Fiksi sebagai Alat Revolusi

By: Brahmanto Anindito

Di siang yang cerah, kami mendapat pertanyaan menarik dari seorang pembaca Wufi (terima kasih, Nurul). Kalau tak salah tangkap, pertanyaannya begitu filosofis dan mendasar. Kata Nurul, “Saya hanya dan sempat terpikir, apa sumbangsih karya fiksi terhadap perubahan masyarakat (tentu saja ke arah yang lebih baik, ato revolusi)?” Alamaaaak, habis liburan disodori pertanyaan begini ….

Saya memang percaya pada power of change. Tapi bukan revolusi. Apalagi kalau yang direvolusi adalah masyarakat atau negara. Negara mana sih yang bisa dijadikan contoh sukses sebuah revolusi? Apakah negara itu kemudian benar-benar menjadi lebih baik? Kalau memang berubah ke arah yang lebih baik, signifikankah perubahan tersebut? Perlu dihitung juga, apa sebanding dengan ongkos heboh-hebohnya? Dan kalau menjadi lebih baik tapi melalui proses lambat, tidak seketika, lantas apa bedanya dengan evolusi?

Semua orang bebas beropini, namun saya lebih percaya pada evolusi. Semuanya bertahap. Dan senantiasa dimulai dari diri masing-masing individunya dulu. Kalau saya suka berleha-leha di jam kantor, luntang-luntung tak produktif padahal tiap bulan digaji, apakah sistemnya yang patut diubah? Mungkin. Tapi perubahan sistem akan sia-sia tanpa perubahan di level mental individunya. Walau sistem diperbagus dan diketati, misalnya hukuman untuk sebuah pelanggaran jadi lebih berat, kalau individunya masih bermental seperti itu, tentu hanya akan muncul rekayasa-rakayasa dalam mengakali sistem.

Perubahan baru akan tampak signifikan, bila semakin banyak individu yang mau jadi “mortir” untuk mengubah dirinya dulu justru di saat orang sekitarnya tidak menampakkan tanda-tanda bakal berubah. Ini memang proses yang lambat sekali dan perlu kesabaran tingkat tinggi. Namun hasil perubahannya bisa abadi. Itulah evolusi. Rome wasn’t built in one day.

Berapa belas tahun yang dibutuhkan Jepang untuk bangkit dari puing-puing nuklir Nagasaki dan Hiroshima? Dan lihatlah Jepang sekarang. Berapa puluh tahun Nabi Muhammad mengubah bangsa Arab yang dulunya barbar? Dan lihatlah Saudi sekarang. Dan kalau ada waktu, silakan melihat perjuangan nabi-nabi terdahulu. Apakah mereka melakukannya dengan revolusi? Seketika? Heboh-heboh?

Tengok pula Korea Selatan. Negeri ginseng ini awalnya hanya negara terbelakang yang terpinggirkan. Para penjajah bahkan tak ada yang doyan mendudukinya. Segenap fakta pun melengkapi wajah bopeng Korea: Pernah mengalami perang saudara yang menguras harta serta tenaga (tahun 1953—1962), tidak pernah menjadi kekuatan besar di bidang perekonomian, apalagi memiliki wilayah kekuasaan yang mengubah peta dunia. Namun sejak tahun 1980-an, ekonomi Korsel tumbuh hingga 12% per tahun. Di Korsel memang banyak demo, tapi rahasia metamorfosa dari negara terbelakang menjadi negara maju bukan itu. Menurut Ann Wan Seng (2007), penyandang Master di bidang Antropologi dan Sosiologi, semua itu terletak pada etos serta budaya kerja rakyatnya. Prosesnya pun tidak radikal.

Apa kaitannya ini dengan fiksi? Saya cuma mau bilang, sebagaimana negara-negara di atas, karya fiksi tidak bisa mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik secara revolusioner. Namun fiksi bisa menghibur dan menginspirasi kita. Fiksi juga dapat dipakai untuk mempromosikan sesuatu, mentransfer nilai-nilai yang dianut penulisnya, bahkan berdakwah (asalkan disampaikan secara elegan, bukan hitam-putih).

Lebih lanjut, baik bagi penulis maupun pembacanya, karya fiksi sudah terbukti: Mengakselerasi logika berpikir (melalui pembangunan plot-karakter-konflik-solusi), mengakselerasi ketrampilan berbahasa (melalui gaya penyampaian yang efektif dan efisien), melatih kita memiliki sudut pandang lain (melalui kehadiran bermacam tokoh), memungkinkan kita menyerap pengalaman orang lain tanpa harus menjalaninya sendiri, dsb. Bagi saya dan beberapa orang seperti saya, ini manfaat yang luarbiasa besar. Tapi bagi orang lain, barangkali manfaat ini terlalu mikro, terlalu remeh.

