Melihat Plagiat melalui Kacamata Posmodernisme

Plagiator sama dengan tukang fotokopi

Mengejar Matahari itu bagus. Namun saya tak bisa menikmatinya. Masalahnya satu: Saya lebih dulu menonton Chingu (judul Inggrisnya Friend), film jempolan asal Korea. Mengejar Matahari dan Chingu serupa tapi tak sama. Antara lain, (1) Bertutur tentang persahabatan dan kehidupan berantakan gangster. (2) Narasi bergulir dari sudut pandang orang pertama, semacam biografi. (3) Protagonisnya empat pemuda: Ada yang cengengesan, pandai berkelahi, disegani, pintar tapi pendiam. (4) Cara mengenalkan keempat tokoh dengan teknik freeze frame. (5) Keempat tokoh ini balapan lari di keramaian (ini adegan penting dalam dramatisasi film). Chingu diproduksi tahun 2001 dan Mengejar Matahari diproduksi tahun 2004. Jadi, Rudi Soedjarwo plagiat?

Menentukan plagiat-tidaknya sebuah film rada sulit. Apa parameternya? Haruskah sama di sepanjang scene baru dikatakan plagiat? Atau satu shot serupa saja dapat memicu tudingan plagiat? “Sama” di sini pun sama yang bagaimana? Cuma “terinspirasi” sudah termasuk plagiatkah?

Parameter plagiat di lagu barangkali lebih terang benderang. Delapan bar berturut-turut sama, vonis plagiat. Maka tidak heran, ilustrasi musik Ekskul pun tersandung tuduhan menjiplak Gladiator, Munich, Taegukgi, dan entah film apa lagi.

Namun parameter plagiat untuk produk film, setahu saya, masih kabur. Tidak jelas, sampai sejauh mana rentetan kemiripan cerita dapat dikatakan plagiat. Apalagi kalau masalah ini diteropong dari sudut pandang posmodernisme (posmo).

Salah satu ciri posmo (meski posmo sendiri enggan untuk dikotak-kotakkan begini) adalah eklektisisme. Eklektisisme maksudnya memungut dan menggabung berbagai nilai yang dianggap “baik” dan “benar”, dari manapun datangnya (Hakim, dalam Suyoto, 1994: 305).

Konsep mengambil ide yang signifikan dari orang lain sejalan dengan pernyataan posmo, “Originalitas itu omong kosong!” Di dunia posmo, kata Mike Featherstone (dalam Dahana, 2004: 70), keaslian menghilang dalam seni, karena semua karya seni dapat diproduksi kembali dengan mudah. George Ritzer (2003: 410) bahkan menyatakan bahwa apa yang dibangun oleh posmo seringkali tidak lebih dari ide-ide pastische (seni, artistik atau sastra yang dibuat untuk menyindir karya sebelumnya).

Posmo sempat menjadi topik yang sangat populer di kalangan intelektual, agama dan seni dekade 1990-an di Indonesia. Padahal, gerakan ini sulit diterangkan secara memuaskan apa maksudnya. Awalan “pos”-nya pun rentan menimbulkan kesalahpahaman saat kita mencoba menelaahnya melalui pendekatan terminologi. Karena arti “pos” bukanlah “setelah”. Setidaknya, masalahnya tidak sesederhana itu.

Jean-François Lyotard, salah satu dedengkot posmo, menegaskan bahwa posmodernitas tak boleh dimengerti sebagai periode baru sesudah era modernitas. Posmodernitas adalah suatu cara yang sebenarnya sudah terkandung dalam modernitas itu sendiri. Bingung?

Memang ini sedikit membingungkan. Yang agak jelas, posmo sejak awal bertujuan menggembosi proyek modernisme Barat yang dinilai telah mengalami krisis. Para penganut posmo mengkritik metanarasi (“ide pokok” alias “kisah besar” alias pemikiran yang berambisi menerangkan secara tuntas kehidupan manusia) yang identik dengan pencerahan ala modernitas (Bertens, 1996: 348).

