Logika bertutur maksudnya logika dalam menyajikan atau mengungkapkan pesan ke pembaca/penonton. Layaknya bahasa pemrograman, logika diciptakan untuk mendesain sekaligus membatasi tingkah-polah makhluk-makhluk yang berhubungan dengannya. Andaikan tak pernah ada pembatasan itu, tokoh Superman bisa saja tiba-tiba mengeluarkan jaring seperti Spiderman, tokoh Werewolf sah-sah juga bila mendadak menjelma Babi Ngepet. Karya yang logikanya tak konsisten semacam ini jelas menggelikan.
Lupakan orang yang mengatakan fiksi tidak membutuhkan logika, atau logika cuma akan menghambat perkembangan cerita. Tutup kuping saja, sekalipun yang bilang begitu seorang pengarang terkenal yang berjam terbang tinggi. Karena berdasarkan pengamatan saya, orang semacam itu di satu sisi mengatakan betapa fiksi tidak butuh logika, namun di sisi lain ternyata cerita-cerita buatannya memenuhi kaidah logika!
Mungkin dia sedang mempermainkan Anda saat mengatakan “cerita fiksi tidak butuh logika”. Mungkin juga dia memang tidak sadar telah menggunakan prinsip-prinsip logika ketika meramu cerita. Prinsip logika merasuk dalam alam bawah sadarnya, dan tidak sampai keluar ke alam sadarnya, sehingga muncullah penyangkalan itu, “Nggak tuh, gue nggak pernah pakai mikir logis-logisan kalau nulis.”
Sadar atau tidak, logika mutlak diperlukan dalam membuat maupun menganalisis novel, komik, teater, video klip, iklan, film, dan karya-karya berbasis cerita lainnya, terutama setelah definisi kefiktivannya kurang mencukupi. Misalnya, batas umur manusia masih sekitar 60—80 tahun, kecuali bila masalah usia telah didefinisikan ulang seperti dalam Blood: The Last Vampire (Hiroyuki Kitakubo: Jepang 2000).
Pendefinisian kefiktivan sebuah cerita biasanya kita lakukan di bagian-bagian awal cerita. Kalau itu novel, definisi itu ada pada tiga bab pertama. Kalau di film feature, definisi itu dihadirkan dalam 30 menit awal. Tidak harus dengan kalimat gamblang. Pendefinisian itu bisa pula dari kelakuan tokoh, deskripsi situasi, dsb.
Begitu kefiktivan tidak sempat didefinisikan, maka berlakulah setting normal: Segalanya kembali dinilai dengan logika standar yang berbasis pada aksioma. Suatu prinsip, kaidah atau hukum disebut aksioma jika dia tidak lagi membutuhkan pembuktian karena begitu sederhana (Bakry, 1986: 43). Alih-alih perlu dibuktikan, aksioma malah mau kita pakai sebagai dasar bagi segala pembuktian.
Aristoteles mengenalkan tiga aksioma di dunia ini. Di kemudian hari, filosof Jerman bernama Gottfried Wilhelm von Leibniz menambahkan prinsip keempat sebagai pelengkap (Bakry, 1986: 44—48).
Secara tidak urut, prinsip pertama namanya Tak Ada Jalan Tengah. Ini sesimpel pilihan “Anda sedang membaca tulisan ini” atau “Anda tidak sedang membacanya”. Anda jelas sedang membaca tulisan ini, maka pilihan kedua gugur. Intinya, antara “ya” dan “tidak”, kita mustahil tak berada di salah satunya.
Aksioma yang mirip dengan itu adalah Prinsip Nonkontradiktif. Aksioma kedua ini mengatakan, “Sesuatu tak dapat sekaligus merupakan hal itu dan bukan hal itu pada waktu yang bersamaan.” Kaki saya tidak mungkin sedang lari dan sedang diam (tidak lari) dalam waktu berbarengan.
Aksioma yang ketiga yakni Identitas. Bunyinya, “Sebuah benda sama dengan dirinya, bukan yang lain.” Bila sejak awal Superman hanya bisa terbang dan mengeluarkan sinar lewat matanya, ya sudah. Jangan sampai di tengah cerita Superman “kehilangan identitas” dengan tiba-tiba mengeluarkan jaring seperti Spiderman.
