Tulisan ini saya buat di Bandung. Kebetulan saat ini saya sedang mudik ke rumah mertua. Tiba-tiba, saya terkenang ketika tahun 2011 saya dan (calon) istri mengunjungi rumah seorang teman di Cileunyi. Waktu itu, kami melihat lemari besar berjejalan buku. Tak heran, Teh Rini Nurul Badariah dan suaminya, Mas Agus Hadiyono, memang penggila buku.
Koleksi buku saya mungkin tidak sebanyak mereka. Namun, saya bisa melihat “masa depan” di rumah itu. Fiuhh! Saya tanya ke istri saya, “Gimana kalau koleksi buku kita akhirnya menggunung begitu?”
Ia hanya balas memandang, lalu menggerakkan bahu. Kami berdiskusi beberapa menit soal itu. Sayangnya, tetap saja tidak ada solusi. Padahal ini “masa depan” kita, “masa depan” penggemar buku.
Saya juga masih ingat ribetnya pemindahan buku mantan bos saya. Beliau penggemar buku juga. Tiap keluar negeri selalu membeli buku-buku baru. Tidak di luar negeri pun beliau rajin membeli dari Amazon. Sewaktu pindahan kantor, buku-buku itu jadi masalah, saking banyaknya.
Mantan bos saya itu duitnya banyak, takkan habis dalam tujuh turunan. Namun, sepertinya tetap kesulitan mencari ruang untuk buku-bukunya yang terus bertambah. Nah, apalagi saya?
Coba perhatikan, kemampuan kita mendapatkan buku (tidak hanya dari membeli) yang selalu jauh di atas kemampuan kita menambah ruang. Kita mungkin mampu memperoleh 100 buku dalam setahun. Jika satu buku ukurannya taruhlah 20 cm (panjang) x 13 cm (lebar) x 2 cm (tebal), maka 100 buku itu akan memakan ruang 5,2 meter kubik.
Rata-rata tinggi plafon rumah tiga meter. Meskipun, tak mungkin orang menumpuk buku sampai tumpukan itu menyentuh langit-langit, bukan? Jadi, kita anggap ketinggian penumpukan buku dua meter saja. Dengan ketinggian itu, maka luas yang dibutuhkan untuk menaruh 100 buku adalah 2,6 meter persegi.
Itu tanpa lemari. Artinya, buku-buku itu hanya ditumpuk atau dikardusi. Kalau kita menggunakan lemari, apalagi dengan penataan yang cantik, tentu kita butuh ruangan yang lebih besar. Bisa 2-3 kali lipatnya!
Namun, untuk memudahkan perhitungan, kita anggap saja buku-buku itu ditumpuk begitu saja. Jadi, kita butuh 2,6 meter persegi per tahun!
Lalu, coba cek berapa harga tanah per meter persegi di daerah Anda. Misalnya Rp 500.000. Plus biaya pembangunan ruangan, kita bulatkan jadi 1.000.000. Lihatlah, setiap tahun, Anda harus menyediakan Rp 2.600.000 untuk perluasan ruang penyimpanan.
Penghitungan ini belum termasuk fans pengisap debu, AC, lampu, lemari, dan sebagainya. Hitung-hitungan ini juga mengabaikan kenaikan harga tanah dan bahan bangunan, serta biaya perawatan ruangan dan buku.
Saya tidak bermaksud berumit-rumit dengan penghitungan properti. Namun, inilah biaya wajar yang harus Anda sisihkan kalau Anda hobi melahap buku. Dan, ini belum majalah, tabloid dan koran lho. Wah, tambah sesak saja rumah kita dalam 5-10 tahun ke depan!
Bagaimana solusinya?
Money Can Buy Most Things
Siapkan saja uang 2,6 juta plus-plus dalam setahun. Sebagaimana urusan hos situs web: setiap kali muncul peringatan bahwa space Anda hampir menyentuh limit, yang perlu Anda lakukan hanya meng-upgrade-nya menjadi lebih besar.
