Integrasi Pengarang terhadap Publik

By: Mochammad Asrori

Dear Seno Gumira Ajidarma. Saya dapat email ini dari teman saya. Semoga Anda tidak keberatan. Saya hanya ingin Anda tahu, bahwa saya hanya bisa menikmati senja dari cerita-cerita Anda. Mungkin Anda heran, tapi begitulah kenyataannya. Saya rabun senja sejak 10 tahun. Lewat email ini saya hanya ingin mengucapkan terima kasih karena telah menghadirkan senja sedemikian indah dalam cerita-cerita Anda. Natasha Azalea.”

Surat di atas merupakan kutipan dari sampul belakang kumpulan cerita pendek Sepotong Senja untuk Pacarku. Sekedar refleksi pengantar bagi tulisan saya tentang pengarang dan pembaca ini.

Siapapun tahu, pengarang adalah warga masyarakat. Jadi ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Pengarang memiliki aktivitas, membuat pernyataan dan keputusan-keputusan dalam hidup. Tapi hal tersebut janganlah dicampuradukkan dengan implikasi sosial karya mereka.

Dalam sosiologi karya sastra, kita biasa berpijak pada aspek pencipta dan penciptaannya. Aspek tersebut menjadikan pengarang dan proses yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra menjadi sangat penting. Namun bukan itu yang kita bicarakan. Di sini kita akan berbicara tentang pengarang dalam hubungannya dengan pembaca. Pengarang perlu adanya pembaca bagi karya mereka, untuk itu ia memerlukan media.

Seperti diketahui, hubungan antara pengarang dan pembaca bersifat tidak langsung. Banyak perantara yang menjadi penghubung, di antaranya lembaga-lembaga sosial dan badan-badan seperti akademi, universitas, atau media komunikasi massa (koran, majalah, buku, radio, TV, film). Di sinilah biasanya benturan-benturan timbul.

Kecenderungan umum yang berkembang di era modern bahwa media memiliki kekuatan yang besar untuk mengendalikan pengarang. Media memiliki kekuatan untuk memilih suatu karya yang akan dipublikasikan, memunyai kekuatan untuk memberi standar dan batasan-batasan terhadap suatu karya sesuai keinginannya—tentu dengan pertimbangan kepentingan publik—selaras dengan misi-visi yang diembannya.

Secara tidak langsung ini mengatakan pada kita bahwa media juga memunyai kekuatan politik serta ideologi. Atau media dalam banyak hal harus memiliki kepekaan politik yang berkembang agar ia dapat hidup. Faktor tersebut secara tidak langsung berimbas pada proses kreatif pengarang.

Bagaimana pengarang menyikapinya? Apakah pengarang harus tergantung sepenuhnya pada selera publik yang diagendakan media dan menurutinya secara pasif. Ataukah pengarang yang harus menciptakan publiknya?

Dalam studi dasar ekonomi produksi sastra kita dapat membedakan pengarang menjadi dua kelompok besar berdasarkan kadar integrasi mereka terhadap publik (pembaca). Pertama, pengarang yang cenderung memiliki kadar integrasi yang tinggi. Dari kelompok ini biasanya lahir karya-karya pop. Mereka sangat mementingkan selera publik. Mereka setia dengan keinginan-keinginan publiknya. Hasil karya mereka selalu mempertimbangkan sasaran pembaca sebagai sumber rejeki.

Kelompok kedua lebih menekankan kebebasan berkreasi. Kadar integrasi kelompok ini sangat rendah. Publik penting, namun ada yang lebih penting. Sejak lama Horatius mengatakan bahwa karya yang baik haruslah memunyai kegunaan dan kemampuan untuk menyenangkan, quit miscuit utile dulci, bagi pembaca.

Dilema di atas sepenuhnya menjadi persoalan pengarang dan konsepnya dalam berkarya. Ketika ia berintegrasi dengan ramah dengan pembaca sehingga karyanya tampak pop, ia pasti punya pertimbangan tertentu, bukan berarti dia tunduk dan pasif terhadap selera publik.

Pengarang yang menciptakan publik dapat hadir dalam kedua cara integrasi di atas, karena tak jarang karya-karya pop sangat mudah diinterpretasi oleh masyarakat dan membentuk publik sendiri. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya hal-hal yang berkembang di masyarakat yang diadopsi dari cerita rekaan.

Dalam pengantar di awal tulisan digambarkan bagaimana reaksi seorang pembaca terhadap suatu karya yang telah membuat perubahan dalam dirinya. Ia yang sejak 10 tahun menderita rabun senja merasa berterima kasih terhadap sebuah cerita yang mendeskripsikan senja demikian indah terbentuk dalam visual imajinasinya.

Masih banyak contoh lain. Yang jelas pengarang mempunyai strategi sendiri dalam berkarya dan berhubungan dengan publik.

Kadar integrasi pengarang terhadap publik bukanlah tanda bahwa pengarang tunduk sepenuhnya terhadap selera publik. Ada suatu pandangan bahwa batasan-batasan dalam media akan melahirkan karya-karya pesanan. Karya yang hanya mementingkan bagaimana suatu karya dapat dicetak. Mungkin hal itu dapat timbul sebagai bentuk implikasi.

Namun saya rasa tiap pengarang punya idealisme dalam berkarya. Tiap pengarang pasti memiliki sebilah kapak yang tepat untuk menebang pohon sebagai jembatan ke arah pembaca.

BAGIKAN HALAMAN INI DI

5 thoughts on “Integrasi Pengarang terhadap Publik”

  1. Bagus, bagus, tulisanya. Tapi kok ga disebutin sekalian contoh – contoh strategi kongkret pengarang dalam berkarya dan berhubungan dengan publicnya? Biar jelas semua gitu

    Reply
  2. Terima kasih, Pay. kalau minta seuatu yang konkret, yah bisa dibilang harus bayak berbagi dulu antar penulis, baru bisa jelas, tapi kalau cuma sebatas raba-meraba, okelah ntar saya coba contoh-contoh yang konkret versi rori, ok

    Reply

Leave a Reply to PAY Cancel reply

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Don't do that, please!