Bonjour, Asterix!

Bonjour, Asterix!

Tiga dekade sudah Asterix menjadi yatim. Pada tahun 1977, “ayahnya” meninggal. Dialah penulis awal cerita serial Une Aventure d’Asterix le Gaulois atau Kisah Petualangan Asterix (selanjutnya saya sebut Asterix saja). Meskipun masih ada “ibu” yang tidak kalah berjasa dalam membesarkannya, tetap saja Asterix tak pernah sama sepeninggalan René Goscinny.

Asterix adalah fenomena. Komik Asterix diterjemahkan ke 150 bahasa lebih. Kalau tak salah hitung, sudah 30 judul Asterix terbit di Indonesia. Beberapa seri Asterix telah dibuatkan animasinya. Dua film Asterix nonanimasi pun menjadi boxoffice internasional. Di Prancis bahkan ada obyek wisata “Parc Asterix”—Taman Asterix, mirip Disney Land—yang rata-rata dikunjungi dua juta orang per tahunnya (Setiaji, Tempo 9—15 Oktober 2000: 85).

Goresan Alberto, Aleandro Uderzo ini bisa demikian terkenal salah satunya karena akseptabilitasnya. Sejak awal Asterix diperuntukkan buat remaja, seperti dieksplisitkan di halaman pembuka: “Loi n° 49956 du 16 juillet 1949 sur les publications destinées à la jeunesse” (aturan no. 49956 pada 16 Juli 1949 supaya diterbitkan untuk remaja).

Namun penggemar Asterix toh berduyun-duyun dari segala lapis usia. Sebagian tertawa lantaran adegan slapstik atau penamaan tempat maupun tokoh yang cenderung konyol. Sebagian lainnya mempersetankan itu, dan tertawa justru karena kritik atau pelesetan cerdas dalam Asterix.

Bagi yang belum tahu, Asterix mengisahkan sebuah desa mungil yang membanggakan perlawanan tak berkesudahan terhadap Imperium Romawi di bawah Jules César, sekitar tahun 50 sM. Asterix mengomunikasikan kehendak orang Prancis dan la francophonie (negara atau daerah yang penduduknya berbicara bahasa Prancis) untuk mempertahankan diri di tengah himpitan budaya bertutur Inggris.

Dari Asterix juga bisa ditangkap kerinduan orang Perancis pada masa lalu mereka yang unggul (Cholis, 1996). Dalam Asterix et Cléopatre, contohnya, ada adegan dimana Asterix berpamitan pada Cleopatra setelah berhasil membangun istana demi memenuhi ambisi ratu Mesir itu untuk tampil lebih mentereng ketimbang Romawi yang telah menaklukkannya. Asterix berkata, “Bila suatu hari nanti Yang Mulia ingin membangun terusan antara Laut Merah dan Laut Tengah, misalnya, panggillah salah seorang dari kami.”

Sekedar catatan, Terusan Suez dibangun Ferdinand de Lesseps, arsitek Prancis. Jadi, ini adalah salah satu adegan yang menunjukkan perpaduan apik antara sejarah dan fantasi, berkat tangan dingin kedua komikus Asterix.

Sayangnya, kematian Goscinny lantas menghentikan bulan madu itu. Produksi Asterix sempat berhenti lama, walaupun ujung-ujungnya dilanjutkan juga.

Jadi saya membagi dua periode penerbitan Asterix. Yang pertama ditandai kolaborasi Goscinny sebagai penulis cerita Asterix dan Uderzo sebagai penggambarnya. Dua puluh empat judul Asterix lahir dari duet ini. Meninggalnya Goscinny menandai habisnya Asterix I.

Uderzo berikutnya solo menggarap Asterix. Inilah awal periode Asterix II. Seri Asterix dengan Uderzo sebagai komikus tunggal telah beredar tujuh judul. Asterix II saya lihat memiliki gaya berbeda. Sebagai tukang cerita, Uderzo ternyata suka berlebihan dalam memantik kelucuan. Ini membuat Asterix mirip kartun-kartun sejenis Tom & Jerry.

