Tren Wisata Semau Gue

Tren Wisata Semau Gue

Randu terkejut membaca berita di ponselnya. Dia baru tahu kalau Batam, atau tepatnya Pulau Galang, adalah bekas penampungan para pelarian dari Vietnam. Penasaran, bujangan itu menelepon agen perjalanan langganannya di Surabaya untuk memesan tiket Jogjakarta-Batam.

Setelah membayarnya melalui mobile banking, dia pun menerima SMS berisi kode booking penerbangan.

Berkali-kali, Randu melakukan prosedur itu, entah untuk berpelesir atau melakukan perjalanan bisnis. Entah tiket penerbangan, kereta api, bus atau hotel, semua seolah ada dalam genggamannya. Dia cukup merancang segalanya di otak, lantas sedikit memencet-mencet tombol ponsel, berangkatlah.

Semua Tepersonalisasi

Barangkali, lima tahun silam, adegan Randu ini masih dianggap fiksi ilmiah belaka. Namun sekarang, perkembangan teknologi seluler sudah demikian pesatnya. Mengatur perjalanan jauh di zaman Anda membaca artikel ini memang dapat dilakukan tanpa perlu mengangkat pantat. Bahkan, kalau mau, tanpa berbicara!

Ya, memesan kamar hotel atau tempat duduk pesawat kini bisa dilakukan hanya dengan ber-Yahoo! Messenger di ponsel atau ber-SMS ria.

Prosesnya lebih murah, hemat waktu, dan personalized. Maksudnya personalized, Anda tak perlu menuruti jam buka-tutup agen travel. Kapan pun ingin melancong, Anda tinggal memencet tombol-tombol ponsel.

Anda pun tidak harus mengikuti program wisata agen travel yang biasanya dibarengkan dengan banyak orang itu. Rancanglah sendiri program wisata Anda secara lebih personal. Selamat datang di personalized tour era… di mana perkembangan telekomunikasi seluler adalah garda terdepannya. Siapa menyangkal, industri pariwisata kita akan dimanjakan oleh perkembangan seluler.

Mengapa Wisata Menjadi Personal 

Lupakan sejenak target 6,5 juta wisatawan mancanegara yang gagal tercapai di tahun 2009 (meskipun angkanya lebih baik dibanding tahun 2008), mari bicara soal pariwisata domestik.

Kegiatan berpelesir lokal ini tidak boleh diabaikan. Salah satunya karena berpotensi meratakan uang ke seluruh pelosok Indonesia, yang artinya berandil pula dalam meratakan pembangunan. Sama seperti mengalirnya dolar dari Utara (negara maju) ke Selatan (negara berkembang), turis domestik membantu menyebar rupiah dari kota-kota besar ke daerah-daerah.

Alasan Personal

Siapapun tahu, wisatawan domestik mengunjungi suatu daerah berdasarkan motivasinya yang paling personal.

Misalnya, untuk sowan ke sanak saudara atau sahabat lama, terkadang karena alasan nasionalisme (menolak ke mancanegara kalau cuma untuk berlibur dan membuang devisa), atau lantaran keadaan ekonomi yang tak memungkinkan ngelencer ke luar negeri (sebagai peransel sekalipun).

Pengaruh Media

Sebagaimana Randu dalam ilustrasi di atas, terkadang motivasi melancong ke daerah lain di negeri sendiri juga dipantik oleh gencarnya terpaan media. Sewaktu ada heboh-heboh pemberitaan, masyarakat jadi tertarik mengunjungi lokasi berita tersebut.

Anda masih ingat penyergapan Ibrahim (yang awalnya disangka Noordin M. Top) di Temanggung, Jawa Tengah? Peristiwa Agustus 2009 itu menjadi hiburan tersendiri. Masyarakat sekitar berbondong-bondong datang. Tontonan utamanya tentu saja baku tembak, peluncuran robot pengintai, dan ledakan bom.

Setelah misi penyergapan Densus 88 dinyatakan sukses, rumah yang tinggal puing itu tetap menarik wisatawan domestik (dari Wonosobo, Madiun, Bekasi, Bandung) untuk berduyun-duyun ke Temanggung. Banyak yang tak puas bila hanya menontonnya di televisi, meskipun itu siaran langsung di TvOne.

