Hak Tampil Orang-orang di Balik Layar Terus Disunat

Saya baru sadar, di tahun-tahun belakangan ini orang-orang di belakang layar (men behind the scene) rasanya semakin tidak dikasih kesempatan tampil di TV. Memang, orang belakang panggung seharusnya tak pernah keluar, barangkali begitu pikir Anda. Namun bukan itu maksud saya.

Biasanya, jatah penghargaan orang-orang di belakang panggung adalah di akhir acara. Di sana, nama mereka satu per satu akan ditampilkan, diikuti peran spesifik mereka terhadap acara tersebut. Contoh sederhananya, IWAN: BOOMER. Nah, seperti itu. Meskipun ditaruh di penutup acara, lumayan lah, masih sempat nongol.

Tapi tahun demi tahun berlalu, kebijakan stasiun TV pun bergeser. Terutama tayangan-tayangan asingnya. Lihatlah serial Heroes waktu ditayangkan TransTV, adakah end credit-nya? Atau untuk program Bioskop TransTV, bisakah Anda tahu tim sineasnya? Tidak mungkin, sobat. Karena bagian itu sudah disunat TransTV! Walaupun tren penyunatan ini tidak bisa digeneralisasi pada semua acara, apalagi pada semua stasiun TV, kecenderungan sekarang adalah ke arah ekonomis, alias penghematan waktu.

Sudah nama orang-orang di balik layar itu muncul sekejab, eh, kadang masih dikebiri juga. End credit tersebut dipercepat pemunculannya. Jadi misalnya Jono adalah koordinator lighting di sebuah sinetron. Nama Jono memang keluar pada tulisan akhir acara. Tapi kilat! Sehingga penonton, kalau tidak benar-benar serius memperhatikan, takkan pernah melihat nama Jono ada di sana.

Yah, wajar sih. Sementara media cetak dibatasi oleh ruang, kita tahu, media elektronik sangat dibatasi oleh waktu. Di samping itu, memang pada kenyataannya jarang sekali orang mau menonton program TV sampai layar benar-benar tertutup hitam dan ada logo stasiun TV beserta tahun copyright-nya. Paling-paling, begitu muncul gelagat filmnya mau berakhir (entah tamat atau bersambung), kita langsung ganti saluran atau mematikan TV.

Di bioskop pun demikian. Begitu ceritanya habis, semua penonton semburat ke pintu keluar. Mana mau mereka membaca satu per satu tulisan putih di layar hitam yang bergerak monoton dari bawah ke atas?

Kecuali, tentu saja, bila si penonton punya kerabat yang bekerja buat film itu dan memiliki kesabaran ekstra untuk menanti nama sang kerabat tercinta muncul di sela-sela jubelan tulisan penghargaan di sana. Bisa juga jika si penonton sedang melakukan penelitian atau hendak menulis resensi, sehingga perlu data detail dari film itu, dia akan melototi layar sampai tinggal dia dan tukang bersih-bersih yang masih dalam teater itu.

Selebihnya? Mayoritas penonton akan bersikap standar: Kisah kelar, ya bubar!

Maka, dari kebiasaan masyarakat konsumen inilah stasiun TV mulai berani mengkhitan hak untuk tampil orang-orang behind the scene. Ada saja caranya: Dengan mempercepat (fast forward) gerak tulisan nama-nama itu, memotongnya di tengah-tengah (jump cut), atau bahkan meniadakannya samasekali. Ini efisiensi, siapa yang menyangkal. Waktu yang dihemat kan bisa untuk slot iklan. Secara keutuhan alur, penyunatan ini juga bukan masalah.

Tapi bagaimana dengan penghargaan?

Timbullah pertanyaan: Apakah yang layak dikenang dari sebuah pertunjukan atau film hanyalah artisnya yang cakep-cakep? Apakah orang-orang di belakang panggung tidak perlu ditampilkan (dalam hal ini disebut namanya)? Apakah seorang penata suara kurang berperan ketimbang seorang presenter? Apakah tim penulis skenario kalah jasanya dibanding aktor-aktris? Begitu tidak pentingkah andil para floor managers, sie transportasi, konsumsi, bahkan pencatat adegan, sehingga sesedikit dan sesebentar mungkin nama mereka dimunculkan?

Kalau ada yang nekad menjawab “iya”, silakan saja dia mencoba membuat produk komunikasi massa tanpa orang-orang yang saya sebut tadi.

Saya mungkin salah, namun dari yang saya amati, semakin kondang suatu program, semakin sempit waktu yang dialokasikan untuk end credit. Padahal orang belakang panggung berpikir sebaliknya: Kian top acara tempat dia bekerja, kian besar keinginan untuk memejengkan namanya.

Dan kalau dipikir-pikir, kapan lagi ada peluang nama-nama mereka diketahui publik selain di akhir acara? Yah, di awal-awal acara memang ada yang namanya beginning credit. Namun itu buat segelintir “jabatan-jabatan” belakang layar yang tergolong tinggi, semisal produser, editor, sutradara, dsb. Buat “jabatan” yang lebih bawah? Apa boleh buat. Sabar, Mas. Tunggu sampai acara kelar.

Alangkah bijaksananya jika pihak stasiun TV dengan ikhlas mengorbankan waktu-TV-nya (yang memang mahal itu) untuk menampilkan nama-nama mereka yang berjasa pada kesuksesan acara. Tanpa tergesa-gesa. Maksud saya, dengan pantas.

