Iklan Hard Selling Vulgar versus Kreatif

Di Bulan Puasa ini sinetron Para Pencari Tuhan tayang lagi di SCTV. Tapi yang baru. Jilid kedua. Komedi lucu yang tanpa slapstik dan tanpa tokoh bencong ini semakin banyak saja iklannya. Tidak cuma pada slot iklan, dalam ceritanya pun pariwara bertebaran. Special Grande, Antangin, Top One, dsb. Saya tidak merasa terganggu. Pasalnya, produk-produk komersial tersebut melebur dengan halus ke dalam cerita.

Misalnya kemarin, tokoh Bang Jek yang memegang dan hendak merobek sachet Antangin. Kita bisa melihat merek itu, tapi tidak ada kesan tokoh tersebut sengaja mempertontonkannya ke depan kamera (penonton). Tidak ada tagline yang terucap. Tidak ada kata-kata promosi meluncur dari mulutnya. Hanya, dikisahkan tokoh Bang Jek masuk angin.

Penyampaian subcerita masuk angin ini pun dilengkapi dengan logika, jadi tidak tiba-tiba saja masuk angin dan butuh obat. Bang Jek juga bersendawa ketika takbir saat mencontohkan bagaimana menjadi imam pada ketiga muridnya.

Saya salut dengan penulis skenario Para Pencari Tuhan. Dia pasti juga seorang copywriter yang piawai. Jarang sekali saya menemui iklan (Indonesia) dalam film yang eksekusinya “halus”. Saking jarangnya, saya jadi bisa mengingat iklan-iklan yang menurut saya kreatif begitu.

Salah satunya di sketsa Extravaganza. Yang diiklankan adalah Honda Jazz. Naskah copywriting menyatu dengan lakon komedi yang dibawakan Indra Birowo dkk, mengalir lancar. Seakan-akan itu hanya salah satu sketsa Extravaganza lainnya, bukan iklan.

Dalam media cetak, iklan-iklan ini sejenis advertorial (iklan dalam bentuk berita/artikel, isinya pun bisa jadi seaktual-faktual tulisan-tulisan jurnalistik lainnya).

Tolong koreksi bila saya keliru, tapi iklan audio visual bermodel advertorial rasanya pertama kali diterapkan MetroTV. Andaipun Metro tidak mengembel-embelinya dengan tulisan “advertorial”, kita tetap bisa melihat acara itu sebagai iklan komersial. Gaya-gaya komunikasinya mirip company profile, begitu.

Kembali ke sketsa Extravaganza tadi. Sketsa tersebut mengisahkan perseteruan antara geng hip-hop dan pemain basket. Tapi kemudian pembicaraan dialihkan ke mobil. Honda Jazz. Pesan komersialnya tidak disampaikan secara vulgar, namun tetap jualan. Karena di situ jelas-jelas tokohnya menunjukkan (tidak sekedar mengatakan) keunggulan-keunggulan sedan tersebut.

Iklan seperti ini menggarapnya lebih susah. Sebab pesan yang mau disampaikan harus dipoles berkali-kali agar menyatu dengan tema acaranya. Tidak terlihat terpisah dan jorok seperti sebuah acara talkshow yang asyik bicara “artis di dunia politik” namun tiba-tiba pembawa acaranya bermain sandiwara demi iklan.

Misalnya, perbincangan dipotong hanya untuk menyampaikan copywriting begini, “Ngomong-ngomong, Jo, dari kemarin saya kok lemas-letih-lesu ya. Kamu bantu pijitin dong, Jo.”

Terus si Jo datang, “Nggak usah dipijitin, Mas, minum aja ini!” Si Jo menunjukkan sekotak serbuk suplemen penambah tenaga. Cara memegang si Jo ini pun diatur sedemikian rupa supaya kamera bisa menangkap gambar merek di sachet itu.

Saya tentu berharap iklan vulgar begituan berkurang di Indonesia, dan sebaliknya, iklan kreatif bertambah banyak. Mungkin tokoh beraliran Show-Me-the-Money-isme seperti Tung Desem Waringin takkan pernah sepakat dengan iklan yang saya sebut kreatif itu.