Pengaruh Teman atau Saudara

Objek wisata begini biasanya memang terbentuk secara spontan, tanpa dikelola oleh tour & travel manapun. Orang tiba-tiba datang dengan sistem word of SMS (getok tular via SMS).

Apalagi ponsel dan operator seluler sekarang sudah banyak yang memfasilitasi pengiriman MMS, gambar, video call, juga streaming. Komunikasi pun tampil meyakinkan. “He bos, aq ga lsg k Welirang, msh d Lapindo. Liat nih, lumpur ini nyembur sjk Mei 2006 lo. Tuh, tuh, desa2 skitar sampe tenggelam gt, astaga… Satu2nya d dunia!”

Porong, Sidoarjo, pun menjadi obyek wisata dadakan. Wisata bencana alam, kalau boleh saya namai demikian.

Ada pula wisata bencana buatan. Contohnya, Bali tepat sesudah Bom Bali I (2002) di Kuta serta Bom Bali II (2005) di Kuta dan Jimbaran. Bali tanpa bom sudah booming, apalagi setelah terjadi ledakan laknat itu. Jika Anda perhatikan, puing-puing Hotel Ritz Carlton dan J.W. Marriot (2009) di Jakarta pun sempat menjadi obyek wisata spontan.

Lalu, tengoklah wisata pembantaian. Jagal Jombang Ryan, contohnya. Tempat Kejadian Perkara (TKP) di mana saja dia melakukan pembunuhan dan mengubur korban ternyata membuat orang-orang luar tertarik datang dan menjadi turis domestik. Aneh bagi saya, sesuatu yang mengerikan malah dihampiri.

Pengaruh Karya Fiksi

Anda tidak suka dengan wisata yang diawali dari insiden negatif? Cobalah wisata fiksi. Sebagian karya fiksi dibangun dengan detail lokasi yang sama sekali bukan dunia antah berantah. Anda, misalnya, bisa menyusuri tempat-tempat kejadian kisah Laskar Pelangi di Bangka Belitung.

Ponsel Pintar dan Internet adalah Kunci

Di era digital ini, semua menjadi terserah Anda. Termasuk di ranah pariwisata. Sekali lagi, ini era personalized tour! Wisata semau gue! Anda tidak lagi bergantung pada program yang dirancang oleh agen perjalanan. Silakan ciptakan sendiri wisata ideal Anda!

Modalnya tidak mahal, hanya dengan telepon genggam dan internet.

Sekarang, tukang sayur pun memegang ponsel pintar (smarphone). Sebab, banyak ponsel-ponsel low-end alias new entry berfitur murah meriah. Para operator seluler seperti Telkomsel, Indosat, atau XL pun bersaing keras memikirkan kemudahan serta kemurahan paket internet untuk pelanggannya.

Semakin lama, semua orang akan menjadi terbiasa menggunakan ponsel pintar. Seseorang yang tersesat di Padang bisa dipandu temannya yang sedang asyik membakar ikan di Madura melalui Google Maps. Berita peresmian objek wisata baru di Papua dapat segera diketahui orang Pontianak melalui portal berita. Potensi daerah tersebar luas hanya dalam beberapa kali ketukan di layar atau tombol ponsel.

Akan ada semakin banyak Randu-Randu lainnya. Mereka menikmati perkembangan seluler untuk hobinya berwisata seraya mengapresiasi kekayaan nusantara.

Di lain pihak, bisnis travel sendiri pastinya juga mengikuti tren personalized marketing. Polanya seperti bank: dari bangunan fisik, merambah internet, lalu mobile ke ponsel nasabahnya. Mungkin tidak berlebihan bila dikatakan semua bisnis, termasuk pariwisata, sedang menuju arah sana.

Produsen terus dituntut untuk semakin mendekat ke relung-relung pribadi konsumennya. Dalam banyak hal, itu berarti gawai (yang kadang-kadang ke WC pun tetap dibawa pemiliknya).

Ponsel memang telah membudaya di negeri ini. Coba, saat membeli tiket pesawat, apa yang ditanyakan penjualnya? Nomor ponsel Anda! Bukan lagi nomor telepon rumah. Cepat atau lambat, nomor ponsel menjadi KTP kedua bagi kita.

Siapa yang Diuntungkan

Tren wisata semau gue bukan cuma menguntungkan turis atau konsumen, melainkan juga agen travel. Konsumen bisa memesan lewat ponsel, agen pun bisa melayani lewat ponsel. Jadi mereka tidak harus diam di kantor menunggu pelanggan datang atau telepon berdering. Itu pemandangan lima tahun silam. Sekarang, tidak lagi demikian.