Ukuran pantas adalah sesuai dengan kecepatan rata-rata penonton membaca teks di layar TV. Nama Jono, umpamanya, bisa dibaca dalam dua detik, maka nama tersebut dimunculkan selama tidak kurang dari dua detik, tapi dengan tulisan diam. Kalau tulisannya berjalan, perlu waktu lebih lama, supaya tag “Jono” bisa terbaca dengan nyaman oleh penonton. Atau, pakai saja sistem pukul rata: Setiap nama dimunculkan selama tiga detik tulisan diam. Dan ini jangan dipotong-potong lagi.

Tidak peduli yang membaca credit title (atau dulu diterjemahkan sebagai “kerabat kerja”) tersebut ada atau tidak, ini adalah salah satu bentuk penghargaan terhadap orang-orang di belakang panggung. Bukankah memang seharusnya mereka dihargai?

BAGIKAN HALAMAN INI DI

11 thoughts on “Hak Tampil Orang-orang di Balik Layar Terus Disunat”

  1. Yah mau bagaimana lagi? Ini dilema juga, Pak. Karena pada daasarnya waktu kalo untuk media tv sepertinya bener-bener ketat, ya. Jadi wajar juga kalo sampe kejadian seperti yg sampeyan tuliskan.

    Salam,
    Sudarmanto

    Reply
  2. Terima kasih, Pak Sudarmanto dan Pak Dwi Yanto. Ini memang dilema bg orang2 televisi. Kasarannya (tp semoga tidak terlalu kasar ya) kan mrk bukan orang2 yg bisa dijual. Ujung2nya ya pasti kepentingan mrk yg dikorbankan. Diterapkan di televisi nonprofit (TV publik atau komunitas)? Ya, kemungkinan besar bisa, Pak Dwi. Tp dulu TV nasional (komersial) pun sebetulnya cukup menghargai orang2 di balik layar lho. Belakangan aja mereka jd pelit gitu.

    Reply
  3. kalo menurut gw sih perlu juga dibuat komunikasi massa shg orang2 behind scene bisa lbh dikenal publik, kalo bs ya nongol di acr tsb walaupun cm sebentar, ya setidaknya ada sdkt penghargaan buat meraka lah. Sukses tidaknya acara kan juga bergantung orang2 dibalik layar ini.

    Reply
  4. Terima kasih, Mbak Zara dan Mas Andi. Hm, boleh jg idenya, Mbak. Eh, tp kalo maksudnya seperti footage Behind the Scene gitu, mungkin kendalanya kembali lg pd waktu. Mrk mau nggak menyediakan waktu buat menayangkan itu?

    Hahaha, kalau jeda antar sesi pemutaran emang pendek (karena durasi filmnya 3 jam atau lebih, misalnya), biasanya mrk cenderung buru2 mengosongkan gedung gitu. Tp kalau jedanya masih lama, tolong sampaikan ke teman Mas Andi, jangan mau lah diusir2 gitu. Wong udah bayar kok, hehehe. Aku kadang nunggu sampai akhir itu kalau terkesan ama soundtrack-nya, terus kepingin tahu apa judulnya, siapa penyanyi/komposernya. Tempat keterangan soundtrack kan emang di bagian paling belakang credit title, jadi ya dibelain duduk manis menunggu di sana. Ada yg berani usir?

    Reply
  5. yup.. kebiasaan kita sama bram. nunggu sampe logo PH kluar di akir kredit tilte. ngliatin satu2 kru hingga pemeran2 figuran yg aneh2 menimbulkan sensasi tersendiri…

    misal, kita jadi tau kalo yg jd POCONG : Burhanudin, atau RANGGA KECIL : Suharno , atau PEMABUK DI PINGGIR JALAN : Alamsyah.
    dan yg br semalem kejadian, baru ngeh kl yg meng-cover ‘pandangan pertama’-nya A Rafiq di film ‘get meried’ ternyata SLANK feat. Nirina. (setelah sempat ga mengenali suaranya kaka dan merasa asing dg suara perempuannya…)

    tapi ya gitu, kenikmatan itu kadang harus mengalami gangguan. pacar minta cepet2 kluar lah, penonton yg di pojok pgn cpt nyampe lorong pinggir lah, yg siluetnya ganggu pandangan ke layar. bahkan pihak bioskopnya sengaja nyetel musik kenceng2 padahal musik penutup film belom kelar.

    sbnrnya yg aneh sapa ya? masarakat yg gak terlalu peduli n apresiated ato kita yg terlalu iseng n kurang kerjaan…

    Reply
  6. Wah, udah nonton Get Married ya. Bareng pacar pula! Iya, Ton, nggak tahu ya, siapa yg aneh? Bg kebanyakan orang sih, jelas kita yg aneh. Tp gimana lg, nonton film serealistis apapun aku selalu sadar itu produk garapan banyak orang. Bahkan pas nonton film pasti ada momen dimana aku bisa melihat kru2nya sibuk bekerja (hanya orang sakti yg punya pandangan seperti ini, hehehe). Selalu ada fakta menarik yg tidak tampil di seksi utama film. Jd, ya gitu deh.

    Sepurone podo2, Ton. Thx ya.

    Reply
  7. Yah itu kembali lg pada masyarakat qta dimana kebanyakan jarang yang peduli ama yang dibalik layar ato dll, padahal bener apa yang dikatakan emang mempunyai keasikan sendiri untuk megetahui orang2 yang berada dibalik layar….saya juga seneng nunggu untuk mengetahui orang2 yang sangat mendukung hajatan tersebut (emang acara kawinan) yah itung2 juga nunggu sepi biar keluar dari bioskop gak berdesakan.

    thanks salam kenal
    collectables auction

    Reply

Leave a Reply to Brahm Cancel reply

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Don't do that, please!