Geng Nero dan Dampak Sinetron

Seminggu ini kita digegerkan oleh berita tertangkapnya anggota-anggota Geng Nero di Jawa Tengah. Nero yang merupakan akronim dari “neko-neko, dikeroyok” (macam-macam, kita keroyok) ini dianggotai oleh cewek-cewek ABG. Mereka bisa menyeret, menghajar dan menampar korban (cewek juga yang biasanya lebih muda) hanya lantaran membenci tingkah laku si korban. Proses itu mereka dokumentasikan dengan kamera ponsel. Geng Nero lalu menyebar-nyebarkannya dengan bangga.

Saya tertarik dengan komentar artis Nurul Arifin terhadap fenomena ini. “Tayangan di sinetron saat ini diwarnai banyak kekerasan verbal. Bisa saja, tayangan televisi itu jadi inspirasi dan dicontoh oleh mereka (geng Nero),” kata aktivis perempuan ini sebagaimana dikutip Jawa Pos, kemarin.

Waktu kuliah dulu, saya pernah baca buku Sasa Djuarsa Sendjaja (1999: 180) yang mengatakan ada tiga dampak dari pesan media massa, yaitu kognitif (mengubah apa yang diketahui, dipahami atau dipersepsi khalayak), afektif (mengubah apa yang dirasakan, disenangi atau dibenci khalayak), dan konatif (menimbulkan pola-pola tindakan, kegiatan atau perilaku nyata yang dapat diamati).

Dampak penyebaran pesan itu lazimnya mencapai tahap kognitif dan afektif saja. Sementara efek terkuat, yaitu konatif, hanya terjadi bila didukung beberapa prinsip. Dua di antaranya ialah kredibilitas dan konsonansi.

Dampak media massa akan kuat apabila memiliki kredibilitas yang cukup tinggi di mata khalayaknya. … Penyebaran informasi melalui media massa akan menghasilkan dampak yang lebih kuat apabila mengikuti prinsip ‘konsonansi’. Dalam arti bahwa isi informasi tentang sesuatu hal yang disampaikan oleh berbagai media massa relatif sama atau serupa, baik dalam hal materi isi, arah dan orientasinya maupun dalam hal waktu, frekwensi dan cara penyajiannya. (Ibid.: 181)

Konsonansi terjadi apabila banyak produsen sinetron beramai-ramai kompak mempertontonkan tokoh yang tak bosan-bosannya berencana mengerjai atau mencelakakan tokoh lainnya (yang biasanya protagonis), dan menggunakan kekerasan sebagai solusi.

Jika kekompakan media itu terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama, maka pesan tersebut akan begitu kuat dampaknya. Apalagi jika kredibilitas produsen-produsen film tersebut tinggi dalam benak masyarakat, seperti stasiun-stasiun TV nasional papan atas di Indonesia.

Jadi, bayangkanlah situasi ini: Cindy yang masih SMP menonton Cinta Bunga di SCTV, isinya tokoh-tokoh antagonis yang berniat mencelakai Bunga. Beberapa saat setelah sinetron itu habis, Cindy menonton FTV laga-musikal di Indosiar dimana ada tokoh yang dengan kejamnya memperbudak tokoh wanita yang digambarkan lemah. Kemudian keesokan paginya Cindy menonton Si Entong yang berisi slapstik-slasptik.

Cindy tidak menonton tayangan-tayangan semacam itu sekali-dua kali, tapi sudah bertahun-tahun. Maka tanyakan ke hati nurani Anda, akankah Cindy menjadi anggota geng Nero-geng Nero generasi baru kelak?

Jadi, apakah tingkah polah geng Nero ini betul-betul merupakan dampak dari sinetron? Saya tidak tahu jawabannya. Sebaiknya tanyakan langsung saja ke personil-personil geng itu, apa mereka punya TV di rumah? Kalau punya, apa tontonan favorit mereka memang sinetron?