Bahkan fiksi bisa dianggap destruktif, berdasarkan—misalnya—pengamatan Anda terhadap perkembangan fiksi di TV kita yang dijejali tokoh dengan mata melotot kalau marah atau siswa-siswa sekolah yang selalu kasak-kusuk mengerjai temannya dengan sadis. Wajar juga bila fiksi dituduh kontraproduktif setelah, misalnya, di rak-rak toko buku Anda mendapati ratusan kisah basi seorang cewek yang mendambakan ciuman pangeran yang hanya bisa dikaguminya dari luar, atau cowok culun yang terlalu sering diolok teman-temannya.

Tapi apakah adil menilai fiksi secara keseluruhan hanya melalui karya-karya encer bertuhankan uang semacam itu?

Karya fiksi adalah hasil budaya dan olah pikir manusia. Jadi jika ada yang bertanya apa sumbangsih karya fiksi, wuaduh, saya tidak bisa menjawab. Sama tidak bisa jawabnya dengan ketika ada yang menanyai saya, apa sumbangsih kerajinan tangan? Apa sumbangsih batik? Apa sumbangsih seni kaligrafi? Apa sumbangsih blog? Apa sumbangsih email? Dst.

Yang jelas, fiksi adalah indikator kemajuan suatu bangsa. Kalau mau melihat negara A maju atau tidak, gampang banget, tak perlu menengok pendapatan bruto atau indeks macam-macam. Cara goblik-goblikannya perhatikan saja apakah negara itu berprestasi dalam dunia olahraga (misalnya berapa medali emas yang dia peroleh di Olimpiade) dan bagaimana perkembangan karya fiksi di sana. Entah fiksi diletakkan sebagai sebab atau akibat dari perubahan, yang jelas di negara-negara maju yang saya kenal, perkembangan fiksinya pasti maju pula.

Namun, menggunakan fiksi sebagai alat revolusi tidak pernah masuk di akal saya. ^_^

BAGIKAN HALAMAN INI DI

6 thoughts on “Fiksi sebagai Alat Revolusi”

  1. Hehe maaf jika pertanyaan saya cukup menyibukkan. Saya sekarang malah berpikir bahwa fiksi itu sebenarnya sarana primordial sejak jaman sejarah itu ada. Memang salah satu fungsi ampuhnya untuk menginspirasi. Atau mungkin sebenarnya fiksi itu sudah ada sejak jaman prasejarah ya, dituturkan lisan gituuu (eh tapi apa bener jaman prasejarah itu ada?) Nanti deh saya pikir lebih lanjut! tunggu ya, nanti saya kasih bocoran, hehe.

    Bagi saya perubahan memang bukan proses singkat. Perubahan itu harus community based, menerpa satu per satu individu di pemikirannya dan perasaannya. Rumit sekali! Revolusi memang identik dengan perubahan instan, radikalisme, masif. Menurut saya, masih banyak revolusi yang gagal . Evolusi atau revolusi biasanya baru diberi nama begitu setelah kelihatan hasilnya (bagi saya begitu).

    Ok, Cheers!!
    Nurul

    Reply
  2. Ah, no problemo. Justru aku berterima kasih krn pertanyaanmu udah menyelamatkan aku dari ketidaktahuan mau posting apa pasca Lebaran, hehehe. Silakan, Rul. Selama msh berhubungan dg fiksi, kami senantiasa terbuka utk pemikiran2 baru. Termasuk yg berbau2 politik. Sebab selain bisa encer, fiksi jg bisa serius dan politik banget. Tanyakan ke penyelenggara Nobel Sastra atau Festival Film Venice, mrk pasti manggut2 setuju.

    Reply
  3. Kalo yang udah atau sering baca novel2 Jules Verne yang dibuat di akhir abad 19, kalian pasti terkagum2 bagaimana Jules Verne bisa seolah2 meramalkan masa depan. Contoh yang paling saya ingat adalah novel 30000 Mil di bawah lautan (Versi Indonesianya di alih bahasa sama NH Dini). Kapal selam yang dideskripsikan oleh Jules Verne di tulisannya itu menjadi inspirasi kapal2 selam yang ada sekarang

    Reply
  4. Trims, Mas Tamon. Iya ya, itu mungkin salah satu kekuatan imajinasi juga. Tanpa imajinasi, hidup memang akan stagnan. Mimpi ke bulan kan awalnya jg dari imajinasi. Fiksi, suka atau tidak, selalu menginspirasi kehidupan riil. Senantiasa menantang manusia untuk terus memperbaiki hidupnya.

    Reply
  5. Berat banget nih obrolannya, ngga ngerti, beneran. Yang saya tau cuma coding program, animasi Flash, bikin situs Web, database, aftereffect, ke 21cineplex, ke Blitzmegaplex n yang lainnya. Baru kali ini baca blog yang isinya berat banget. Top banget deh pokonya.
    No Problemo, Hasta La Vista ….
    ^_^

    Reply

Leave a Reply to Brahm Cancel reply

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Don't do that, please!