Bisa sih, tapi perhatikan aksioma terakhir ini. Aksioma yang oleh von Leibniz dinamakan Prinsip Cukup Alasan ini berbunyi, “Perubahan yang terjadi pada suatu hal pasti berdasarkan alasan yang kuat.” Suatu benda memang seharusnya tak pernah berubah. Sungguhpun terjadi perubahan, sudah barang tentu ada penyebabnya.
Aksioma terakhir ini menurunkan banyak konsep ketidaklogisan, salah satunya yang kuno sekali seperti deus ex machina. Bayangkan konflik dalam sebuah cerita mulai meruncing. Lantas sang pengarang menurunkan, umpamanya, tokoh malaikat, dewa, bidadari, atau makhluk dari galaksi lain. Semua konflik pun mampu dipecahkan dengan mudah olehnya. Begitulah deus ex machina. Jika koridornya logika, apa alasannya sehingga tokoh baru itu sekonyong-konyong mampu menyelesaikan konflik?
Keempat aksioma di atas, dalam konteks penulisan fiksi, bermanfaat untuk mengetes konsistensi dari premis dan kesimpulan elemen-elemen cerita dalam karya kita. Menurut Michael Scriven dalam bukunya yang berjudul Reasoning (1976: 31), konsistensi adalah sesuatu yang dibutuhkan dalam komunikasi. Konsistensi penting untuk mengomunikasikan ide cerita fiksi ke pembaca/penonton. Sebaliknya, inkonsistensi—atau disebut juga sebagai kontradiksi—merupakan jalan menuju CL (cacat logika).
Scriven (1976: 31—32) membagi inkonsistensi menjadi dua jenis. Pertama, inkonsistensi logis. Orang akan—dengan mudahnya—mengatakan si A inkonsisten bila si A menyatakan, “Terima kasih atas tawarannya, Tante, tapi saya sudah makan pagi meskipun belum sarapan.” Tidak perlu pengetahuan khusus untuk mendeteksi adanya kontradiksi antara frase “sudah makan pagi” dengan “belum sarapan”.
Inkonsistensi logis merupakan dasar untuk membaca jenis kontradiksi yang kedua, yaitu inkonsistensi faktual. Scriven (1976: 32) menjelaskan, “Factual inconsistency is really logical inconsistency between what is said and an unstated extra fact.”
Butuh wawasan khusus untuk bisa mendeteksi inkonsistensi yang satu ini. Anggaplah si A mengatakan, “Saya sudah bekerja, Tante, di sebuah PMA kota Maluk, pulau Bali.” Orang awam yang mendengar atau membaca kata-kata (premis) si A akan merasa tidak ada yang salah. Namun bila orang itu mempunyai pengetahuan geografis, dia akan merasakan sebuah kontradiksi. Masalahnya, kota Maluk terletak di pulau Sumbawa, bukan Bali.
Tentu saja inkonsistensi yang bakal kita hadapi tidaklah semudah contoh-contoh tersebut. Sebab pada dasarnya tak hanya premis-premis berwujud kalimat yang perlu dianalis, melainkan juga hal-hal lain yang samasekali tidak mewujud dalam kata-kata.
Di sinilah seninya! “Unstated extra fact” yang dimaksud Scriven bisa saja berbentuk tanda-tanda nonverbal. Bahkan “what it said” juga tidak selalu berupa kata-kata (verbal). Masalah pun berkembang kompleks.
Itulah kenapa CL tidak bisa divonis langsung cuma dengan membaca/menonton sekali-dua kali seperti biasanya kita meresensi. Karena CL merupakan hasil kesimpulan dari sebuah pengamatan yang komprehensif. Masalah ini tidak sesederhana orang yang menonton film sebentar kemudian berceloteh sinis, “Ah, nggak logis!”
Sekali lagi, lupakan orang yang mengatakan cerita fiksi tidak membutuhkan logika. Awalnya barangkali memang begitu, kita menulis cerita dengan kacamata kuda. Namun setelah itu, luangkanlah waktu khusus untuk mengkritisi logika bertuturnya. Yah, supaya tidak seperti sinetron-sinetron “itu” lah.
Tulisan ini merupakan comotan dari tulisan panjang tentang Metode Pengkritisian Logika Fiksi yang (terus) saya kembangkan. Pondasi metode ini telah dipertahankan dalam sidang skripsi (2005). Sementara bentuk tulisan populernya sudah dipublikasikan di majalah Intisari (2006) dan jurnal film Clea (2006). |
Hi,
Saya tertarik dengan tulisan ini. Selama ini saya merasa persoalan logika hanya bisa diselesaikan hanya dengan ‘feeling’ si penulis. Pertanyaan saya, apakah bisa metode semacam ini diaplikasikan secara praktis? Karena maaf, saya tidak menemukan ‘cara’ itu di tulisan ini. Jika bisa, mohon dijelaskan. Karena saya benar-benar penasaran dan tertarik. Thanks, before.
