Through Whose Eyes This Story is Told

Do you prefer to speak your story with I style (“Today I blah-blah-blah ….”) or he style (“Yesterday A went to his college. He blah-blah-blah ….”)? Maybe you determined it by instinct. But actually, the reason behind is simple.

First Person Point of View or POV (I). Pick this POV if you want the reader to be familiar with your main character. But that character must be strong enough to enliven the whole plot.

Second Person POV (you). This is not a popular choice of writer. But second person POV can drag the readers to involve more into story. It used to be for interactive novel writing.

Third Person POV (he or she). In third party omniscient (third person objective), the author might fly from one character to another, without dig inside character’s head. Meanwhile, a third person subjective is good in detail of the characters, almost as detail as the first person POV.

Choose POV that best suits your story. And be consistent! Do not change in the middle of story. Remember also the logic and limitations of each POV.

* * *

Menulis, apalagi fiksi, itu bebas. Tema apapun, teknik apapun, sah-sah saja. Tapi ketika tulisan itu hendak kita tampilkan untuk publik, ada banyak aturan yang menghadang. Berita baiknya, hadangan itu bukan beban. Aturan-aturan itu sebenarnya mudah dinalar. Salah satunya tentang sudut pandang penulisan.

Anda lebih suka bertutur dengan gaya aku (“Hari ini aku bla-bla-bla ….”) atau dia (“Kemarin si A mendatangi kampusnya. Dia bla-bla-bla ….”)?

Awalnya, saya hanya mengandalkan insting untuk menentukan sudut pandang yang pas bagi karya-karya saya. Namun ketika saya mencoba menalarnya, semua menjadi jelas. Kenapa untuk novel saya yang ini saya suka “dia”? Kenapa untuk posting di Warung Fiksi (nonfiksi) saya suka “saya”? Alasannya ternyata sederhana.

Sudut Pandang Orang Pertama

Di sini, pencerita adalah tokoh utama. Karya ditandai dengan banyaknya penyebutan kata ganti orang pertama, seperti “saya”, “aku”, dan segenap sinonimnya. Contohnya, “Kuhampiri dia dengan senyum mengembang. Namun alih-alih balas tersenyum, Yuanita melengos. Dan temannya tiba-tiba datang, semakin menghancurkan niatku untuk bersapa.” (cerpen Yuanita, S.Psi dalam Semanyun Senyuman Mahasiswa)

Kebanyakan, kata ganti tunggal yang digunakan. Bukan berarti jamak tidak bisa. Saya juga pernah tahu cerpen yang tokoh utamanya “kami”. Tapi ini tidak lazim. Secara teknis pun sulit dilakukan, setidaknya menurut saya.

Pilih sudut pandang orang pertama jika Anda ingin pembaca akrab dengan tokoh utama. Tapi tokoh ini harus cukup kuat untuk menghidupkan keseluruhan cerita.

Saat menggunakan mata orang pertama, awas tertukar dengan mata orang ketiga. Misalnya ada kisah bersudut pandang orang pertama dengan tokoh Ariel. Dia masih SD. Kecuali bila Anda mau ambil risiko tidak dipercaya pembaca, seharusnya Anda bercerita layaknya anak SD. Jangan malah menjadikan Ariel mampu menganalisis potensi ekonomi suatu daerah, lalu menerangkan teori-teori fisika.

Juga menjadi tidak logis ketika sekonyong-konyong cerita melompat ke detail keadaan rumah teman Ariel di kota lain, lengkap dengan apa yang dilakukan teman Ariel saat itu.

Sudut Pandang Orang Kedua

Sudut pandang ini jarang sekali menjadi pilihan penulis. Menggunakan kata “kau”, “Anda” dan segenap sinonimnya sebagai subyek cerita, sudut pandang ini menyeret paksa pembaca untuk lebih terlibat dalam cerita. Meski tidak semua pembaca mau diseret-seret begitu (terutama jika mereka tidak ngeh dengan ceritanya), cara ini dapat menjadi sangat efektif.

Contoh ceritanya? “Anda tak pernah menyangka air laut di selat bisa seasin ini. Sekalipun piawai berenang, untuk sesaat Anda harus menelan air garam itu banyak-banyak.” (novelet Pemuja Oksigen).

Kalau pernah memainkan novelet interaktif itu, Anda pasti menemukan cerita itu terkadang juga menggunakan kata ganti orang kedua jamak (“kalian”). Ini memungkinkan sekali dalam kasus Pemuja Oksigen. Karena dalam cerita tersebut tokohnya memang banyak, dan berada dalam satu tubuh. Jadi, penyebutan “kalian” yang bertubi-tubi pun terasa masuk akal.