“Tujuan iklan begitu, sengaja atau tidak, buat bikin awareness bagi konsumen. Tapi awareness kalau nggak menjual ya buat apa? Habis-habisin duit pengiklan saja. Ya to, Bapak-Ibu?” paling-paling begitu kata motivator dan konsultan marketing top itu.

Yah, memang iklan kreatif belum tentu bisa menjual. Namun iklan hard selling yang vulgar, yang di luar konteks acara, apakah dijamin bisa menjual? Ditambah lagi, dalam perspektif seni, sungguh tidak sedap menonton iklan yang eksekusinya jorok dan “memaksa diri untuk muncul” begini.

Sebagian Anda pasti pernah menonton iklan di reality show yang skenarionya demikian: Seorang ibu mengeluh pada putrinya, “Si A nyanyinya enak banget dari minggu ke minggu. Mama kepingin tahu gimana sih latihan sehari-harinya pesaingmu itu. Tapi, nggak mungkin dong Mama tanya langsung ke mamanya. Aduh, bingung jadinya. Kamu harus latihan yang bagaimana lagi?”

Putrinya pun langsung mengumpankan tabloid untuk disantap lensa kamera, “Ih, Mama! Makanya, Ma, baca ini! Di sini semuanya ada.”

Saya pun terpingkal-pingkal. Reality show kan seharusnya semua (dibuat) riil. Ini kok ada iklan segala? Penampilan iklannya sevulgar itu pula. Iklan tempelan! Kalau pun ada penghubungnya, terlihat kasar, tidak nyambung, tidak menyatu dengan keseluruhan acara. Bagaimana menurut Anda?

Tapi, sebentar! Dari tadi saya mengucapkan kata-kata yang barangkali asing, Anda tidak bingung? Baiklah. Saya akan menjelaskan semampu saya istilah-istilah itu dengan contoh. Bagi yang sudah paham sejak awal, berarti inilah akhir dari tulisan saya. Namun bagi yang belum paham dengan istilah-istilah itu, Anda bisa meneruskan bacanya sedikit lagi.

Begini, anggap saja Anda (dalam contoh ini laki-laki) melihat seorang wanita cantik. Saking cantiknya sampai Anda ingin langsung menikahinya. Pokoknya cinta pada pandangan pertama. Jangan ketawa. Ini bisa saja terjadi kan. Anda hanya belum mengalaminya. Oke, kalau Anda mengalaminya, apa yang akan Anda lakukan?

  1. Anda menyuruh seorang teman kepercayaan untuk menghampirinya dan berkata tentang Anda, “Dia itu kaya. Menikahlah dengannya.” Nah, berarti Anda menggunakan strategi iklan alias advertising.
  2. Anda menghampirinya untuk menanyakan nomor ponselnya. Lantas besoknya Anda menelepon dan bilang, “Halo, aku ini kaya. Menikahlah denganku.” Itu artinya strategi Anda adalah telemarketing.
  3. Anda merapikan pakaian, lalu menghampirinya seraya tersenyum, dan dengan sopan mengajak berkenalan. Anda membantu dia menuang minuman, membukakan pintu baginya. Pada akhirnya Anda mengatakan, “Omong-omong, aku ini kaya. Maukah kamu menikah denganku?” Kalau begini kasusnya, berarti Anda menjalankan strategi public relations.
  4. Anda tak melakukan apa-apa. Gadis itu yang merapat ke Anda dan berkata, “Kamu kok kaya sih. Aku ingin menikah denganmu.” Itulah brand awareness.
  5. Anda langsung menghampirinya dan terang-terangan berkata, “Aku kaya lho. Kita nikah yuk!” Itu berarti Anda melakukan strategi hard selling (yang vulgar)!

Jika setelah Anda menjalankan strategi hard selling, si gadis menampar Anda (Pakk! Pakk!!), anggap saja itu customer’s negative feedback.

Kecuali bila produk yang ditawarkan benar-benar saya butuhkan, saya mungkin bereaksi persis seperti si gadis sewaktu menonton iklan-iklan hard selling yang vulgar. Pakk! Pakk!!