Cheers,
Aleena
Hi to you too, Aleena. Tp jwb dulu, yg menarik tuh tulisan di atas atau aku? Hehehe.
Tentu sj yg kutulis ini bisa diaplikasikan lah. Dulu sewaktu jd kritikus, aku menggunakannya utk “membantai” karya2 orang lain. Sekarang, setelah “insaf” dan menjadi praktisi, aku memakainya utk mengoreksi benang2 logika dlm karya2ku sendiri.
Metodenya nggak kutulis di sini, krn bisa2 ini jd tulisan yg puanjaaaang, apalagi hrs dilengkapi dg contoh2nya pula. Contoh yg baik (yg jls) itu kan kudu riil supaya mudah dikenali pembaca. Artinya, karyanya hrs sdh beredar di masyarakat luas. Masalahnya, mengutip2 kalimat atau paragraf dlm karya orang yg sdh berhak cipta, kalau mau bersikap etis dan elegan, hrs atas ijin empunya. Jd aku memutuskan tdk pakai kutipan samasekali.
Inti Pengkritisian Logika tuh sederhana kok: Mencari CL (cacat logika)! Utk mencari CL, kumpulkan dulu dugaan2 ketidaklogisan cerita. Lalu dianalisis berdasarkan: Bagaimana definisi kefiktivan karya itu, apakah ketidaklogisan yg ditemukan bersifat telak, dan apakah ketidaklogisan itu signifikan thd cerita. Kurang lebih begitu, Aleena.
Logika hanya merupakan salah satu unsur dlm penulisan. Bisa saja suatu cerita logis (CL-nya minim atau nihil), tapi tidak menarik. Ada jg cerita yg seru tp tidak logis. Tentu saja kita semua berharap mampu membuat cerita yang dahsyat sekaligus logis. Setidaknya, jangan sampai karya kita terperosok ke strata paling rendah: udah ceritanya nggak menarik (mungkin krn klise), eh, banyak mengandung CL pula.
lucas sos precioso haces una buena pareja con clara y los quiero a todos clara te qiero mucho actuas exelente y sos una buena cantante. marcia cantas bien y sos re linda.
Dan definisi kefiktivan? Apakah gerangan itu?
Definisi kefiktivan itu ya bagaimana pencerita mendefinisikan sampai sejauh mana unsur2 fiktif hrs dianggap nyata oleh pembaca/penontonnya. Ini yg menyebabkan Superman (yg kekuatannya ajaib dan tdk masuk akal itu) menjadi meyakinkan, bukan tampil sbg makhluk rekaan yg khayal, meski kita tahu dia khayalan.
Biasanya definisi kefiktivan ada di bab2 awal. Tp tdk selalu. Bahkan bisa jd definisi kefiktivan bisa ada di karya lain. Misalnya (lg2 aku ambil tokoh fantasi nih, biar jelas) tokoh Sub Zero dlm Mortal Kombat. Di filmnya, tdk diceritakan bagaimana bisa tokoh itu mengeluarkan ilmu yg membekukan lawannya. Tp kefiktivan itu tlh didefinisikan pd karya lain, yaitu game Mortal Kombat. Dg begini, orang yg menonton filmnya tdk heran dg kemampuan sang tokoh yg tdk terjelaskan sepanjang film itu.
Inilah seninya mengkaji logika bertutur. Banyak hal yg perlu dipertimbangkan (tdk bisa langsung vonis). Begitu kompleks. Begitu mengasyikkan. Setidaknya buat aku ^_^. Aku suka dg pertanyaan2mu, Aleena. Thx. Ada pertanyaan lain?
Mmmm….. *Masih binggung dengan penerapan*
Loading….
Hang!!
Begini saja, saya ada cerpen saya sendiri. Nanti saya kirim ke mas Bram. Terus mas Bram coba menganalisisnya dengan ‘pengkritisian logika’, sehingga saya bisa melihat langkah-langkahnya.
Bagaimana? Bagaimana? Bagaimana? Cerpenya cuma 3 halaman, kok.
Silakan. Ke bhanto@yahoo.com ya.
Izin Share boleh ya?