Misalnya dalam Asterix Le Grand Fosse (Desa Belah Tengah), para Romawi meminum jamu ajaib palsu yang diracik sang dukun Panoramix. Akibatnya, badan tentara-tentara Romawi itu menggelembung bak bola, sejenak kemudian menciut sekerdil tikus. Ini masih logis dari kacamata komik komedi. Namun yang aneh, pakaian Romawi-Romawi itu turut mengecil, sehingga tetap pas mereka pakai. Khasiat jamu bekerja pula pada pakaian?

Bacalah juga Asterix Chez Rahazade (Asterix dan Puteri Rahazade). Asterix berpetualang ke India. Siapapun tahu, kultur India dan Galia (Prancis kuno) sangat berlainan. Namun Asterix dan Obelix langsung dapat bercakap-cakap tanpa masalah dengan penduduk India, seolah-olah mereka serumpun bahasa.

Di jaman Goscinny, detail-detail seperti ini diperhatikan. Tengoklah cerita karangannya, Asterix et les Goths (Asterix dan Orang-orang Gothi), kendala komunikasi antara Galia dan Jerman malah jadi materi banyolan. Goscinny selalu berhasil membangun kelucuan dari hal-hal yang logis. Dia memang pencerita sejati (dan salah satu pengarang favorit saya).

Sepanjang hidupnya, Goscinny menulis ratusan judul, selain Asterix. Bekerja sama dengan beberapa komikus. Dengan Jean Tabary menghasilkan Iznogoud, dengan Morris (orang Belgia) menghasilkan Lucky Luke. “Ayah” Asterix ini pun tak segan membantu komikus-komikus muda untuk menerbitkan karya. Syahdan, tanpa menggambar pun Goscinny digolongkan tokoh penting dalam dunia komik Eropa.

Sebenarnya, Goscinny juga menggambar. Namun sejak menyaksikan kemampuan gambar Uderzo, pria blasteran Polandia-Ukraina ini langsung minder dan memutuskan untuk menulis cerita saja. Keminderan inilah awal dari “perkawinannya” dengan Uderzo.

Di musim panas 1959, Goscinny dan Uderzo serius berdiskusi tentang masa depan. Mereka memikirkan suatu gagasan yang benar-benar baru di sebuah flat murah tempat Uderzo tinggal (sebagaimana diceritakan dalam Dictionnaire Mondial de la Bande Dessinée, 1994: 29—31). Brainstorming bukan peristiwa sehari. Beberapa kali ide mereka layu sebelum berkembang.

Toh ilham datang juga. Terinspirasi tokoh sejarah, Vercingétorix, Goscinny memutuskan nama-nama tokoh bersuku Galia—yang direncanakan sebagai protagonis—nantinya harus berakhiran “ix”. Lalu sebagai antagonis, semua nama orang Romawi diakhiri dengan “us”. Langkah berikutnya, dia menulis ulang sejarah. Jules César, tokoh besar sejarah, ternyata tidak menguasai seluruh Galia. Ada desa kecil di Armorik yang terus-terusan melawan kekuasaan Romawi.

Uderzo pun segera menyiapkan sketsa tokoh-tokoh buatan Goscinny. Asterix mulanya digambarkan tinggi besar, tapi lantas diganti Asterix yang berperawakan mungil dan berkumis. Justru Obelix, kawan Asterix, yang digambarkan besar dan gendut. Tokoh yang suka makan ini dibuat mudah tersinggung, terutama bila ada yang menyebutnya gembrot.

Lantas untuk memberi alasan logis bahwa Asterix dan Obelix yang tak berpenampilan hero (tidak tampan, tidak atletis, prilakunya tidak bagus-bagus amat) tersebut mampu melawan superioritas Romawi, diciptakanlah Panoramix, dukun yang menguasai rahasia ramuan ajaib. Siapapun yang meminum ramuannya, bakal berlipat-lipat kekuatannya.

Voilà! Jadilah Asterix. Debutnya di edisi perdana Pilote (majalah komik). Asterix sukses menggambarkan betapa kekuasaan tak selamanya berwajah seram. Kekuasaan bisa juga menggelikan. Romawi yang adikuasa itu tiba-tiba tampil mengenaskan ketika berhadapan dengan desa kecil Galia. Bahkan Jules César berkali-kali kelihatan konyol di komik ini.