Tak perlu ada vonis apakah posmo—sebagai aliran pemikiran maupun budaya tandingan modernisme—seharusnya kita tolak atau terima. Sebab dia jelas memiliki kelebihan sekaligus kekurangannya sendiri.

Posmo unggul lantaran sifatnya yang egaliter dan demokratis. Dia menekankan perlunya mengakui eksistensi nilai-nilai (pemikiran) lain di antara nilai-nilai yang telah ada dan diakui.

Sementara itu, kelemahan posmo ada pada kontradiksi yang inheren dalam dirinya: Karakter eklektisismenya justru bertentangan dengan seruan posmo yang lain, “Biarlah semua nilai berjalan sendiri-sendiri, jangan dibenturkan satu sama lain.” Dari sisi lain, sikap demokratis posmo yang berlebihan bisa menjadi teriakan, “Apa saja boleh. Pokoknya terserah Anda” (Hakim, dalam Suyoto, 1994: 305—306).

Menurut Radhar Panca Dahana (2004: 148), mayoritas kaum intelektual yang melakukan aktivitas artistik dan religius cenderung membela atau mendukung posmo. Seni selalu berawal dari kreativitas manusia. Padahal kreativitas tak pernah tunduk pada ilmu pengetahuan yang rasional. Kreativitas tak pernah mau menerima dominasi apapun dan dari siapapun (Budiman, dalam Suyoto, 1994: 23).

Semua boleh!

Jadi, apa pentingnya membahas parameter plagiat ketika tidak ada sesuatu yang “dilarang”? Ketika originalitas dianggap nonsens? Ketika setiap kreasi dipandang sebagai peniruan dari kreasi-kreasi sebelumnya (yang juga meniru)?

Lyotard selalu menekankan prinsip lokalisasi pemikiran, alih-alih globalisasi (metanarasi), dalam memahami sesuatu. Jadi saya mencoba meniru Lyotard (kenapa tidak?) dengan menyerahkan semua ini pada kebijakan Anda masing-masing.

Saya punya daftar film yang memiliki kemiripan dengan film manca. Sebagian sudah saya tonton sendiri, sehingga bisa langsung saya perbandingkan. Namun sebagian besar lainnya saya dapatkan dari berbagai sumber di forum-forum online.

Perhatikan tabel di bawah ini. Ada yang bilang film di kolom kiri menjiplak film di kolom kanan. Ada yang bilang terinspirasi, sekadar mirip, atau adaptasi. Bahkan bisa jadi film di kolom kanan justru yang mencontek film di kolom kiri.

Aku Bukan Untukmu Save the Last Dance for Me
Bangku Kosong Bunshinsaba
Bawa Aku ke Surga Fly Me to Polaris
Benci Bilang Cinta Princess Hours
Benci Jadi Cinta My Girl
Bintang Putri Huan Zhu
Bukan Diriku Anything for You
Buku Harian Nayla 1 Litre of Tears
Cewekku Jutek My Sassy Girl
Cincin Beautiful Days
Cinta 100 Hari My Crazy Love
Cinta Kelas Atas The OC
Cinta Sejati Scent of Time
Cinta Remaja Sassy Girl Chun-hyang
Ciuman Pertama Itazura Na Kiss
Cowok Impian Itazura Na Kiss
de Neny The Nanny
Demi Cinta Endless Love
I Love You, Boss! Bright Girl Succes Story
Impian Cinderella Frog Prince
Intan Be Strong Geum Soon
Istri untuk Suamiku Chori Chori Chupke Chupke
Janji Jaya My Name is Kim Sam Soon
Katakan Kau Mencintaiku Sad Love Song
Kau Masih Kekasihku At th Dolphin Bay
Ksatria Banjaran Mulan
Liontin Glass Shoes
Mengejar Matahari Chingu a.k.a. Friend
Opera SMU Great Teacher Naomi
Pangeran Penggoda Devil Beside You
Pelangi di Matamu Hoshi No Kinka
Pelangi di Matamu 2 Kamisama Mou Sukoshi Dake
Pengantin Remaja My Little Bride
Penyihir Cinta Magician of Love
Putri Kembar Twins a.k.a. Senorita
Rahasiaku Kal Hoo Na Hoo
Siapa Takut Jatuh Cinta Meteor Garden
Terpikat Kuch Kuch Hota Hai
Ungu Violet MV Kiss
Wulan Yellow Handkerchief