BAGIKAN HALAMAN INI DI

20 thoughts on “Iklan Hard Selling Vulgar versus Kreatif”

  1. Tadinya saya pikir cuma saya yang suka nonton TV… Saking jarangnya nonton Extravaganza (habis sebel ngeliat Tora Sudiro jadi bances di segmen yang paling bikin bete, Sinden Gosip), saya baru tau, ada iklan Honda Jazz-nya juga.
    Kalo yang iklan obat masuk angin sih liat, soalnya suka nonton Para Pencari Tuhan juga. Meskipun udah agak bosen ngeliat Pak Deddy ngiklan di mana2 (motor, obat masuk angin, sosis, obat maag) mau ga mau terpaksa ngeliat juga iklan ‘siluman’ itu. Tapi ga pa2, iklan kaya gitu cukup ‘halus’-lah, lebih halus daripada iklannya seleb di infotainment (ups, ketahuan nih doyan gosip) yang abis ngomongin dirinya, tau2 ngiklan. Eh, itu masuk hard selling juga ga?
    Selamat menunaikan ibadah puasa!

    Reply
  2. Trims, Pasha (I still don’t know ur real name, 🙂 it’s not fair). Dulu (dua tahunan yg lalu) aku menanti dg setia tayangan Extravaganza. Sekarang? Kalau sempet nonton, kalau banyak kerjaan ya nggak usah. Iya, penyebabnya, aku bosen jg dg bencong2an itu. Jd aku mungkin melewatkan iklan2 kreatif yg mungkin ada lg di tayangan itu. Yg kutonton sendiri sih ya cuma Honda Jazz itu.

    Aku jg nyangka bosen nonton Para Pencari Tuhan lg. Tapi ternyata sinetron ini msh sanggup bikin aku ngakak. Jd yah, kutonton rutin lah. Hitung2 nemeni sahur dan buka. Jauh lbh suka itu daripada kuis2an yg cengengesan (orang2nya dan trik2 banyolannya itu2 saja) atau sinetron sok religius di stasiun2 TV lain.

    Reply
  3. setuju, pak. paling ga suka aku ama iklan2 kasar kek gitu. di ceriwis, misalnya. duh, aneh2 aja.

    (^_^)v

    di infotainment juga ada hardselling kek gitu. apa udah jarang orang kreatif di negeri ini?

    Reply
  4. Thanks Aleena & Farijs. Oh, iya ya. Di PPT juga ada kuisnya. Tp aku nggak suka jg, krn ya gitu2 aja polanya. Jd pas SCTV menggelar sesi kuis PPT, biasanya aku ganti channel atau matikan TV dan mengerjakan sesuatu yg lain. Setelah dramanya main lg, aku nonton lg.

    Iklan hardselling pun ada yg mengalir mulus. Eksekusi bergaya “to the point” pun ada yg elegan. Tp yg kulihat di TV2 kita memang banyakan hsl kerja copywriter2nya kasar. Kejar tayang kali ya?

    Reply
  5. Not fair? Kaya omongannya Cinta aja waktu mo ditinggal Rangga ke Amrik hehehe. Emang kenapa sih? Kalo pun saya ga ngaku soal nama, kan apa yang saya tulis tentang diri saya itu beneran : doyan gosip, benci Extravaganza dan demen ‘Mr. Paniki’. Apalah arti sebuah nama selama saya bukan pelaku mutilasi dan korban salah tangkap? Tapi… kalo masih ngerasa ga fair juga, entar saya kirim e-mail pake my real name yang sebenarnya ‘unisex’, bisa buat cowok maupun cewek juga. Puas? Puas? Kok jadi kaya Tukul, ya? Ups, didong saya kambuh lagi…
    PS : Paniki artinya sejenis kelelawar yang jadi makanan favorit di Sulawesi Utara. Jadi, Mr. Paniki artinya Batman… Jadi kalo Brahm ke Manado, cobain paniki deh. Soalnya saya belum pernah nyobain (ga berani, tatuuut). Kalo enak, kabarin ya! Itu juga kalo berani…

    Buat arick, ga perlu bikin iklan capres di PPT, udah ada kok capres yang sengaja jadi bintang sinetron. Itu tuh, si Yusril Ihza Mahendra. Besok2 kalo mo bikin film tapi kurang duit, ke Yusril aja minta dana. Laksamana Cheng Ho dibuat dengan dana 5 juta dollar AS, Yusril semua yang nyari rekanan (dana) buat bikin sinetron itu. Hebat juga, bisa ngumpulin dana segitu. Para produser harus belajar dari dia.