Agen travel kini bisa melayani dari daerah mana saja di Indonesia melalui ponselnya. Demikian pula untuk berkoordinasi dengan tim, rapat, melakukan brainstorm, atau memecahkan masalah yang mungkin timbul spontan di lapangan.

Hanya, pemerintah dan operator seluler swasta juga harus menyiapkan infrastruktur yang kuat dan merata. Sebab, jaringan seluler yang kuat bukan cuma menguatkan industri pariwisata, tetapi juga bidang-bidang yang lain seperti pendidikan, perdagangan, dan lain-lainnya.

Ketika semua infrastruktur telekomunikasi beres, turis domestik maupun mancanegara akan merasa nyaman melancong kemana saja di seluruh Indonesia. Mereka semakin berani menjelajah Indonesia, sekalipun sendirian. Dengan kian banyaknya wilayah yang terkover oleh sinyal seluler, apa lagi yang perlu dikhawatirkan?

BAGIKAN HALAMAN INI DI

13 thoughts on “Tren Wisata Semau Gue”

  1. “Aneh bagi saya, sesuatu yang mengerikan malah dihampiri.”

    Nggak aneh, sebenernya, krn orang-orang kan penasaran. Kayak masalah “batu terbang” di Nagreg tea yg kutulis di status fb bbrp waktu lalu (yg dikomentarin sama Win; dia bilang aku emang komedian), denger-denger mah jadi objek wisata. Banyak yg datang ke sana.

    Terus, terus, pokoknya kalo ada hal-hal unik, pasti aja dibikin objek wisata mendadak. Jadi Indonesia tuh punya banyak sekali tempat wisata. Nggak keitung deh jumlahnya.

    Reply
  2. Betul! Dan kalau dlm waktu dua minggu rasa penasaran turis2 nggak kunjung surut atau malah menjadi2, warga sekitar biasanya mulai mengarciskan “tempat parkiran”-nya dan meniketkan “pintu masuk”-nya. Nggak mau rugi, hahaha.

    Reply
  3. Ngemeng-ngemeng soal wisata aneh-aneh, Bram, di AS ada wisata gangster. Dimana gitu, aku lupa. turisnya nonton baku tembak beneran dari bis wisata. Itu kawasan hitam gitu, dikampung itu sering banget ada kriminalitas.

    Di Prancis juga sama. Seingatku ada agen travel yang nawarin wisata ke daerah baku tembak di Irak. Waktu itu. Sekarang ga tau lagi masih ada apa ga.

    Di Indonesia? Ga kalah! Tau ga, masyarakat Dani di Papua yang hidup dari pertanian itu juga suka perang. Pada Festival Lembah Baliem, untuk merayakan datangnya hari Kemerdekaan Indonesia, berbagai desa biasanya memeragakan rekaan perang diantara kampung mereka. Lengkap dengan baku lempar tombak dan panah. Mereka mendramakan penyebab dan taktik perang.

    Tambahin di daftarmu, wisata perang! He he he..

    Reply
  4. Wahahaha, pengamat wisata yg “aneh2” ya. Ya, ya, ya, di Amerika & Prancis pernah kudengar beritanya, tahun lalu kalau nggak salah. Tp, emang di Papua ada gitu ya? Bagaimanapun, wisata2 perang gitu bukan termasuk personalized tour, Aleena. Tp, boleh jg tuh, ditiru agen2 travel Indonesia. Asal risikonya siap ditanggung sendiri 🙂

    Reply
  5. Wah, wah, masa’ Gus Dur disetarakan Wali Songo? Tp kalau wisata tambahan, rasanya bisa sj pengembangannya ke sana. Bagaimanapun Gus Dur memang orang besar. Banyak yg ingin berziarah ke makamnya. Semoga pemda (dan disparta) membenahi kawasan sana.

    Trims, Zidan. Atau ini Mas Ucup ya? Hehehe.

    Reply
  6. Thanks, Wibisono. Kelihatan kan, wisata ini dipicu dari rasa penasaran dan semangat “semau selera gue” (konon beginilah tipikal konsumen di era Marketing 2.0), lalu dimudahkan oleh teknologi seluler.

    Reply

Leave a Comment

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Don't do that, please!