Sebelum Menekuni Jalur Film

Sebelum Menekuni Jalur Film

Bagi sebagian orang, terjun ke dunia film berarti prestise. Padahal, siapa saja sebenarnya bisa berkecimpung di sini. Sekolah khusus film tidaklah wajib. Namun, sebelum Anda mengambil keputusan menekuninya, ada baiknya mengetahui gambaran singkat beberapa posisi kunci di bidang film, plus kiat-kiatnya.

Inilah rangkuman wawancara tim Warung Fiksi terhadap para praktisi: Teddy Chandra (Bandung), Juslifar Muhammad Junus (Jakarta), juga Sony Set (Yogyakarta).

Produser: Sang Pemilik/Pengelola Modal

Bisa dibilang, produser adalah penguasa film secara de facto. Ialah yang memiliki uang dalam sebuah produksi film. Tugasnya mengatur karyawan, keuangan, menyeleksi pemain, bahkan kalau perlu mengendalikan isi film.

Kelihatan seperti pekerjaan ringan yang diimpikan setiap orang berduit? Mungkin. Namun, persoalannya tidak sesederhana itu bagi Teddy Chandra, produser Film Televisi (FTV) seperti Cinta, Dua Hati, dan sebagainya.

Sebagai produser, “Yang pertama kita musti punya passion. Selain itu, harus ada relasi untuk mencari sponsor serta PH. Dan jangan lupa, kepedulian terhadap generasi muda juga penting,” bebernya dalam logat Sunda.

Mengapa generasi muda? Karena merekalah pasar terbesar bisnis perfilman, khususnya di Indonesia. Tren ada pada anak muda, jadi kejarlah ke sana kalau ingin dapur tetap mengepul.

“Tiap episode FTV yang saya garap butuh modal 125-150 juta,” ungkap pria yang film-filmnya dibintangi Ferry Irawan, Hengky Tornando, Eksanti, dan Lyra Virna ini.

“Kalau baru mulai, ya, belum menghasilkan apa-apa. Justru produser yang harus nomboki bayaran artis, karyawan, uang makan, peralatan, dan lain-lain. Setelah kita tanda tangan kontrak dengan stasiun televisi, baru dapat keuntungan. Dari situ, sebanyak 10-20% masuk ke saku produser. Tapi kalau ngomong bioskop, tentu saja hitungannya berbeda lagi. Modalnya lebih besar, sekitar dua miliar. Keuntungan produser pun lebih gede, yaitu 30-40%.”

Namun, seorang produser terkadang dituntut untuk keluar dari tren. Maka ia harus memiliki kemampuan memprediksi. Ada banyak metodologi untuk meramalkan tren. Yang paling praktis adalah lewat rating. Bisa juga dengan banyak membaca, berimajinasi sendiri, atau mengintip tren di TV-TV luar.

Atau melihat momen, seperti yang sering dilakukan Teddy. Secara sederhana, “Misalnya momen Agustusan mengangkat tema perjuangan, Ramadan tema religius, dan seterusnya,” terang pria yang juga aktif di bidang periklanan ini.

Kendati karya-karya Teddy bertema percintaan, yang artinya juga mengikuti mainstream, laki-laki berusia 54 tahun penghobi olahraga ini toh prihatin dengan kondisi saat ini.

“Film-film yang ada sekarang kurang mendidik. Anak SLTP sudah mempraktikkan gaya hidup bebas, klenik-klenikan, dan lain-lain. Sehingga untuk menciptakan iklim yang lebih variatif dalam perfilman kita susah juga. Masyarakat Indonesia masih suka menonton hal-hal yang berbau mistik. Sementara bujet produksi film laga, thriller, atau petualangan jauh lebih mahal ketimbang yang sekadar drama atau horor,” keluhnya.

Ternyata, produser bukan kasta tertinggi dalam bisnis film. Ia tetap tak berkutik menghadapi selera (monoton) yang mulia penonton.

Sutradara: Perlu Belajar 700 Hal

Semua film butuh penyutradaraan, termasuk film animasi. Sutradara sendiri bukanlah posisi yang tanpa akar sejarah. Ada urutan profesi yang harus dilalui terlebih dulu.

Mungkin awalnya ia sebagai pencatat skrip, penata artistik, penulis skenario, asisten sutradara, dll. Sebagaimana Juslifar Muhammad Junus yang mengawali karier sutradaranya dari penulis skenario teater.

“Tapi ada yang aneh binti lucu di pemahaman pekerja teater dan film,” komentar Ujang, sapaan pria ini, “bahwa menjadi sutradara adalah prestasi puncak. Lucu dan aneh karena tak seorang pun sutradara di dunia teater, film maupun sinetron yang popularitasnya menyamai, apalagi melampaui, aktor-aktrisnya. Padahal, menjadi aktor atau penata lampu, misalnya, hanya wajib mendalami tujuh hal. Sementara menjadi sutradara mungkin harus mendalami 700 hal.”

Lalu, berapa besar nilai pasaran seorang sutradara?

Berdasarkan pengalaman Ujang, rata-rata sutradara sinetron per episode dibayar 5-7 juta, jika bujet produksi 100 juta. Sutradara senior bisa meraup setidaknya 10 juta per episodenya. Sedangkan sutradara layar perak biasanya 40 juta atau lebih. Semua tergantung pula kesepakatan dengan pihak produser atau PH.

Angka yang cukup menggiurkan, bukan? Namun, dalam satu produksi dengan jumlah kru puluhan atau ratusan, yang jadi sutradara lazimnya hanya satu orang. Jadi peluangnya mungkin 1 banding 100, atau bahkan lebih kecil dari itu.