    Reply
  6. Trims, Arick & Pasha. Iklan politik mah gampang aja. Aku yakin skenario PPT bisa dg mudah dibelokkan utk menonjolkan sosok politik tertentu. Tp kalau itu diterapkan, kelihatannya popularitas sinetronnya yg bakal jd korban.

    Pasha, nama asli yg kamu kasih tuh nama cewek. Sumpah, aku nggak pernah tahu ada cowok punya nama begitu. Tp kalau baca gaya tulisan2mu, kok yakinku kamu cowok. Jd, kamu ini perempuan atau laki sih? Hehehe.

    Sebetulnya nggak masalah sih kamu cewek atau cowok. Cuma, tetep aja ada bedanya.

    Misalnya nih, (posisimu di Jakarta ya?) aku lg jln2 ke Jakarta. Kalau kamu cowok, aku kan bisa nebeng tidur di rumahmu, hehehe. Kalau kamu cewek, aku pasti pikir2 100x kalau mau nginep di rumahmu. Jd sebaiknya kamu ngaku deh! Orang di balik nama Pasha Fathonah itu jantan atau betina?

    NB (1) Terima kasih ucapan selamat berpuasanya.
    NB (2) Paniki? Nggak deh, makasih 😛 Aku masih suka ayam dan sapi.

    Reply
  7. Saya pernah kenal dengan dua orang yang namanya sama dengan saya dan dua2nya cowok : satu orang Sunda, satu lagi orang Bugis (malah, yang ini ustadz tapi rambutnya gondrong kaya Slash!). Sayang, ga sempat bikin trio buat nyanyi bareng hehehe. Lagian yang bikin saya males pake nama asli saya tuh bukan karena nama depan saya. Saya kurang demen aja dengan dua nama belakang saya yang mengingatkan orang pada unsur2 di ‘rumah masa depan’ : hidup sesudah mati…

    Penasaran soal saya cewek atau cowok? Kan ga masalah kalo misalnya saya tuh cewek atau cowok atau bahkan hermafrodit kaya Godzilla? Ada deh…Asik aja, bisa bikin kamu nebak2 sendiri. Hahaha.

    Enak aja maksa2 saya ngaku. Emangnya Brahm tuh polisi Jombang yang salah tangkap gara2 maksa tersangkanya mengaku? Foto yang saya pajang di profil blog kan cukup menggambarkan diri saya yang rada gokil kalo nulis. PASHA sendiri adalah singkatan dari Prototipe rusAk aSimo-nya HondA. Jadi, karena saya robot rusak, ga punya jenis kelamin…Hehehe. Bercanda, Mas. Tapi soal singkatan itu, itu beneran dikasih teman saya yang ustadz gondrong itu.

    Saya tuh bukan di Jakarta. Saya numpang di rumah tante di Depok, dua jam lebih perjalanan dari Jakarta (kalo ga macet), bukan di Jakarta-nya.

    Reply
  8. Udah tahu jawabannya kok. Nggak perlu nebak2 lg. Wah, berarti kalau aku backpacking ke Depok (halah, backpacking kok ke Depok) bisa nginep di tempat tantemu dong. Lho, kita kok jd bicara soal backpacking, hemaprodit, Godzilla, polisi Jombang, dan Asimonya Honda sih. Ada Slash pula! ‘Cem mana ini, Diin!!

    Yg baca postingan ini pasti geleng2 nih. Udah, yg nggak nyambung lanjut aja di email. Sekarang kembali ke lap… top.

    Reply
  9. Hmm… kirain ga bakal selese flirting-nya, hehe..*kabooor*

    *tapi kembali lagi. Lupa belum ngomong*
    Betul. Setiap ada kesempatan biodata “Acara TV Favorit” pasti aq jawab: Info Komersial!
    Aq slalu pindah2 channel tv buat lihat2 iklan (kalo lagi nonton tv sendirian tentunya. Karna aq blm mau dilempar golok ma yg lain). Kalo sinetronnya mulai, aq ganti channel, cari yg lagi iklan.

    Iklan itu cerita pendek yang luar biasa!
    Well, aq bicara iklan2 yg bagus, tentunya.

    Untuk iklan2 yg dimasukkan ke dalam cerita…maaf, sayangnya aku cuma pernah liat yg di film2 layar lebar. Kalo yg disinetron ato acara lainnya… aq lebih milih liat-liat acara comersial break.

