim jahat.

    Ini sebabnya saya hanya suka sedikiitt sekali shitnetron buatan Indonesia. Seorang teman saya pernah mengatakan dia prihatin sekali melihat perkembangan film Indonesia. Kenapa? Soalnya film menunjukkan tingkat intelegensia pembuatnya. Dan tentu anda semua tahu apa maksudnya jika dihubungkan dengan konteks postingan ini.

    Reply
  8. Thanks, Vin. Tp yg aku takutkan (curigai), bahwa sebetulnya penulis skenario itu wawasannya udah oke, pendidikan sinematografinya sip, skillnya bagus. Lah begitu ketemu dunia industri, idealisme mrk luntur. Mrk jd pragmatis, apalagi setelah produsernya menuntut ini-itu berdasarkan (penghambaan pada) rating. Yah, masuk akal jg. Apa gunanya idealisme itu kalau masyarakat konsumen TV ternyata nggak bisa (sulit) menerimanya.

    Misalnya nih, slapstik berbau cabul menurutku adalah karya yg nggak cerdas samasekali. Mana ada yg mau nonton karya rendahan gitu. Tp, begitu aku survei kecil2an, eh, ternyata masyarakat kita banyak yg nonton dan menikmati jg. Busyet!

    Jd, menurutku bukan penulisnya yg diprioritaskan untuk “naik kelas”, melainkan penontonnyalah yg kudu mau “naik kelas”. Nah, mengajak penonton yg massal itu utk “naik kelas”, susahnya amit2. Pakai cara apa, coba?

    Geregetan ya, Vin? Hehehe, sama.

    Reply
  9. Utk Brahm, kecurigaan anda terbukti kok. Saya waktu itu bantu temen untuk syuting film pendek, kebetulan kita dapet Director of Photography-nya yang sudah senior, Mas Bambang. Saya lupa nama belakangnya, tapi dia jadi kontributor tetap majalah Behind The Screen. Dia senang sekali mengerjakan proyek film pendek, karena kreatifitasnya ditantang. Tapi saat dia mengajukan proposal untuk menggunakan tata cahaya berbeda pada karakter2 di sebuah sinetron (utk antagonis, cahaya selalu bernuansa ungu, sementara protagonis bernuansa hijau, ini contohnya), eh malah ditolak dengan alasan kurang ekonomis atau semacamnya. Jika penghasilannya lebih besar di layar lebar, saya pikir dia pasti akan pindah. Tapi masalahnya, penghasilan dari sinetron itu lebih rutin dan pasti.

    Tentang Rating
    Rating juga sebenarnya hanya menentukan jumlah TV yang on pada saat acara tersebut ditayangkan, jadi masalah apakah penonton melihat atau memang sedang cuci piring, tidak dibahas. Ada juga beberapa artikel mengenai sistem rating yang dipalsukan. Coba saja googling rating atau AC Nielsen (nama sistem ratingnya.)
    Malah sudah muncul istilah Sh*tnetron dalam berbagai blog…

    Reply
  10. Thx again, Erick. Tul banget tuh! Banyak jg pengalaman2 spt Mas Bambang itu. Kasarannya, sinetron itu udah nemu formulanya. Sulit diubah. Kecuali kalau produser2nya tiba2 kesurupan apa gitu, terus pd nolak utk tunduk di hadapan tren yg kadung monoton ini.

    Utk rating, yah, gimana lg. Blm ditemukan metode survei baru yg lbh sempurna dari sistem saat ini sih. Bahkan di negara2 maju sistemnya kalau nggak salah ya nggak beda jauh ama metode survei penonton yg kita terapkan di Indonesia. Parameter lain utk menilai keberhasilan suatu tayangan paling2 festival film. Ini jg subyektif (tergantung siapa juri2nya). Survei model popularity show (via SMS) pun bukan tanpa cela sejak satu orang bisa memilih lebih dari satu kali.

    Aku benci mengatakan ini, tapi yah, keadaan sekarang ini emang sudah yg paling baik. 🙁

    Reply
  11. ngomong2 mas brahm, saya pernah membaca artikel seorang teman, pemilik blogger kalau ngga salah sop laler ijo. Dia pernah menulis bahwa filem2 silat di Indonesia punya formula lebih absurd lagi, kalau ga salah 3:5, artinya di dalam lima adegan harus ada tiga adegan berkelahi, seabsurd apapun adegannya, pokoknya harus adegan berkelahi. Ntar saya akan coba telusuri lagi, soalnya saya baca tuh artikel udah lama banget.

    Pembuat skripnya aja geleng2 kepala, soalnya dia membuat skrip bagus dan bermutu, tapi karena tuntutan produsen, dia harus membuat skrip yang lebih jelek dan lebih ga masuk akal.

    Reply
  12. Wuah, apalagi nih? Tp masuk akal jg. Kan adegan film2 itu sedikit2 tarung, kyk dunia emang nggak ada damai2nya. Tp menarik jg fakta “behind the scene” itu.

    Reply
  13. sorry yah…. tpi aku gak setuju BANGED soal acara ”SUPER” di indosiar.menurut ku bagus2 aja….. selain mereka masih memikirkan penonton di rmh dan studio…. mreka pduli thdp stiap masalh yang trjd di indo ….. selain ejek2kan yang gak pernah menusuk hatI….. banyak artis yang menonton acara tsbt sampai pemda dki fauzi bowo selalu setia mnntn acara tsb yg di anggap tak bermasalh…… LAGI SJK KPN ACRA ITU MANGNDG UNSR SEX OR SOMETHING HEAP?????

    Reply
  14. hum…
    klo masalah acara super diindosiar itu.. mgkn memang dgn cara yg seperti itu mreka bs mraup keuntungan.. aq c ga ad masalah.. sneng jg nontonnya.. yaa.. walopun kadang2 agak risih ngliat nona i**n yg stiap hrnya mmakai riasan wanita.. but.. so far so gud aj tuu..

    tp klo mslh sinetron2 itu laa yg bkin aq muak..
    memakai kata makian dsetiap episodenya.. kan bnyk anak2 kcil skrg yg ngikutin.. jgnkan makian.. lagu samson,nidji or mulan aj mreka cpt bgt apalnya…
    apalagi sinetron2 yg ditayangin di indosiar.. duu.. fantasi bgt yaa.. ada uler2-y.. ud gtu diulang2 pula…
    daa abis ide yaa..???

    yaaaa.. mang uda pd abis ide kyk-y mreka smua..
    ga usah munafik.. sinetron2 skrg tuu JIPLAKAN smua…!!! kalo ga dr dorama jepang.. ato ga banjun drama dr korea..

    jd…
    makian plus jiplakan…?????
    cm indonesia yg punya…

    ((x

    Reply
  15. Thanks, Chela. Semua yg kamu bilang itu bener. Tp keadaan belumlah sepesimis itu. Ada kok orang2 yg karyanya tdk ngikut mainstream negatif begitu. Swear, ada.

    Reply
  16. Thanks atas nasihatnya,

    harusnya masalah kantor ya tetap dikantor saja lah.
    jangan keluarga, pacar ato kekasih dibawa – bawa.
    Nanti orang finance keluar dibilang salah menghitung duit lagi.

    Bukan begitu?

    Reply

Leave a Comment

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Don't do that, please!