Namun permasalahannya, ini bukan seperti web host atau harddisk eksternal yang bisa kita tambah setiap kali kita punya uang. Ruang penyimpanan buku (atau katakanlah rumah kita) tidak bisa ditambah-tambah seenaknya. Kita punya tetangga yang membatasi tanah kepemilikan kita. Kalaupun di samping rumah kita tanah kosong, belum tentu juga bisa kita beli.
Yang sering terjadi, kita harus cari tanah atau tempat penyimpanan di lokasi terpisah. Repotnya kalau Anda membutuhkan buku-buku itu sebagai bahan riset. Tentu tidak praktis bepergian antara satu perpustakaan pribadi ke perpustakaan kita yang lain hanya untuk mencari tahu sesuatu.
Selection System
Atau, Anda mungkin bisa mempertimbangkan untuk menyeleksi koleksi Anda. Buku-buku bagus punya saya dan istri kami letakkan di lemari, buku tak seberapa bagus masuk kardus, sementara buku jelek kami buang atau sumbangkan jika masih layak.
Namun, ini juga bukan solusi jitu. Sebab, mungkin ada buku yang saat ini saya nilai kurang berguna, tetapi di masa depan justru sangat saya cari-cari. Kami ini kan ghostwriter, sering mendapat tugas dengan tema yang tak disangka-sangka.
Pernah, buku-buku wayang terlanjur kami taruh gudang, eh, beberapa bulan kemudian dapat order bertema wayang. Jadilah kami bongkar gudang sambil bersin-bersin. Lalu, majalah-majalah bertema senjata dan militer punya kakak saya sudah kami jual kiloan. Kemudian, datanglah order penulisan buku bertema militer. Jadi dilema, bukan?
Welcoming the e-Book Era
Ukuran bumi tetap, sementara penduduk terus bertambah. Semua butuh ruang yang nyaman untuk hidup. Saya memandang, problem-problem semacam ini membuat tren e-book akhirnya menjadi keniscayaan. Saya pun mulai mengoleksi e-books yang sesuai minat, tentu saja yang memang digratiskan oleh pengarang dan penerbitnya, seperti di sini.
Saya tidak tertarik membaca e-books “karya” A. Fuadi meskipun saya belum baca satu pun dan untuk mengunduhnya sangat mudah. Kenapa? Ini lantaran perasaan empati saya terhadap sesama penulis.
Logikanya, kalau saya mau membaca file-file bajakan, saya harus rela kalau suatu saat karya saya juga dinikmati orang begitu saja tanpa royalti. Kapan industri perbukuan Indonesia bisa maju kalau begini caranya!
Beli e-book yang legal, dong! Saya akan bertanya balik, di Indonesia, baru berapa penerbit sih yang mau meluncurkan versi digital dari buku-buku terbarunya?
Begitulah, belum ada solusi yang paling efektif untuk mengatasi problem ruang ini. Makanya, tulisan ini menggunakan judul dengan akhiran tanda tanya.
Mungkin Anda pernah mengalami masalah sejenis dan berhasil melewatinya? Sudilah kiranya berbagi solusi di sini. Bagaimana dan dimana Anda meletakkan koleksi bacaan yang terus menggunung?
- Photos from Favim.com and Izismile.com
Solusinya Bram, mungkin kurangi penambahan koleksi buku kita pertahun. Seenggaknya itu akan memperlambat sempitnya ruang. Irit pengeluaran buku, irit pengeluaran ruangan.
