Pretty often, we the writers are attacked by a so-called laziness virus. Doing research for the next story for a time bores us too. It’s stressful! How to make a story without feel it as a burden? If it’s your question (and was mine), here the dos list I suggest:
- Go out. Take adventure beyond the routines. Like Jean-Mari Gustave Le Clézio, the 2008’s Nobel Prizewinner in the field of literature, did. It will give you things to write.
- Listen to other’s story. You will amaze how your ordinary friends have quite interesting experience. At least, it can be a trigger for your work.
- You love the songs? Ok. Listen to the lyrics, not merely the music. Sometime it’s inspiring enough as a starting point.
- Or, just take a look around you. Believe it or not, every object near you has a meaning. You just need to be more critical and imaginative about objects that used to be insignificant to you.
Easy, isn’t it? But don’t forget to reread and edit whatever you wrote. Well, happy hunting the inspiration!
* * *
Cara seorang penulis mencari inspirasi tanpa riset, baik online maupun offline, bisa bermacam-macam. Bisa dengan berpetualang ke berbagai tempat di dunia (seperti yang dilakukan Jean-Mari Gustave Le Clézio, peraih Nobel Sastra 2008). Bisa juga dengan mendengarkan cerita orang lain. Atau jika Anda penggemar lagu, cobalah perhatikan liriknya, karena syair lagu dapat juga menjadi inspirasi menulis.
Tapi sebetulnya ada yang jauh lebih sederhana. Tengoklah yang dilakukan Sundea, penulis Salamatahari, Salamatahari #2, dan Dunia Adin. Pengelola blog Tobucil tersebut selalu mengisahkan keseharian dan segala sesuatu yang ada di sekitarnya.
Dea pun bercerita tentang matahari, hujan, bulan, rice cooker, gitar, kresek hitam, sampai laptopnya. Mulai dari awan putih, tomat, gantungan boneka panda di angkot, patung, sampai bel pintu.
Semua cerita itu mungkin terasa janggal, apalagi bagi mereka yang terbiasa membaca karya-karya besar dan serius. Namun coba perhatikan esensi tiap kisahnya. Mereka bukan sekadar hiburan yang dinikmati sesaat lantas dilupakan. Cerita-cerita mini itu walaupun ringan, menurut saya filosofis. Percaya atau tidak, semua obyek yang ada di sekeliling kita diam-diam menyimpan sebuah pelajaran.
Selebihnya, bergantung pada kemampuan kita penulis dalam memahami “kehidupan” mereka. Sensibilitas sangat diperlukan di sini. Kita dituntut untuk bisa melihat semua hal dengan jeli, karena seperti yang dikatakan Dea dalam salah satu ceritanya dalam Salamatahari #2, Dea, Seni Itu …
Mereka begitu halus dan kecil. Hanya terlihat jika kita berdiri cukup dekat, dan tak cukup kuat memanggil jika kita berdiri terlalu jauh. (halaman 59).
Ada lagi: tidur! Ngimpi. Catet mimpinya begitu bangun. Ya kan, ya kan?
Iya, iya.
Iya, kita semua bisa cerita tentang apa aja, lho …
Makasih, ya, Rie …
Cerita “Dea, Seni Itu” yg lengkap ada di : http://salamatahari.blogspot.com/2008/11/dea-seni-itu.html
.-= Sundea´s last blog ..Merah =-.
saya juga cari inspirasinya dari hal kecil.
lebih seneng cerita ringan
pegen bisa seperti itu
.-= Pradna´s last blog ..Bakal Paguyuban Blogger Banyumas =-.
@Dea
Sama-sama, Dea… Yah, Dea mah emang panca inderanya tajem banget. Hal sekecil apapun selalu bisa ditangkep.
@Ariez
Iya, Riez. Ringan itu nggak berarti ringan. Ringan itu bisa berat juga lho!
@Pradna
Emang kamu biasanya nyari ide dengan cara seperti apa?
.-= rie´s last blog ..Take A Look Around for Writing Inspiration =-.
ringan juga bisa berat?
ngerti sih ngerti
tapi bacanya jadi aneh
Semua itu tergantung cara pandang. Cerita ttg batu bisa dibaca sbg sesuatu yg remeh-ringan. Tp bs jg dilihat dg filosofi yg dalem-berat. Hal2 semacam ini seringnya lbh bersifat subyektif. Keindahanmu blm tentu keindahanku, penting bgku blm tentu penting bagimu. Yg kulihat, Dea sengaja bermain di ranah subyektif ini. Ceruk, bukan mainstream.
Eh, btw, temen kantorku (Surabaya), ada yg suka Salamatahari lho. Dia nggak sengaja lihat monitorku pas buka WufiNet, terus nyeletuk, “Salamatahari ya. Aku suka tuh.” Aku ketawa. Dia pasti lg basa-basi. Tp, “Eh! Serius ini, Brahm! Anak Tobucil itu kan?”
Aku pun kaget. Busyet. Dunia ternyata tak selebar daun kelor.
@Ariez
Sst yg ringan itu bisa aja memberikan dampak yg lebih besar daripada yg berat2. Tp ini emang tergantung persepsi sseseorang juga sih.
@Brahm
Oh ya? Dea musti dikasih tau tuh kalo ada penggemarnya di Surabaya. Waktu launching kemarin ada yg ngasih saran supaya distribusi Salamatahari nggak terbatas di Bandung atau Jakarta aja.
Halo Mas Bram, Rie …
Halo temen dari Surabaya… ^_^
Salam kenaL …
Makasih, ya … ^_^
.-= Sundea´s last blog ..Menggunting =-.
Salam kenal jg, Dea ^_^