Catatan Rie

Jauh sebelum menggarap novel ini, aku pernah mendirikan scriptwriter workshop bersama empat orang teman. Kami menulis sebuah naskah film dokumenter. Lima kepala, lima ide. Tak mudah menyatukannya, ternyata. Aku yang waktu itu baru menyeriusi dunia tulis jadi kapok. Pikirku, mending kerja sendiri tapi serius daripada kerja ramai-ramai tapi jadi lelucon.

Aku pun mulai bekerja sendiri. Menulis sendiri. Aku terus mengubek-ubek internet untuk meng-upgrade kemampuan menulisku.

Lalu ketemulah, salah satunya, blog Warung Fiksi milik Brahm. Baca-baca beberapa artikel, aku suka. Dan ternyata Warung Fiksi menerima tulisan dari orang luar juga. Aku yang lagi bingung mau mengirim tulisan ke mana seperti langsung mendapat titik terang.

Pertama, aku menulis cerpen-cerpen di sana. Disusul artikel-artikel tentang menulis fiksi. Dan akhirnya artikel-artikel tentang creature, culture dan nature Indonesia yang juga merupakan passion dari Warung Fiksi. Brahm yang mengedit semuanya.

Karena sering berkomunikasi, aku dan Brahm berteman. Tapi aku tak pernah menduga kalau suatu hari dia mengajakku berkolaborasi menulis novel begini. Aku pikir, wow! Aku kan orang yang masih celingak-celinguk di dunia tulis. Siapa aku? Apa yang aku punya?

Tapi, Brahm berkali-kali meyakinkan aku kalau dia tidak salah pilih partner. Aku terima penjelasannya. Dan aku sangat berterima kasih kepadanya.

Muncullah pertanyaan lain. Brahm kan di Surabaya. Aku di Bandung. Kami tentu tidak bisa mendiskusikan naskah face to face seperti ketika aku masih bergabung dalam scriptwriter workshop dulu. Internet memang membuat segalanya seperti tak berbatas, tapi apa bisa karya tulis panjang seperti novel digarap dengan cara begini?

Biarlah. Qui sera, sera! Bukankah kita tidak akan pernah tahu sebelum mencoba?

Kami pun segera membuat konsep cerita. Sebulan kemudian, novel mulai dikerjakan. Judulnya waktu itu masih Sunda Sunda. Cerita dibelah jadi empat bagian. Masing-masing dapat dua bagian. Selain itu, ada tugas lain: Brahm bertanggung jawab membangun unsur thriller dan misteri dalam cerita, sementara aku mengurus setting dan segala hal mengenai kesundaan.

Namun dalam beberapa bagian, kami mendiskusikan alur Satin Merah bareng-bareng, dengan fasilitas Google Apps di Warungfiksi.net. Misalnya, aku menulis tentang masa kecil tokoh Nadya. Brahm tidak pasrah saja menerima tulisanku. Dia juga memberi komentar, kritik, dan saran. Begitu juga sebaliknya.

Di luar dugaan, ini ternyata tidak begitu merepotkan. Aku memang harus ke warnet dua kali seminggu (waktu itu aku belum pasang internet di rumah). Tapi apa yang kuperoleh nilainya melebihi uang dan waktu yang harus aku keluarkan.

Aku belajar banyak dari Brahm melalui kerja bareng ini. Soal penulisan, soal kedisiplinan. Sebagai penulis profesional, Brahm sama sekali tidak arogan. Dengan sabarnya dia membimbing. Alih-alih menyuruhku menulis seperti dia, Brahm malah mempersilakanku menunjukkan style menulisku sendiri.

Begitulah, setiap pekan kami berdiskusi dan mengarang bab demi bab. Hingga tak terasa kami sudah harus membubuhkan kata "tamat" di naskah. Aku melihat kalender, hm, sudah hampir setahun. Melenceng dari target enam bulan yang kami tetapkan. Tak apalah.

Yang membahagiakan, keputusan Brahm mengirim naskah Satin Merah ke Penerbit GagasMedia ternyata tepat. Kurang lebih setahun kemudian, kami sudah bisa melihat novel ini di rak-rak toko buku. Aku senang, bangga dan bersyukur telah menerima ajakan Brahm waktu itu.


RIE YANTI. Ketika SMA, penggemar musik klasik dan jazz serta pop '80-'90-an ini sering menulis buku kumpulan puisi dan cerpen untuk teman-temannya. Lulus kuliah dari Sastra Prancis Universitas Padjadjaran, penyuka film-film animasi, terutama produksi Pixar, ini rajin menabung tulisan di berbagai blog seperti Warung Fiksi, Tobucil, AnakPerempuandanAyah, Salamatahari, serta secara rutin menulis di blognya sendiri, www.ceritarie.wordpress.com. Pengarang kumpulan cerpen Bukan Manusia (Lulu, 2010) dan Satin Merah (GagasMedia, 2010) ini bisa dihubungi di rie@warungfiksi.net atau Twitter-nya, rievj.