🙂
Hehehe, betul juga. Itu solusi jitu! Tapi, kalau begitu kan jadi kayak orang tanya, “Ngantuk sekali, saya mau tidur. Tapi bagaimana ya supaya saya bisa bangun untuk sahur dini hari nanti? Jawabnya, “Ya jangan tidur sekalian, biar jam 3 bisa langsung sahur.” 😀
koleksi buku saya belum menggunung se, masih muat di lemari 🙂 kalaupun nantinya menggunung mungkin bisa pakai multi purpose furniture kali ya, sy pernah lihat contoh gambarnya di internet, kayak tempat tidur tapi ada lacinya yang dipake buat naruh buku, jadi irit tempat 🙂
Parlina Wi´s last blog post ..When My Signature Told Everything
Aku juga mulai pakai furniture-furniture semacam itu. Hm, tapi untuk 5-10 tahun ke depan, rasanya harus mikir lagi. Karena buku teruuus… nambah pelan-pelan >_<
Percaya atau tidak, kekalapanku (ya aku, bukan kami) berbelanja buku sudah berkurang setahun belakangan ini. Berhubung niat kurang kuat, semesta yang membantu. Ada kondisi-kondisi yang mengharuskan prioritas pengeluaran dan menomorakhirkan beli buku, kecuali dibutuhkan untuk riset. Toko buku “terdekat” mulai tutup, sedangkan kemacetan Bandung yang meningkat bikin kami enggan pergi jauh-jauh ke kota. Kemudian setelah beberapa kali buku rusak lantaran rumah kami lembap, alhamdulillah aku rela melungsurkan sebagian kepada saudara-saudara yang gemar membaca dan lebih sulit lagi mengakses (toko) buku.
Intinya sih klise, seperti kata orang bijak: keinginan adalah sumber penderitaan. Mungkin saja yang bisa kami terapkan ini tidak cocok bagi orang lain:)
Thanks. Berarti setuju sama Aleena ya? Kalau kupikir-pikir, memang itu yang paling logis dan praktis.
Btw, dari ketiga solusi yang kutulis di atas, aku menerapkan kombinasi ketiganya sih. Tapi, penasaran, apa benar nggak ada solusi efektif di luar ketiga itu? 🙂
Sementara ini kami memanfaatkan hampir semua perabot dan semua ruang yang ada untuk menaruh buku. Karena tempat tidur hasil pesan dan rancang sendiri, di bawahnya dijadikan semacam rak terbuka. Di bawah meja kerja juga ada raknya. Semacam itu deh… tapi andai rumahku semewah milik seorang pesohor pun, aku nggak tega menyimpan buku di kamar mandi.
Rini Nurul Badariah´s last blog post ..Membaca dari Tengah
Jadi, konsepnya “book is everywhere” ya, Teh? Tapi apa nggak tambah rungsep dan membingungkan? Apalagi kalau bukunya semakin banyak. Kupikir perpustakaan-perpustakaan umum juga menghadapi masalah serupa.
always put them in the bag hehe….. it’s nice to reads this blog
resep kue basah´s last blog post ..Resep Puding Buah Praktis | Puding Mangga kelapa Muda
Buku di mana-mana.. Hm.. Saya bakalan pusing >_<
Cukup kuliah yang penuh buku.. Lepas dari kuliah, hilanglah sudah 😀
btw, salam blogging ^_^
Jimmy Ahyari´s last blog post ..Metland Rumah Idaman Investasi Masa Depan
Hahaha, itu mah buku-bukunya disingkirkan, Mas Jimmy…
waktu sekolah saya paling senang baca baca buku, sesudah lulus jadi malas baca baca hehehe,,,,,
terimakasih sudah berbagai artikel ini
dian´s last blog post ..Pantangan Makanan Penderita Penyakit Diare
Buku2 saya, saya plastikin di dalam kantong plastik, saya masukan box plastik, supaya ga berdebu. Memang zamannya e-book, tapi, kebanyakan membaca e-book, mata menjadi mudah lelah, dan ga bisa dibaca di tempat yg bebas.
E-book sekarang keren-keren e-readernya, Gi. Kalau mata lelah, mungkin layarmu yang kurang besar. Atau ukuran font-nya yang belum diatur. Ada juga fitur night light dan reverse color yang insya Allah membuat mata teduh, meski baca di tempat terang atau gelap.
Untuk lebih jelasnya, mampir dong ke sini: http://brahmanto.warungfiksi.net/kenapa-saya-lebih-suka-baca-novel-berbentuk-e-book/ 🙂