Sebaliknya, (asalkan langit tidak jatuh menimpa kepala) orang-orang Galia digambarkan tak gentar menghadapi apapun. Fair-nya, komikus tega juga melukiskan nenek moyang bangsa Prancis sebagai barbar, tak berpendidikan, dan sukanya bersenang-senang. Setiap episode dipungkas dengan pesta pora. Para protagonis Asterix sungguh tukang pesta!

Asterix le Gaulois yang dirilis Oktober 1961 dalam koleksi Pilote dengan penerbit Dargaud menurut Dictionnaire Mondial hanya laku 6.000 eksemplar. Asterix La Serpe d’Or terbit dua tahun berikutnya, oplahnya mencapai 20 ribu eksemplar di Prancis. Dan yang ketiga, Asterix et les Goths, tirasnya melejit dua kali lipat. Titik terang mulai terlihat pada judul keenam, Asterix et Cléopatre (1963), yang terjual 100 ribu eksemplar.

Pada 19 September 1966, Harian l’Express #796 mengulas fenomena ini, dan beberapa minggu kemudian 600 ribu eksemplar Asterix Chez les Bretons ludes dalam 15 hari (Gaumer, 1994: 30). Angka satu juta untuk satu judul tertembus melalui Asterix et Les Normands di tahun itu juga. Judul-judul berikutnya akhirnya merupakan jaminan kelarisan (Pareanom, Tempo 9—15 Oktober 2000: 72).

Cepat saja, brand Asterix beranak pinak. Beberapa di antaranya adalah adaptasi kisah Asterix untuk program di radio (lewat France-Inter), piringan hitam, film animasi (Studio Belvision, Idéfix, dan Gaumont), juga adaptasi Asterix berbentuk teater (oleh Jérôme Savary).

Asterix tampaknya tidak sekedar komik lucu, melainkan juga industri hiburan yang bernilai ratusan juta dollar. Mereka telah berhasil menjual 300 juta eksemplar komik hanya dari 30 judul Asterix. Sementara itu pembuatan film animasi, Taman Asterix di Paris sebelah utara, beserta merchandise Asterix tak kalah kencang memompa pemasukan.

Setelah Goscinny tiada pun Asterix enggan berhenti berpetualang. Uderzo merangkap tugas sebagai penggambar sekaligus pengarang Asterix. Pria yang aslinya buta warna ini tidak terlalu kesulitan dalam menambah pundi-pundinya, karena Asterix sudah demikian tenar.

Bagaimanapun, di usia Uderzo yang sudah di atas 80 tahun, Asterix et Latraviata diperkirakan adalah awal dari edisi perpisahan. Saya membaca Asterix edisi ini dalam bahasa aslinya (setahu saya versi Indonesianya belum terbit) dan mengendus aroma adieu yang pekat. Asterix dan Obelix mulai berpikir untuk berkeluarga. Bahkan Idefix, anjing kesayangan Obelix, di episode ini telah mendahului tuannya: Kawin dan punya anak.

Jika Anda sudah membaca Asterix yang mengisahkan hasut-rayu aktris bernama Latraviata ini, perhatikan pula adegan dimana Asterix dan Obelix yang selama berpuluh-puluh tahun kalau bertengkar paling banter cuma bersilat lidah atau ngambek-ngambekan, kali ini Obelix sampai emosi dan menonjok Asterix.

Asterix dan Obelix jadi lebih manusiawi. Semua rasanya menandakan bahwa sebentar lagi kita takkan menyaksikan petualangan-petualangan Asterix yang baru lagi. Uderzo bukan Walt Disney. Sama seperti Hergé, pengarang Tintin, dia tak menurunkan ilmu menggambar Asterix-nya kepada siapapun. Jadi penggemar Asterix, bersiap-siaplah. Tawa yang dimulai sejak 1961 ini mungkin segera akan berhenti.

BAGIKAN HALAMAN INI DI

20 thoughts on “Bonjour, Asterix!”