Nah, bagaimana menurut Anda? Karena pada akhirnya, semua kembali kepada penonton. Masing-masing punya penjelasan dan pemikiran sendiri, kata Lyotard. Jadi, Andalah jurinya. Anda pulalah yang akan menyerahkan pialanya.

BAGIKAN HALAMAN INI DI

11 thoughts on “Melihat Plagiat melalui Kacamata Posmodernisme”

  1. Di kolom kanan kebanyakan sy dah tau/nonton, yg kiri mmm.. cm 2 yg sy tonton hehe… Ada sih yg episode2 awal sy tonton. Tp setelah tau ato ngeh itu jiplakan, ya ga jd nonton, kan dah tau endingnya ato ya males aja, mending nonton yg manca. Terlepas dr siapa yg njiplak, sy kok lebih suka nonton yg manca (yg kebanyakan film Korea, Jepang ato Taiwan), pdhl mungkin aja film2 manca itu njiplak punya siapaa gitu hehe.. kayak yg om Bram bilang itu:) Btw yg di kolom kiri (kayaknya sebagian besar sinetron ya?), byk yg sy ga ngeh ada judul2 itu di layar TV qt xixixi… Misalnya (misalnya loh..) yg di kiri njiplak yg di kanan, menurut sy yg kiri kebanyakan (ato semua??) ga sebanding dg yg kanan. Mbo’ ya klo bikin njiplakan yg bener, yg sebanding lah minimal dg film aslinya. Tp yaa teteup judulnya jiplakan hehe… Peace ah!

    Reply
  2. Ehm, jadi tergelitik untuk ikut nimbrung. Salah satu parameter plagiat saya rasa tahun pembuatannya. Film yang diproduksi sebelumnya, hampir tidak mungkin meniru film yang baru keluar saat ini. Kenapa? Karena kalau ia meniru, artinya si peniru ini bisa meramal atau katakan, menjelajah ke masa depan. Impossible.

    Itu satu. Kedua, memang parameternya belum jelas. Tetapi biasanya orang-orang kompak mengatakan ini meniru itu, itu meniru ini (walaupun parameter yang mereka pakai itu apa juga tidak jelas). Tetapi setidaknya, dengan begitu membuktikan bahwa alam bawah sadar kita sama-sama punya parameter itu. Hanya belum terkonsep dalam kata-kata, belum terdefinisikan saja.

    Semoga berguna. :>

    Reply
  3. Whaaaat???! Om?? Aku udah kayak om-om?

    Iya, film2 di tabel itu ada yg sinetron, nggak hrs layar lebar. Sinetron kan termasuk film, Ree. Sebagian besar yg di kolom kanan udah kamu tonton? Huebatt! Tp saranku, tonton jg lah yg kolom kiri, nggak peduli sdh ada yg ngomong itu jiplakan. Biar bisa membandingkan dan membuktikan, bener nggak itu jiplak, jgn2 cuma tuduhan tak berdasar. Tp kalau kejengkelan dan kejijikanmu soal ini udah di ubun2, ya kupikir wajar jg keputusanmu utk nggak nonton sekalian karya2 itu. Trims komennya ya.

    Reply
  4. Berguna banget, Mas Steven. Thanks.