    PTT ya..hm, tayang jam berapa sih? *sok punya tivi*

    Reply
  10. Trims. Flirting apaan, Prad? Flirting with disaster?

    Wow, pengamat (penonton) iklan, ternyata! Yah, iklan itu termasuk karya fiksi jg. Fiksi yg unik. Tp sbg pengamat iklan nih: Menurutmu, jumlah iklan bagus dibanding iklan tdk bagus banyakan mana di TV kita?

    PPT tuh jadwalnya tiap jam 18 dan 3. *sok punya tivi juga*

    Reply
  11. hahaha..itu ma pasha… *siap2 mo kaboor lagi*

    *tapi jawab dulu*
    Masih sedikit sebetulnya. Padahal dengan budget seadanya bisa bikin yg asik.
    Contoh: Iklan Toyota Inova (ato Avanza), pake mobil pinjem, ga pake model iklan. Cuma suara2;
    “Adeek, ayo tidur!”
    “Gooool!”
    “Kakeeek!”

    Murah kan? Tapi dah bisa nunjukin kalo sekeluarga lebih memilih itu Toyota daripada beli rumah, hehe…

    Semoga semakin lama makin keren iklan di tv… biar aq banyak hiburan! 😀

    Reply
  12. Weekekek!! Mau ngajak ribut nih?!

    Murah dan kreatif, memang. Jg iklan KitKat yg “C… c… Charlie-charlie” tuh jg menarik dan mengena, meski low budget. Tp kalau semua iklan di TV dibuat gitu ya nggak asyik lg pertelevisian kita. Hrs ada budget lbh dong utk memuaskan penonton TV sepertimu. Kamu mungkin jenis baru di daftar konsumen TV (penonton yg hanya menonton iklan, hehehe.)

    Reply
  13. Sepakat.
    Cuma kadang, udah berbudget besar hasilnya yg biasa aja.
    Coba, dengan budget luar biasa bikin iklan yang luar biasa. Kayak iklan oli “shell” (kalo ga salah) yang pake cerita pengisian bahan bakar pesawat di udara…udah lama banget iklan ini jadi agak lupa.

    Padahal dulu ada penghargaan sendiri buat iklan2 di tv ya, 2 kali berturut2 “bentoel” dulu dapet.

    Saya, Pradna..siap jadi jenis baru di daftar konsumen TV (penonton yg hanya menonton iklan) !
    😀

    Reply
  14. Slot iklan di TV kita banyak sih. Tp harganya “terjangkau” bg kantong2 para pengiklan itu. Coba dibalik: Slot iklan dibatasi (kayak di pertelevisian negara2 maju), tp harganya dimahalkan. Pasti banyak muncul iklan2 audiovisual berkualitas. Soalnya pembuat iklan2 amatiran pasti berpikir 2x buat menembus TV. Di pihak lain, pemasukan bg stasiun TV tdk berkurang (sedikit pengiklan, tp marginnya kan lbh gede).

    Eh, emang penghargaan2 di bidang gitu udah nggak ada? Sori, aku nggak mengamati. Terakhir aku meliput Malam Anugerah Citra Pariwara ya sekitar September 2005. Setelah itu nggak kuikuti perkembangannya. Waktu itu nggak tertarik iklan2an sih.

    Tp, hahaha, kembali lg suara Pak Tung terngiang2 telingaku. Pemenang festival iklan2 gitu itu kalau diukur dari segi penjualan, efektif nggak ya? Iklannya nyeni, pasti! Tp berhasilkah menjual? Berfungsikah sbg salah satu perpanjangan tangan dari marketing?

    Siapapun, kalau ada yg tahu iklan televisi yg nyeni sekaligus terbukti scr langsung mendongkrak angka penjualan produk yg diiklankan (tdk sekedar membangun imej brand), tolong kasih tahu aku ya. Ternyata menarik jg. Waah, mungkin aku sendiri kadang2 jg hrs jd konsumen TV jenis baru sptmu, Prad. ^_^