  1. Mas Brahmanto mungkin salah, tawa yang dimulai sejak 1961 ini takkan segera berhenti meski Asterix kelak jadi ‘yatim-piatu’ sekalipun!! Film bioskop Asterix (yg manusia beneran) masih ada, bisa terus diproduksi sekuelnya. Komiknya aja masih lucu meski dibaca berulang – ulang

    Reply
  2. Ulasan yang sangat menarik. Sedikit tambahan untuk judul Asterix terakhir adalah “LE CIEL LUI TOMBE SUR LA TÊTE” atau “THE FALLING SKY” . Kover seri terbaru ini memiliki kesamaan cermin dengan seri Asterix yang pertama terbit, menimbulkan spekulasi bahwa ini adalah yang terakhir, tapi dibantah sekali lagi oleh Uderzo.

    Reply
  3. Oh ya? Wah, terima kasih banyak atas info tambahannya, Mas Hiro. Tapi blm masuk Indonesia kan. Di Pusat Kebudayaan Prancis udah ada belum ya? Ya aku sih berharap itu bukan karya pamungkasnya Uderzo.

    Reply
  4. Trims ya, Mas Tito. Nggak tau nih, Asterix et Latraviata udah diterbitkan blm di Indonesia. Tp di perpus LIP Jogja pasti udah ada. Gaya gambar Uderzo tambah matang, tp soal cerita, aku lbh suka jamannya Goscinny dulu.

    Reply
  5. Yaaahh.. masa dah selama itu mo berenti begitu aja komiknya. Saya termasuk penggemar Asterix dan Obelix. Dr kecil dah baca komiknya walaupun ga semua. Jd sedih d hix..hix…

    Reply
  6. Iya jg sih, Mbak …. Tapi daripada diteruskan ke generasi berikutnya tp bikin bosen, hayo? Apa ya contohnya kasus begini … mmm, Donal Bebek? Doraemon? Anyway, meskipun kelak Uderzo udah nggak ada, seperti kata Mas Pay, film2 Asterix (orang maupun animasi) pasti tetap diproduksi. Itulah takdir bagi setiap karya legendaris.

    Reply
  7. by the way.. kita sebagai penggemar asterix pasti akan kecewa kalo sampe komiknya berhenti total. emang kenapa sih Uderzo tidak mewariskan ilmunya atau menyerahkan pada orang lain untuk nerusin komiknya?

    Reply
  8. Ulasan yg benar2 menarik, mas. Terutama kesan ttg tokoh hero yg tdk harus selalu top dlm segala hal :-)..pernah baca the Complete Guide to Asterix kan yah??..disana mmg dijelaskan ttg sejarah pembuatan Asterix. Klo di Belanda malah ada bbrp buku yg khusus membahas sisi2 sejarah cerita Asterix, penulisnya orang 2 sejarahwan (historian -red) sekaligus ahli sastra dr Amsterdam. Sayangnya, oleh penerbit Belanda blm diterjemahkan ke dlm bhs Inggris apalagi ke Bahasa :-). Sayangnya saya lupa judul bukunya 🙁
    Oke, sukses selalu mas Brahmanto..

    Reply
  9. Trims atas tambahan informasi dan link-nya, Lia. Wah, yg bahas malah bukan historian Prancis ya. Keren. Tp kalau nerjemahin ke Bahasa (via penerbit) mungkin nggak bakal ada. Tp kalau di internet suatu saat pasti ada, setidaknya rangkumannya.

    Kemarin malam, pas suntuk habis kerja, entah kenapa pingin baca2 koleksi Asterixku. Ternyata masih ngakak tuh.

    Reply
  10. haloo om, saya ada koleksi tintin dan asterix, dan mau saya lepas, koleksi patung buatan leblon delienne paris, kira kira ada yang minat ngak ya? jual borongan, soalnya ada kebutuhan yang tidak bisa dihindari,kalo ada yang minat tolong saya direfer to, thank you so much (sbemard@yahoo.com)

    Reply
  11. Dear Mas Bram….

    gara-gara tulisan ini saya jadi kangen ama ASTERIX&OBELIX-DARGAUD versi Indonesia….
    Mas, bisa tolong saya dimana saya bisa dapatkan komik bundelannya, yah?? so, kasi tahu dulu harganya…

    Maksi sebelumnya…

    Nongol Belakangan:
    Tulisan ini bagus…!
    Ijin tak post di fbku ya, mas?
    Pleaseeee…..??

    Reply

Leave a Reply to Brahmanto Anindito Cancel reply

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Don't do that, please!