    Th pembuatan emang bisa jd salah satu parameter berdasarkan anggapan umum bahwa wkt tdk bisa berjalan mundur/memutar balik. Meski tema “kembali ke masa lalu” banyak difilmkan, tp toh itu (saat ini msh) fantasi. Jd saya setuju dg parameter “siapa yg duluan” ini. Tp soal ide cerita (bukan treatment film), bisa saja yg duluan rilis mencontek yg hari ini rilis. Maksudku, ide kan sesuatu yg abstrak, bisa jd ide itu ditangkap orang ketika si pemilik ide yg asli mempresentasikan skenarionya. Atau ngobrol2 di warung kopi, “Eh, aku punya cerita gini, bagus nggak?”, dan ternyata yg diajak ngobrol menindaklanjuti ide itu tnp sepengetahuan si empu ide aslinya. Kalau ide itu sdh jd film, yg dpt Hak Cipta (atau lbh tepatnya: Hak Moral) tentu yg duluan merealisasikannya mjd sewujud ciptaan (film). Pdhl scr de facto, penggagas cerita itu bukan dia kan. Dlm hal ini, parameter “waktu pembuatan” jd terasa kurang adil dijadikan ukuran. Shg tetap perlu parameter lain yg spt Anda bilang: Belum terkonsep, belum terdefinisikan.

    Tp ngomong2 soal waktu, ada 2 film menarik dari Korea yg bertutur dramatis melalui permainan waktu, judulnya Donggam (a.k.a. Ditto) dan Il Mare. Dua2nya menceritakan bgm 2 tokoh dari th yg berbeda saling berhubungan lewat media (satunya surat, satunya interkom). Kalau ada yg menginspirasi dan terinspirasi, mana yg menginspirasi, mana yg terinspirasi? Kasarannya, siapa yg nyontek, siapa yg dicontek? Krn kedua film tsb rilisnya hampir bersamaan, diputar premiere di festival yg sama pula! Di belahan dunia lain, Amerika, pun pernah ada film seide, judulnya Freqwency. Baik Il Mare, Donggam maupun Freqwency sama2 bagus. Jd kalau memang ada yg nyontek, mrk nyontek dg elegan. Mungkin mrk denger saran dari Ree, “klo bikin njiplakan yg bener, yg sebanding lah minimal dg film aslinya.” ^_^

    Reply
  5. Kadang pengen nonton bwt perbandingan tp bawaannya kok males bgt. Coz biasanya yg di kiri lebih puanjang dan luama ketimbang yg kanan, cape deeh… Apalagi yg STJC tuh, pas ketauan njiplak MG, eh ceritanya “dibelokin” bgt smp Tanah Abang pdhl kan mestinya ke Glodok xixixi… (Gharink!!)

    Oo.. Sori.. bukan Om ya? Punten atuh, Kang? :p

    Reply
  6. sayang lagi, rata-rata film ‘genre’ plagiat Indonesia tidak mau dikatakan adaptasi..padahal apa sulitnya atau apa malunya disebutkan bahwa film ini adaptasi dari film sonoh…lagian juga ‘rakyat banyak’ blon pada ngeh nonton film sonoh.
    the tag is moral plagiatornya
    padahal tidak tabu-lah ‘menurut saya’ mengadaptasi film luar, seperti film Children of Heaven yang diadaptasi oleh -film taiwan ? (sorry lupa)- jelas-jelas di pembuka filmnya ditulis adaptasi dari film Children of Heaven.

    Reply
  7. Terima kasih, Mas Bintang. Genre ‘Plagiat’? Wah, baru nih, hehehe …. Iya, Ring Jepang aja diadaptasi Amerika, dan mereka nggak nyangkal. Tp, kalau kebanyakan adaptasi nggak bagus juga, meski mrk ngaku. Itu menurutku lho ya.

    Buat Tante Ree :P, kalau merasa nonton sinetron terlalu nyita waktu, pilih aja VCD dari film layar lebar di kolom kiri. Percaya deh, ada “keasyikan” tersendiri menonton karya2 spt ini.

    Reply
  8. Blm, Ton. Jd nggak bisa komentar nih :). Tp kalau ide aja sih sangat bisa berpeluang untuk jd sama. Yg luarbiasa itu kan kalau karakter tokoh & treatment-nya jg sama. Ya nggak?

    Reply

Leave a Reply to steven Cancel reply

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Don't do that, please!