Pernahkah Anda merasa sudah mentok mengedit buku sendiri? Diapa-apakan tidak jalan. Ini bukan writer’s block, karena Anda sudah masuk tahap penyuntingan. Ini editor’s block! Apa yang Anda lakukan? Kalau boleh menyarankan, serahkan saja “monyet” itu ke penerbit.
Hah, monyet? Ya!
Apa Monyet Anda?
Tolong, jangan mengartikan monyet sebagai sesuatu yang jelek atau negatif. Ini sekadar istilah dalam manajemen. Pertama diperkenalkan melalui artikel klasik Harvard Business Review (HBR), Who’s Got the Monkey, oleh William Oncken Jr. dan Donald L. Wass.
Monyet adalah metafora dari tugas, masalah, atau proyek tertentu. Orang yang diberi tugas, ibarat sedang diserahi monyet. Ia harus memberinya makan, membesarkannya, mengajaknya jalan-jalan, menggendongnya, dan sebagainya. Tentu saja, monyet ini makin lama makin menjadi beban.
Jadi, begitu Anda diberi monyet oleh bawahan atau bos Anda, ada beberapa pilihan:
- Menolak monyet itu: Anda bisa mengatakan bahwa tanggungan Anda saat ini sudah terlalu banyak.
- Mengoper monyet itu: Anda langsung memberikannya ke kolega atau anak buah Anda.
- Membiarkan monyet itu mati: Menerimanya, tetapi tidak melakukan apa-apa hingga tenggat waktunya habis.
- Mengembalikan monyet itu: Menerimanya, dan setelah selesai, menyerahkannya kembali. Ini pilihan yang paling lazim.
Anda pilih yang mana?
Nasib Si Monyet di Tangan Anda
Mentok mengedit naskah? Kritikan-masukan pembaca pertama sepertinya belum bisa membuka mata kreatif Anda? Benar-benar tidak ada ide untuk memperbaiki alur, kosakata, atau kejutan dalam cerita?
Ingat, itu tandanya sedang bertengger monyet di pundak Anda. Makin lama akan makin melelahkan.
Anda sudah melakukan yang terbaik untuk merawat monyet itu. Sekarang waktunya melemparnya ke penerbit. Toh setiap penerbit memiliki tenaga yang memang dibayar untuk membaca, menilai di mana yang kurang, mengedit, termasuk me-layout, maupun mendesain kover.
Serahkan saja semua kepada mereka. Serahkan monyetnya!
Penerbit pun nanti bisa memilih. Jika mereka terpesona dengan potensi monyet itu, mereka akan merawatnya. Atau mengembalikannya pada Anda untuk Anda dirawat berdasarkan standar mereka. Nanti mereka akan meminta kembali monyet itu.
Namun jangan salah, penerbit selalu bisa menembak mati monyet Anda dengan mengatakan, “Maaf, naskah Anda belum sesuai dengan standar penerbitan kami.”
Bagaimanapun, saat semua sudah mentok dan bertambah berat, Anda akan merasa lega setelah monyet itu tidak lagi menggelandoti bahu Anda. Lalu sambil menunggu keputusan, Anda bisa berkarya yang lain, atau beristirahat sampai ide segar kembali berembus di otak kreatif Anda.
gak keren ah webnya…g support iphone…pake theme wordpress yg support iphone dong…g asik…
Hohoho, kedatangan bapak menejer aiti! Tp pengguna iPhone itu ada berapa to? Nanti terlanjur investasi milyaran, ternyata udah nggak tren lagi kan eman 🙂
Trims, Ris!
Monyet yang satu baru masuk sekolah. Monyet yang lain dikeluarin dari sekolah. Monyet yang lain lagi masih belum mau lepas dari gendongan. Monyet-monyet lain pada lompat-lompat di kasur. Kayaknya aku bakal jadi peternak monyet deh, Brahm.
Tapi satu hal yang perlu diingat: nggak ada monyet yang mati.
Wah, selain kelinci kamu ternak monyet ya? Lucu2 dong, sampai lompat2an gitu. Minta satu dong, Rie! Biar kusekolahin sampai S3. Tp nanti jangan diminta balik ya. Buat aku selamanya, hehehe.
tapi kalau mau melempar monyet! ke orang lain setidaknya sedikit banyak didandani dulu monyet!nya
biar sedikit enak dilihat sama yang bakal merawat
biar tidak dibilang monyet!
@Brahm
Minta? Beli!!!
@Pradna
Berarti musti beli bedak, lipstik, eye shadow, blush on sama maskara dong! Tapi monyetnya jangan dilempar gitu ah. Kasian. Dikasihnya musti baik-baik. Kalo dilempar, ntar yang ngelempar dibilang monyet juga.
Pradna: *cuma bisa geleng2 denger Pradna bolak-balik menyebut kawannya*
Rie: Nggak mau ah, nanti monyet buat anak2. Aku kan paling bingung kalau berhadapan monyet jenis itu.
Kalo monyetnya kayak soulmate-mu itu, gimana? Aku kasih deh buatmu, daripada aku tambah stres. Tuh orang gangguin terus sih. Labrak dia dong!
Hohoho, itu kan soulmate-mu, kok jahat gitu sih. Aku nggak bisa labrak soalnya dia di Bandung. Jauh. Jd, cobalah berdamai dgnya.
Aku kan pada dasarnya peacemaker, bukan troublemaker. Dianya aja yang suka bikin gara-gara. Monyet itu suka garing. Masa pas aku ngasih cerita ttg tempat sampah dia minta gambar kelinci. Kan nggak nyambung. Lagian kenapa kamu bilang dia soulmate-ku? Orang ngaco kayak gitu dijadiin soulmate.
Hahahaha …. Sakit perut aku, Rie, liat tingkah kalian berdua. Hahahahaa …..
Jadi teringat monyet-monyet cantik yang seharusnya sudah harus diserahkan kepada penerbit, tapi sekarang entah di mana. Waktu pindahan rumah dua bulan lalu, monyet-monyet itu tertinggal dan tak ada waktu untuk mencarinya. Padahal (hiks hiks hiks..) udah ada yang mencapai 100 halaman. Aaarggghhhhh…
.-= Skylashtar´s last blog ..SEKERANJANG SIANG =-.
Mmm, sayang banget, Sky. Itu namanya menelantarkan, atau bahkan membunuh, monyet. Monyet2 itu emang kadang menjengkelkan dan bikin frustrasi, tp jangan dibunuh dong. 🙂
Cool article. I do like the metaphor of a monkey 🙂
Thanks, Je.