Membaca fakta tersebut, Ujang tak gentar. Menurutnya, perkembangan stasiun TV amat pesat. Indonesia kini memiliki hampir 100 stasiun TV, baik lokal maupun nasional. Di Surabaya saja terdapat lebih dari enam stasiun TV lokal. Bahkan beberapa stasiun TV sudah berafiliasi dengan jaringan TV International.

Pria berbadan subur ini menambahkan, “Intinya, peluang di dunia broadcast masih sangat lebar. Soal persaingan antar sutradara itu biasa, karena sifatnya lebih ke creative treatment, bukan gede-gedean uang pelicin. Rata-rata sutradara sinetron kita economical grade-nya rendah karena penghargaan finansial dari stasiun TV juga masih relatif murah.”

“Jadi enggak mungkin, dong, sutradara nyogok sana-sini supaya laku. Ujung-ujungnya, semua bergantung pada stamina kreatif dan ketangguhan dedikasi sutradara tersebut,” tutur laki-laki yang bekerja tetap (in house) di Footages Films dan bekerja freelance di banyak PH ini.

Penulis Skenario: Semua Film Berawal dari Sini

Film adalah industri. Konsekuensinya, penulis naskah film, tidak bisa seleluasa penulis novel atau komik. Begitu masuk dalam sebuah lingkungan industri, penulis dituntut menjadi penulis industrialis. Harus mematuhi jadwal dan perjanjian-perjanjian yang dibuat untuk mengikat kerjasama antara penulis dan PH.

Di sini, penulis tidak dapat bertindak layaknya seorang penyair yang menggubah puisi tanpa sudi direvisi siapapun. Karena ia berhadapan dengan berbagai kondisi.

“Setiap dialog, cerita, maupun tokoh dalam film menghadapi jutaan pemirsa, badan sensor, serta lembaga pemantau pertelevisian,” jelas Sony Adi Setyawan, penulis skenario profesional.

“Sampai sekarang, TV-TV nasional selalu mencari penulis skenario cerdas untuk bergabung dengan mereka. Kompetisi memang makin ketat, tapi tayangan drama juga diproduksi semakin banyak, 5.000-10.000 episode per tahun. Selain itu, honornya juga lumayan,” iming-iming lelaki bernama beken Sony Set ini.

Menurut hitung-hitungan Sony, jika kita bicara satu episode sinetron berbujet 100 juta, seorang penulis pemula akan mendapat sekitar dua juta. Kalau dia pro, perolehannya bisa di atas empat juta untuk durasi satu jam.

“Malahan penghasilan penulis film bioskop minimal 25 juta per skenario, karena lebih susah dan lama penulisannya,” lanjut pencetus gerakan Jangan Bugil di Depan Kamera ini.

Itu di Indonesia. Padahal peluang bisa datang dari mana-mana. Kepada Warung Fiksi, sarjana Manajemen UNS ini mengaku pernah ditawari menulis di Malaysia. Namun, tawaran tersebut ditolaknya, karena yang ditawarkan adalah kontrak eksklusif yang mewajibkan Sony tinggal terus-menerus di Malaysia selama beberapa tahun.

Masalahnya, laki-laki yang juga aktif menulis buku-buku nonfiksi ini terlanjur memilih jalur freelance. Ia merasa nyaman tanpa ikatan, sehingga bisa nyambi di mana-mana.

Di samping itu, “Kalau dikontrak eksklusif kadang cuma bisa membebek perintah produser, mau nggak mau harus taat rating, dan selalu mengikuti selera pasar. Freelancer, kan, lebih bebas untuk menentukan lanjut atau tidak, sesuai nurani kita. Tapi enggak enaknya, kadang order enggak datang-datang,” tuturnya sembari tersenyum.

Bagaimanapun, Sony titip pesan kepada penulis skenario pemula atau calon penulis skenario untuk selalu sabar dan tabah. Teruslah menulis walau belum dapat order, katanya.

Selain itu, menurut penggemar basket ini, penulis pemula harus mempunyai keterampilan merancang ide dan program. Jadi, dua talenta dituntut di sini: Penulis sekaligus perancang program. “Kalau idenya oke, siap-siap saja untuk sukses,” pungkas pria kelahiran Jakarta 36 tahun silam ini.

  • Kontributor: Lies Nanci & Iksan

BAGIKAN HALAMAN INI DI

106 thoughts on “Sebelum Menekuni Jalur Film”

  1. selamat malam kak, kalau senadainya mau ngajuin film yang diangkat dari kisah nyata, genrenya sejarah dari awal 1930 dan bukan cerita bisa namun bisa memotivasi para generasi sekarang, itu kalau ke ph yang pas yang mana ya kak? bisa minta emailnya agar bisa mengajukan, terimakasih

    Reply
  2. Salam kenal Mas Dhito, ini aku punya sebuah cerita fiksi untuk bisa di baca ke pemirsa gmna yah?
    Judul Hard to forget
    Di sini menceritakan seorang laki-laki yang memiliki indra ke 6 yang dapat melihat makhluk gaib, alur ceritanya ada 9 makhluk di rumah tua yang pada akhirnya ingin beringkernasi di bantu oleh laki-laki tersebut, kesimpulan dari cerita ini laki-laki tersebut bisa membantu dan dapat menemukan ide-ide untuk membuat skripsi di tempat kuliahnya. (Bisa di bilang Horror sih enggak, tapi Horror sih namanya juga ketemu hantu, tapi ini sebuah petualangan untuk dapat menjalankan misi dari laki-laki tersebut).

    Reply

Leave a Comment

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Don't do that, please!