Dan kalau Anda masih ada waktu (dan nyali), tanyakan juga pertanyaan-pertanyaan itu pada pelaku-pelaku kekerasan di FPI. Apakah mereka terpengaruh sinetron?

Karena kadang-kadang memang, “Kisah nyata lebih fiktif dari cerita fiksi,” kata duo kartunis Benny & Mice.

BAGIKAN HALAMAN INI DI

16 thoughts on “Geng Nero dan Dampak Sinetron”

  1. Sepertinya memang mereka, Geng Nero, korban sinetron yang penuh adegan kekerasan antara tokoh antagonis kurang kerjaan tapi pintar terhadap tokoh protagonis yang baik hati tetapi bodohnya minta ampun. Kalau FPI sih, bukan korban sinetron saja, melainkan juga korban film-film action Hollywood (mereka pasti ngga mau ngaku senang nonton Gubernur California eh Arnold Schwazenegger) yang mengamini kekerasan sebagai sarana untuk menegakkan kebenaran. Hehehe.

    Reply
  2. Thx, Pasha. Hahaha, bisa aja! Kekerasan emang lg jd primadona ya di negeri ini, dlm berbagai wujudnya. Ada yg bilang itu terinspirasi karya fiksi. Ada yg bilang justru fiksi itu terinspirasi apa yg tjd di kehidupan riil. Jd?

    Reply
  3. STPDN, IPDN, Geng Nero, FPI, trus yang paling baru STIP, aaaarggggh!!! Gak ada lagi kelembutan dinegeri ini…

    Reply
  4. Saya mau nambahin, belum lama ini juga di jepang ada kasus orang yang masuk ke ruangan dan menebas-nebaskan samurainya ke orang sekitar, menewaskan beberapa. Mungkin untuk orang yang pendiriannya kuat, dia engga akan terpengaruh, tapi yang plin plan dan memang cenderung punya kemarahan terpendam, bisa jadi ia terinspirasi untuk mengikuti apa yang dilihatnya.

    Reply
  5. Thx, Lin Lin & Erick. Tp kalau kuperhatikan di media, reaksi aparat thd pelaku menurutku cepat jg. Termasuk buat geng motor.

    Wah, wah, orang gila ternyata dimana2 ya. Dulu jg ada “teroris” yg terinspirasi film gangster Korea, dia sempat bantai orang2 dg pistolnya. Yah, memang tergantung orangnya sih: Mudah terpengaruh dg tontonan atau kuat kyk kita (ciiee, sombong dikit nih).

    Reply
  6. makanya saya nggak suka nonton TV, terutama sinetron yang ndak jelas dan debat2 yang lebih menjurus ke pertengkaran *tapi seru juga kalo yang debat konyol itu saling ngelempar kursi ya?*

    Reply
  7. Mas Brahmanto yang baik,
    Sebagai bangsa yang sedang mengalami krisis (ya moral, ya bbm hingga identitas), kita harus melakukan segalanya dengan lebih baik lagi. Jadi, jika ada yang memukul orang yang lebih lemah dengan tangan, maka kita harus melakukan yang lebih baik dengan cara… memukul orang lemah dengan pentungan. Itu kan, yang dicontohkan oleh FPI sebagai orang-orang yang mengaku ‘lebih baik’ daripada orang lain? Jadi, setuju, FPI dan Geng Nero tidak mau kalah dengan apa yang terjadi dalam sinetron dan film. Harus lebih baik dalam arti lebih sadis daripada yang ada di TV.
    Nanti, film dan sinetron akan meniru kejadian nyata yang tadinya terinspirasi dari sinetron. Kemudian, FPI, Geng Nero dan sejenisnya melihat dan meniru lagi tayangan tersebut dengan lebih baik (sadis). Dan seterusnya dan seterusnya dan seterusnya hingga berkembang seperti bola salju yang menggelinding. Ding ding ding.
    Semua mengamini kekerasan atas nama kebenaran. Lupa bahwa BBM masih akan terus naik, angka kelulusan UN menurun, pengangguran meningkat dan Buruh Migran Indonesia a.k.a TKI/TKW banyak yang dianiaya dan menderita. Aneh, masih banyak masalah yang lebih besar dan rumit, tapi orang-orang malah mengurus hal-hal lain. Lihat saja nanti, peristiwa STIP dan sejenisnya yang pasti bakal difilmkan, bukan kesusahan orang kecil dan lemah. Ya iyalah… siapa yang mau menonton orang kurus bin ceking yang susah cari makan? Kalaupun ada sinetron tentang orang susah, biasanya sih ngga sinkron antara karakternya dengan kostum yang dipakai pemainnya. Biasanya kostum yang dipakai pemain yang memerani karakter orang miskin lebih bagus daripada orang yang ngga miskin di luar sinetron lho… Yukkk…