    Reply
  15. wah seru juga neh pembahasan bang brahm… bang brahm ato brahmbang ya? (lha mosok brambang goreng?) hahaha sedikit bercanda tidak mengapa kan? saya agak takut neh kalo bercanda dengan saudara brahm, konon dia terkenal mempunyai karakter yang sangat serius dan tidak bisa tertawa…

    mengenai bagaimana iklan-iklan sanggup “menyusup” ke dalam sebuah script dengan halussss, saya juga merasa terganggu kalau sebuah produk muncul dalam sebuah cerita dan kesannya “memaksa” seperti yang sering kita saksikan di talk show Empat Mata. Beberapa dari kita mungkin secara spontan menyesalkan kenapa si scriptwriter menyusupkan sebuah produk ke dalam alur cerita dengan cara sedemikian rupa? Disini kita harus mencoba memaklumi bahwa bagaimanapun klien mempunyai kekuatan besar dalam menentukan bagaimana mengkomunikasikan produknya meskipun pihak konsultan / agensi telah memberikan rekomendasinya. Nah kalo klien bersikeras… mau bagaimana lagi? Sebuah dilema klasik yang sering muncul di dunia periklanan. Ada sih yang berpendapat, sebenarnya itu tergantung bagaimana cara pihak agensi meyakinkan klien dengan segala cara, tetapi bagaimanapun juga klien adalah raja… they pay so they can act bitchy. Pertanyaan lain yang juga telah menjelma menjadi salah satu “perennial questions” di dunia periklanan: “iklan yang kita buat bagus bagi klien? atau bagus bagi kita sendiri…?”

    nah kalau mengenai kemampuan sebuah iklan dalam mengangkat nilai sales, saya berani bilang kalau janganlah kita membebankan angka sales hanya kepada materi iklan yang diterbitkan. banyak elemen yang mempengaruhi kesuksesan sebuah produk di pasar, baik dari segi awareness atau dari segi penjualan, dan segi-segi lainnya, sampai segitiga juga boleh hahahaha

    ah kok jadi ngomong panjang lebar… saya yakin kawan-kawan lainnya pun juga sudah paham dengan topik ini… maaf deh kalau saya jadi sok tau gini 😀
    yo wes sakmene sik brahm
    engko bengi ketemu nang lapangan futsal yo

    Reply
  16. Suwun udah mampir, Mas Sondit. Ini dia praktisi yg udah malang-melintang-meluntir di jagat copywriting selama satu dekadean. Tp tudingan “karakter yang sangat serius dan tidak bisa tertawa” itu gak main, Bos. Sumpah! Awas yo nek cengengesan2 maneh bareng aku! *mengancam tanpa tertawa sedikit pun*

    Iya ya, kalau kevulgaran itu udah permintaan klien, ya kita nggak bisa apa2. Ini rasanya dilema klasik. Iklan yang kita buat sebagus2nya jg, itu bagus bagi klien atau bagus bagi kita sendiri? Paling2 solusinya ya jln tengah, kompromi antara (wawasan) copywriter dan (kemauan) pengiklan.

    Iklan memang bukan satu2nya alat buat melariskan produk, bhk perannya kecil. Beriklan tuh lbh ke investasi jangka panjang ya. Hslnya bukan uang (angka penjualan), tp awareness.

    Bagaimanapun, aku yakin ada iklan yg bisa berakibat langsung pd penjualan. Yah, iklan2 hard selling gitu. Pertanyaannya, bisakah kita bikin iklan yg hardselling sekaligus punya nilai artistik di konsepnya?

    Beberapa agensi mengklaim bisa. Tp kok setelah aku lihat iklan2 produksi mrk, jd ragu, benarkah yg kyk gini ini iklan yg indah sekaligus terbukti mendongkrak sales produk? Masalahnya, blm ada parameter terukur atau penelitian yg menyimpulkan ke sana.

    Btw, aku udah susah2 menyamarkan nama produk di tulisanku lho, eh, dibongkar jls: “Empat Mata”. Yo’opo sih?! Untung yg “Mama Mia Show” nggak ikutan dibongkar, jd pembaca blog ini pasti msh nggak tahu (biar aja mrk menebak2 nama acaranya).

    Wis, Mas! Sik kemeng kabeh gara2 futsal, iki.

    Reply
  17. Blogwalking, nih mas. Dari sekian blog yang sempat saya kunjungi, cuman blog ini yang memilki komentar yang panjang – panjang. he. . he. . he. . .

    kunjungi iklangede.com yo, mass . . ..

    Reply

Leave a Comment

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Don't do that, please!