Researching Sundanese Literature for Satin Merah

DiscussionMenggarap novel Satin Merah menyisakan secarik catatan bagi saya. Kalau Anda tahu cerita novel ini (saya yakin belum karena baru akan terbit), tentu tahu ada beberapa bagian yang bercerita tentang Sastra Sunda, sesuatu yang tidak saya pahami betul. Jadi, sementara Brahm meriset hal-hal yang berkaitan dengan internet dan beberapa masalah penyelidikan, saya meriset Sastra Sunda.

Dengan browsing? Hm, rasanya tidak cukup. Saya ingin sekalian bertemu langsung dengan sastrawan atau pemerhati sastra Sunda sebagaimana yang dilakukan tokoh Nadya. Namun titik awalnya memang internet. Dari situ saya menemukan Rumah Baca Buku Sunda milik Mamat Sasmita.

Alamatnya tidak familiar. Di Jalan Margawangi, kawasan Margacinta. Tapi saya tidak tahu itu persisnya di mana. Dari kecil kalau ke Bandung, paling banter saya ke daerah alun-alun atau Jalan Merdeka. Dulu adik Mama memang tinggal di daerah Margacinta. Kami sekeluarga pindah ke Cicalengka saat saya masih SD. Jadi, sudah lama sekali.

Untungnya, seorang teman bersedia mengantar. Pakai motor. Saya yang kemana-mana naik angkot (persis tokoh Nadya), jadi merasakan sensasi aneh. Ketika harus menempuh perjalanan dari Jatinangor ke Jalan Margacinta pakai motor, lutut saya gemetaran. Kok bisa ya?

Rumah Pak Mamat Sasmita ternyata berada di sebuah perumahan. Pak Mamat sendiri yang membukakan pintu. Saya langsung menyebutkan tujuan saya: baca-baca buku tentang Sastra Sunda.

Pak Mamat pun berbaik hati mencarikan buku yang saya maksud. Beliau menyodorkan dua buku Ajip Rosidi, Ngalanglang Kasusastraan Sunda dan Kesusastraan Sunda Dewasa Ini.

Waktu saya di sana terbatas. Teman saya punya urusan lain. Jadi waktu yang sempit itu saya gunakan baik-baik untuk membaca. Eh, Pak Mamat malah mengajak kami berdiskusi tentang bedog alias golok. Sembari meladeni pembicaraan itu, saya nyempil-nyempil bertanya tentang sastra dan bahasa Sunda.

Saya pun berencana meminjam kedua buku itu sampai rumah. Pak Mamat memberikan dua opsi pengembalian: ke rumahnya itu atau ke PSS (Pusat Studi Sunda) di Jalan Taman Kliningan II empat hari kemudian. Kebetulan ada acara diskusi di sana yang dimoderatorinya.

Empat hari kemudian, kami memenuhi janji. Eh, siapa sangka PSS bertempat di sebuah rumah. Tampak menonjol, lantaran bangunan rumahnya seperti tidak terurus. Selain itu, sebagai sebuah yayasan, imajinasi awal saya akan bangunan PSS adalah ada plang mentereng bertuliskan Pusat Studi Sunda.

Faktanya? Tulisan “Pusat Studi Sunda” hanya dicetak di kertas putih biasa dan ditempel di kaca. Maka tidak heran kalau tokoh Nindhita Irani Nadyasari terheran-heran ketika tiba di sana.

Saat saya tiba, acara diskusi belum dimulai. Tapi saya tidak bisa langsung memberikan buku pada Pak Mamat. Jadi saya menunggu sampai acara selesai sambil mengamati kondisi PSS dan menyimak diskusi.

Judulnya Terapeutik Sastra (Terapi Sastra). Dipaparkan bagaimana sebuah bahasa, tulisan, perkataan atau cerita bisa menimbulkan dampak bagi orang lain. Positif maupun negatif.

Saya langsung berpikir, bagaimana kalau masalah terapi sastra ini dimasukkan ke dalam novel. Tepatnya di bagian tokoh Nining. Biar Brahm yang mendetailkan karakter itu, karena tokoh Nining muncul di setengah kedua naskah. Bagian saya kan setengah pertama naskah.

Diskusi selesai. Saya mengembalikan buku pada Pak Mamat. Ralat: saya baru tahu kalau Pak Mamat akrab dipanggil Uak Asas.

Bulan berikutnya, saya kembali ke PSS. Begitu juga dua bulan kemudian. Tujuannya, membaca buku, bercakap-cakap dengan orang-orang yang kompeten tentang Sastra Sunda, serta meminta bantuan menerjemahkan puisi Balaka dari tokoh Nadya ke dalam bahasa Sunda.

Setelah mengungkapkan maksud saya, seorang pengurus PSS lantas memanggil dua orang. Mereka adalah pengurus Cupumanik, salah satu majalah berbahasa Sunda yang juga bermarkas di sana: Atep Kurnia dan Yulianto Agung Prastowo. Nama Atep Kurnia sering saya baca di suplemen Khazanah Harian Pikiran Rakyat.

Tak membuang-buang waktu, saya pun langsung mewawancarai mereka. Saya jadi tahu lumayan banyak tentang Sastra Sunda, dan tokoh-tokoh yang bergerak di dalamnya. Termasuk bertemu dengan Kang Hawe Setiawan, sastrawan Sunda yang menerjemahkan cerpen-cerpen berbahasa asing ke dalam bahasa Sunda, yang kemudian saya “paksa” jadi proofreader Satin Merah.

Semua kerja keras terbayar lunas. Satin Merah sekarang siap terbit.

BAGIKAN HALAMAN INI DI

12 thoughts on “Researching Sundanese Literature for Satin Merah”

  1. Jawaban serius: Kodenya (dlm cerita) memang Satin Merah. Simbolisasinya jg sesuai. Satin adalah kain yg halus, sejuk, nyaman. Tp “merah” adalah warna yg maknanya berlawanan dg itu.

    Jawaban guyon: Inspirasi sebenarnya bukan Lentera Merah, tp Labah-labah Merah.

    Reply

Leave a Comment

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Don't do that, please!