    Reply
  8. pak Brahmanto
    krisis yang kita (bangsa indonesia) alami saat ini sangat mempengaruhi mentalitas dari masyarakat kita (indonesia)

    dengan keadaan yang semakin tertekan baik dalam hal ekonomi.politik.bahkan sosial dapat membuat mental bangsa indonesia semakin tempramental

    walaupun saya masih duduk di bangku sma
    saya sangat menyadari penurunan mentalitas masyarakat kita(indonesia) telah merambah bahkan sampai ke tingkat pelajar

    kini bangsa indonesia sudah seperti tumpukan daun kering yang sudah di siram minyak tanah..

    sedikit saja ada penyulut seperti fitnah.profokasi.dan semacamnya
    dapat dipastikan hal tersebut diselesaikan dengan cara kekerasan

    sekian dari saya

    kalo ada yang gak nyambung mohon bimbingannya

    Reply
  9. Wow, Alif, kamu masih SMA tp daya analisismu sdh kayak S2! Sayangnya, bagaimanapun … yah, yg kita bicarakan ini emang udah melenceng dari tema blog ini. Jd nggak bisa diperpanjang, sori, setidaknya nggak di sini ^_^. Thx, anyway. Mampir lg ya.

    Reply
  10. ngomong2, walau katanya ada “krisis kebangsaan”, “krisis moralitas”, dll, menurut saya lebih penting untuk tidak ikut2an dengan perasaan kolektif itu. Menurut saya akan jauh lebih baik agar setiap individu (kita-kita) menjadi lebih baik untuk dirinya sendiri, bukan untuk bangsa atau negara.

    Maaf kalau komentarnya kurang nyambung. Soalnya saya jenuh melihat kata “krisis moral bangsa”, seakan kita semua yang mau berubah juga sama saja buruknya dengan orang lain. Saya rasa tidak demikian, mengingat banyak juga individu2 yang tidak memperdulikan identitasnya, tapi tetap berkarya untuk diri sendiri.

    Reply
  11. Setuju, Vin. Jgn terlalu meratapi yg lalu, urusi sj yg bisa kita urusi dg bnr. Krn hanya dg cara itu kita bangkit. Kebangkitan Jepang & Korsel dari keterpurukan beberapa dekade lalu bisa jd contoh. Tp tetep aja bahasan ini kurang nyambung dg tema, hehehe. Bagaimanapun, trims ya.

    Reply
  12. pada belagu see makan masih minta orangtua aja pke so2an. kencing aja masih belepetan,gw saranin yeh mendingan loe jadi jablai dapet duit.dari pada makan korban. iye engga????????

    Reply
  13. ya Alllah mau diapakan generasi muda zaman sekarang wanita sudah mampu berkelakuan kasar seperti laki2 masya Alllah sediihhh nya apakah ini salahsatu tanda kiamat mu Tuuhan??

    Reply

Leave a Reply to ericbdg Cancel reply

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Don't do that, please!