Sudut Pandang Orang Ketiga

Gunakan sudut pandang ini jika cerita Anda memiliki banyak latar dan tokoh yang menonjol. Dengan menggunakan kata “dia”, penulis lebih bebas mengatur nasib dan ikhtiar tokoh-tokoh ciptaannya. Contohnya? “Tiga jam lamanya Lina menyibukkan diri. Hingga pukul 17.13, dia berhenti. Mengangkat lengannya dan meletakkan anyaman jemarinya di atas kepala. ‘Eureka!’ teriaknya pelan.” (novel Satin Merah)

Sebenarnya, ini sudut pandang favorit saya sewaktu menulis cerita bergenre thriller atau misteri. Dengan begini, enigma demi enigma lebih gampang diurai. Cerita pun menjadi lebih ringkas.

Misalnya, Anda menceritakan organisasi pecinta lingkungan yang ekstrim. Rimba Bonaventur adalah tokoh yang berusaha menguak keganjilan organisasi itu. Mau pakai sudut pandang orang pertama? Oke, silakan.

Tapi dengan begitu, Rimba harus dibuat jadi tokoh penyelidik, tetap hidup dari awal sampai akhir cerita untuk terus memberi laporan ke pembaca, dan dia harus ada di mana-mana. Lebih memeras otak kan? Lebih tebal juga novel itu nantinya.

Saat misteri dan konspirasi terlalu kompleks, orang pertama takkan sanggup membongkarnya sendirian. Jadi dia perlu “menyerahkan” pekerjaan itu pada orang ketiga.

Sudut pandang orang ketiga terdiri dari gaya pengarang “mahatahu” dan “orang ketiga terbatas”. Semuanya memungkinkan cerita untuk dilempar-lempar dari mata satu tokoh ke mata tokoh lain.

Dalam persepsi mahatahu (atau orang ketiga obyektif), penulis lebih bebas melakukan itu. Misalnya dalam satu bab, penulis bisa mengisahkan apa yang terjadi di sekitar tokoh Nadyasari, lalu tiba-tiba melempar pembaca ke tokoh Lina Inawati, lantas ke Echa. Terus bergulir bergantian seperti itu.

Sementara, sudut pandang orang ketiga terbatas (orang ketiga subyektif) unggul dalam detail penjelasan tokoh, hampir sedetail sudut pandang orang pertama. Tidak sekadar melompat-lompat, tapi melompat lalu diam sambil mengeruk fakta subyektif dari kepala sang tokoh, baru kemudian meloncat lagi ke tokoh lain, dan menetap lagi.

Disebut “terbatas” karena memang batasan antara meloncat dan menetap itu jelas. Misalnya ditandai melalui pergantian bab. Atau kalau lompatan sudut pandang itu terjadi dalam satu bab, penandanya lazimnya spasi kosong, atau tiga bintang (* * *).

Bagian di atas tiga bintang itu, umpamanya, mengisahkan cerita dari Bi Iis (pembantu Nadya) dan hal-hal yang terjadi di sekelilingnya, sedangkan bagian bawah dari tiga bintang menceritakan Lina Inawati dan permasalahan di sekitarnya. Begitu seterusnya.

Pilihlah sudut pandang yang paling sesuai dengan cerita Anda. Dan konsistenlah! Jangan mengubah sudut pandang di tengah cerita karena pembaca akan merasa aneh. Ingat pula logika dan batasan masing-masing sudut pandang itu.

Nah, selamat berkarya dan bereksperimen!

BAGIKAN HALAMAN INI DI

7 thoughts on “Through Whose Eyes This Story is Told”

  1. pengen nanya Mas.
    kalau misalnya memilih sudut pandang orang pertama, menggunakan “aku”, lalu bagaimana dengan penyebutan tokoh lain misalnya ayah atau ibu si aku saat si “aku”nya sedang tidak bersama mereka. apa disebutkan dengan nama sayang ayah/ibu, atau bagaimana? mohon penjelasannya mas,
    terima kasih banyak sebelumnya

    Reply
  2. Lho, kalau pakai “aku”, sepanjang cerita ya harus ada “aku”-nya dong. Meski “aku” itu nggak mengalami sendiri peristiwa yg diceritakan, tetep hrs si “aku” yg menceritakan. Dan tentu saja, sebutan2 pd tokoh2 di dalamnya menurut pd kebiasaan si “aku” manggil tokoh2 itu.

    Reply

Leave a Comment

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Don't do that, please!